Keiko, aku menulis pesan ini karena bisa saja inilah pesan "terakhir"-ku untukmu.
Lewat pesan ini, aku ingin menyampaikan betapa beruntungnya diriku bisa berjumpa denganmu.
Kau tentu ingat awal perjumpaan kita. Ya, pada saat itu, hujan turun dengan derasnya, memaksa semua pejalan kaki berteduh di emperan toko, termasuk diriku sendiri yang sedang mengambil pesanan pelanggan.
Kadang aku sendiri sering heran. Mengapa semua kisah cinta sering "diawali" dengan hujan? Ingat serial Goblin? Bukankah Kimshin juga berpapasan pertama kali dengan Ji Eun-tak tatkala hari sedang hujan?
Entah mengapa, pada waktu, terasa "desir" yang samar di hatiku. Sebuah perasaan yang telah sangat lama belum pernah kualami lagi. Mungkin sepuluh tahun lalu. Mungkin juga lebih. Namun, siapa yang peduli?
Ibarat percikan api, perasaan itu hanya sedikit memberi "kejelasan". Aku belum bisa memastikan perasaanku padamu kala itu. Makanya, begitu hujan mulai reda, aku pun berlalu, masih menyisakan sedikit perasaan "aneh" di relung hatiku.
Namun demikian, aku terus saja memikirkanmu. Di dalam pikiranku masih terbayang sosokmu, terutama tatapan matamu yang teduh, penuh kasih dan damai.
Alih-alih terus "dihantui" sosokmu, aku memutuskan kembali ke tempat kita bertemu. Tentu saja aku berharap bisa berjumpa denganmu lagi.
Dengan penasaran, aku bermobil santai menyusuri jalan yang padat. Bagiku, kemacetan seperti itu sudah menjadi "santapan" sehari-hari.
Maklum saja, itulah risiko yang harus ditanggung oleh seseorang yang bekerja sebagai sopir taksi online seperti diriku. Jadi, alih-alih stres, sewot, dan ngomel, aku lebih suka menyetel musik di mobil.
Kau suka mendengar Sam Smith? Yah lumayanlah.
Walaupun lagu-lagunya banyak yang galau, setidaknya suaranya yang "dalam" dapat menghibur hatiku, dan tentunya melupakan sejenak semua permasalahan yang mendera hidup ini.
Aku aslinya lelaki yang pemalu.
Namun, pada saat itu, aku "membuang" semua rasa maluku, sehingga aku bisa mengajakmu berkenalan.
Apa salahnya kalau seorang lelaki berusia 43 tahun berkenalan dengan gadis berusia 22 tahun?
Cinta kadang tak mengenal batas waktu dan usia. Buktinya, Goblin yang berusia ratusan tahun saja bisa jatuh cinta pada gadis remaja berumur sembilan belas tahun!
Sejak saat itulah, Keiko, kehadiranmu telah mengisi "lubang" di hatiku. Sebuah "lubang" yang telah lama lebar menganga di dadaku.
Jika Goblin yang kesepian itu ditusuk sebilah pedang di dadanya dan kemudian dikutuk hidup "abadi", aku justru mempunyai "lubang" di hati yang sakitnya terasa "selamanya".
Namun, syukurlah kemudian aku menemukan seseorang yang bisa menambal "lubang" tersebut. Seseorang yang sangat kucintai, yaitu kau, Keiko.
Namun demikian, kisah cintaku belum bisa kubuka terang-terangan lantaran istriku, Hani, pastilah akan menjadi "tembok" yang bisa memisahkan Aku dan kau, Keiko.
Apalagi aku juga memikirkan perasaan anakku, Yura, andaikan ia sampai mengetahui kalau ayahnya telah "berpaling" pada wanita lainnya.
Makanya, aku terus saja menyembunyikan hubungan kita demi keutuhan, keakuran, dan kedamaian keluargaku.
Keiko, kau tentu tahu sendiri bahwa pernikahan yang kujalani saat ini layaknya "permen karet". Hanya terasa "manis" pada awalnya, tapi "pahit" ujungnya.
Makanya, setelah enam belas tahun mengarungi bahterah rumah tangga, aku sebetulnya sudah bosan. Aku jenuh karena harus menjalani kehidupan yang itu-itu saja.
Apalagi aku dan istriku sering bertengkar. Tak hanya perkara besar, masalah kecil pun sering diributkan.
Makanya, alih-alih terus "bertempur" di rumah, aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja, bekerja, dan bekerja. Dengan begitu aku berharap bisa melupakan semua perkara yang terus saja berlarut-larut.
Sudah sejak lama sebetulnya aku ingin menggugat cerai Hani. Aku sudah muak dengan semua sikapnya yang sok berkuasa, sok mengatur, dan sok memerintah.
Namun, dalam hati kecilku, aku tak tega. Apakah aku masih mencintainya? Jujur saja tidak. Namun, aku masih sayang padanya.
Bagaimanapun aku pernah "mengarungi" sejumlah kenangan manis bersamanya. Sebuah kenangan yang enggan aku jual dengan harga berapapun!
Lagipula, andaikan kami berpisah, putriku, Yura, tentu akan kecewa. Sedih. Sungguh pahit memang sewaktu kita menerima kenyataan bahwa orangtua kita harus bercerai karena suatu alasan.
Aku sudah pernah merasakannya dulu sewaktu orangtuaku memutuskan hidup masing-masing. Aku ingat betapa aku marah, benci, dan dendam terhadap keadaan.
Barangkali itulah yang menyebabkan awal terciptanya "lubang" di hatiku, dan sebagai orangtua, aku tentu tak ingin menciptakan "lubang" yang sama di hati anakku.
Biarlah ia hidup dengan baik dan gembira.
Namun, Keiko, ada waktunya kita harus jujur pada diri sendiri dan orang lain. Pada akhirnya aku pun memutuskan memberi tahu istri dan anakku tentangmu.
Tak enak rasanya berlama-lama memendam sebuah rahasia. Ada saja perasaan was-was yang menghantuiku sepanjang siang sepanjang malam.
Makanya, pada suatu malam, aku memperkenalkanmu dengan istri dan anakku secara langsung.
Hasilnya? Makan malam pada saat itu berubah menjadi "angin topan" yang memorak-porandakan semua kekhusyukan.
Kedua alis matanya bertemu dan sorot matanya menghujam tajam kepadaku, seperti pedang yang menembus dada Goblin.
"Kalau kau masih membawanya, lebih baik kau pergi dari rumah ini!"
Ia berteriak dengan lantang, buru-buru bangkit dari tempat duduknya, dan pergi membanting pintu.
Keras.
Tajam.
Bengis.
Yura yang menyaksikan amukan itu hanya bisa duduk tertunduk. Sekilas terdengar suara isaknya.
Nasi yang tertuang di piringnya menjadi dingin dan hambar. Semua itu telah "meluluh-lantakkan" nafsu makannya. Ia pun pergi tanpa sepatah kata pun, langsung menuju kamarnya.
Maafkan aku, Keiko. Sepertinya istriku enggan berbagi kamar bersamamu. Namun, aku akan mencarikanmu tempat tinggal yang lain.
Di situ kita akan lebih sering bertemu, berdiskusi, dan bersama menghabiskan malam.
Walaupun harus mendapat "semprotan" dari istriku, sejujurnya, aku merasa lebih lega telah berbicara jujur. Sejak saat itu, insomnia yang terus "membayangi" malamku jauh berkurang.
Keiko, sayang, orang bilang kalau hidup itu "baru" dimulai di atas usia empat puluh dan aku merasa ungkapan itu ada benarnya.
Entah mengapa, sejak bertemu denganmu, gairah hidupku yang tadinya redup kembali menyala.
Barangkali itulah yang jamak disebut sebagai "cinta". Sebuah perasaan yang ingin terus bersama selamanya.
Makanya, kini, ke mana pun aku pergi, aku terus bersamamu, Keiko. Saat di losmen tempat kau menginap, aku menemanimu. Saat aku bekerja mengantar penumpang, kau juga setia menemaniku.
Ibarat magnet yang kedua kutubnya saling tarik-menarik, kita jadi sulit terpisahkan, bahkan semenit pun!
Pada saat itulah aku benar-benar merasa bahagia. Pernah menyaksikan hamparan Edelweis yang cantik di Gunung Rinjani?
Nah, kurang-lebih itulah perasaan yang sama persis dengan yang kualami kini: "takjub", "gairah", dan "syukur".
Namun, Keiko, saat kita sedang menikmati kebahagiaan, ada saja orang yang kurang senang. Selalu saja ada orang yang merasa iri hati dan berusaha menghancurkan kegembiraan kita.
Pernah aku mengusir penumpang di tengah jalan lantaran ia terus saja menghinamu, Keiko. Ia bilang kalau aku sudah sinting karena telah membawamu bersamaku, dan ia juga menghina penampilanmu di depanku.
Aku naik pitam. Aku marah kau dilecehkan sedemikian rupa. Maka, aku menepikan mobil tiba-tiba.
"Enyah saja kau!" Aku membentak dengan suara keras diiringi suara klakson mobil di belakangku.
Ia pun keluar seraya membanting pintu mobil.
Aku hanya ingin memberinya "pelajaran" untuk menghargai orang lain. Bukankah di negara ini, kita hidup bareng-bareng, cari makan bareng-bareng, dan tinggal bareng-bareng juga?
Makanya, kita harus belajar menghargai, belajar menghormati sesama.
Namun, Keiko, persoalan tadi ternyata "melahirkan" masalah yang jauh lebih besar karena belakangan aku mengetahui kalau penumpang yang kudamprat itu menuliskan kekecewaannya di blog, semacam Kompasiana, dan tulisannya ternyata menjadi viral!
Oalah!
Beginilah deritanya menjadi sopir taksi online. Penumpang yang tersinggung mudah menyebarkan kemarahannya lewat media, dan seketika itu juga, karierku sebagai sopir "tamat".
Seminggu kemudian, akun taksi online milikku "dibekukan", dan aku memutuskan berhenti menjadi sopir taksi.
Selain itu, sejumlah wartawan juga mendatangiku, mewawancaraiku, dan tentunya mengambil fotoku. Awalnya aku merasa biasa-biasa saja. Justru aku merasa kalau itulah satu-satunya kesempatan buat menjelaskan cerita yang sebenarnya.
Namun demikian, akhirnya aku menjadi risih juga. Apalagi ada seorang wartawan yang mengambil foto Keiko yang sedang telanjang secara diam-diam di losmen tempat dia menginap.
Sewaktu memergokinya, aku murka. Aku merebut kameranya, membantingnya hingga hancur, dan menghadiahi wajahnya sebuah bogem mentah.
Wartawan itu jatuh terjerembab, lalu lari pontang-panting. Esoknya kabar bahwa aku "menganiyaya" wartawan masuk koran halaman pertama!
Aku pun membawa Keiko kabur bersamaku. Sekarang suasana sedang gawat, sedang genting. Makanya, semuanya terlihat sebagai ancaman, sebagai musuh.
Aku bermobil sejauh-jauhnya. Namun, sejauh apapun jarak yang sudah kutempuh, tetap saja, aku sulit kabur dari karmaku.
Seminggu kemudian, aku mendapat pesan whatapp dari istriku bahwa Yura masuk rumah sakit! Ia menyilet lengannya sendiri di kamar mandi, dan istriku memintaku segera datang ke rumah sakit.
Astaga!
Sungguh lemas kakiku sewaktu aku membacanya.
Aku pun bermobil dengan tergesa-gesa. Setibanya di rumah sakit, segera aku menuju kamar tempat Yura dirawat.
Yura sedang tertidur di ranjang dan istriku duduk menungguinya. Ia menatapku dengan tajam. Terlihat "jilatan api" kemarahan di matanya.
Ada beragam informasi yang "berseliweran" di sekitarku. Namun, dari situ, aku bisa menyusun satu kesimpulan bahwa Yura sampai nekat berbuat demikian karena ia malu diolok-olok teman sekelasnya.
Ia jengah menghadapi cibiran, ledekan, dan nyinyir akibat ulahku.
Aku duduk sendiri di ruang tunggu, merenungi semua kesalahanku. Lalu, istriku tiba-tiba datang menghampiriku.
"Aku sudah tahu semuanya," katanya dengan suara yang pelan, seolah berbisik. "Aku capek dengan semua ini. Gara-gara kau, Yura sampai begitu. Gara-gara kau, keluarga kita nyaris hancur."
"Apa yang sebetulnya kau inginkan?" Tanyaku.
"Aku hanya ingin kau memilih: aku atau dia?"
"Aku tak bisa memilih."
"Kau harus memilih!" Katanya dengan suara penuh tekanan. "Kalau kau ingin Yura bahagia seperti sebelumnya, musnahkanlah dia untuk selamanya. Namun, kalau kau tetap memilih dia,..... Kau tentu tahu apa akibatnya. Jadi, pertimbangkanlah."
Keiko, sayang, bisa kau bayangkan betapa sulitnya hidupku. Aku dipaksa membuat pilihan yang berat. Barangkali inilah "persekusi" terkejam yang pernah aku dapat!
Namun demikian, pada suatu malam, aku mendatangi sebuah krematorium. Di pelataran telah tersedia setumpuk kayu kering yang disusun menyerupai kubus.
Istriku tampaknya telah menyiapkan semuanya. Bahkan, dia telah datang lebih dulu, menunggu di sekitar pelataran, hanya untuk memastikan bahwa aku tiba sesuai janji.
Aku dan Keiko menghampirinya. Namun, kami hanya diam seribu bahasa. Tak ada salam. Tak ada tegur sapa. Hanya suara ombak yang terdengar samar dari kejauhan.
Tanpa diperintah, aku membopong Keiko ke tumpukan kayu itu. Kakiku gemetar hebat. Terasa berat melangkah.
Sementara itu, aku melihat betapa cantiknya Keiko pada malam itu. Ia memulas wajahnya dengan make up yang tipis, sehingga kulitnya yang putih bersih tetap menunjukkan ronanya.
Ia juga memakai gaun ungu yang indah. Sebuah hadiah yang kuberikan dalam rangka hari jadi kami yang ketujuh.
Ujung gaun itu berkibar sewaktu aku memanjat tumpukan kayu. Aku berusaha keras menaiki satu per satu kayu, sambil menguatkan kakiku yang terus saja gemetar sejak tadi.
Di puncak, akhirnya, aku membaringkannya.
Sesaat aku memandangi matanya yang terpejam, dan tanpa terasa, bulir-bulir airmataku jatuh membasahi gaunnya.
"Selamat tinggal, Keiko."
Barangkali itulah kata-kata terakhir yang bisa kuucapkan kepadanya. Aku turun mengambil sebuah botol. Sewaktu aku membuka tutupnya, tercium bau bensin yang menyengat.
Aku pun melumeri tumpukan kayu itu dengan bensin, menyalakan korek gas, lalu membakarnya.
Seketika, tumpukan kayu itu menjelma api unggun raksasa. Nyalanya terang benderang "mengusir" kegelapan malam.
Betapa pedihnya kalau kita harus berpisah dengan orang yang dicintai! Kini, aku meresapi betul perasaan Kimshin sewaktu dia ditinggal mati Ji Eun-tak!
Namun, tiba-tiba saja, aku mendengar suara jerit kesakitan Keiko. Tubuhnya pastilah melepuh terpanggang api sehingga ia mengerang sedemikian keras!
"Keiko!" Aku berteriak, tapi teriakanku hanya dijawab oleh deru ombak yang terdengar samar.
Aku tak tahan menyaksikan penderitaannya, sehingga secara reflek, aku berlari menuju kobaran api.
"Apa yang kau lakukan!" Istriku berteriak berusaha menghentikanku. Namun, aku mengabaikannya.
Bagiku, ia adalah tembok yang sejak dulu memisahkan aku dan Keiko. Sebuah batasan yang harus aku jebol agar aku bisa bersama Keiko lagi!
Keiko, sayangku, cintaku, aku rela masuk ke dalam nyala api, terbakar habis hingga padam, asalkan aku bisa selalu bersamamu! Aku sungguh mencintaimu, menyayangimu, biarpun di mata orang lain, kau hanyalah sebuah boneka semata!
Salam.
Adica Wirawan, founder gerairasa.com
NB: Pembaca yang terhormat, kisah di atas terinspirasi dari kisah nyata bahwa ada seorang terapis asal Jepang yang jatuh cinta dengan sebuah boneka wanita. Ia menganggap bahwa boneka itu membangkitkan kembali romansa percintaannya yang telah "redup" setelah menjalani pernikahan sekian tahun dengan istrinya. Selengkapnya, silakan baca artikel berikut ini.
"My sex doll is so much better than my real wife", nypost.com, diakses pada tanggal 5 Juli 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H