Sungguh lemas kakiku sewaktu aku membacanya.
Aku pun bermobil dengan tergesa-gesa. Setibanya di rumah sakit, segera aku menuju kamar tempat Yura dirawat.
Yura sedang tertidur di ranjang dan istriku duduk menungguinya. Ia menatapku dengan tajam. Terlihat "jilatan api" kemarahan di matanya.
Ada beragam informasi yang "berseliweran" di sekitarku. Namun, dari situ, aku bisa menyusun satu kesimpulan bahwa Yura sampai nekat berbuat demikian karena ia malu diolok-olok teman sekelasnya.
Ia jengah menghadapi cibiran, ledekan, dan nyinyir akibat ulahku.
Aku duduk sendiri di ruang tunggu, merenungi semua kesalahanku. Lalu, istriku tiba-tiba datang menghampiriku.
"Aku sudah tahu semuanya," katanya dengan suara yang pelan, seolah berbisik. "Aku capek dengan semua ini. Gara-gara kau, Yura sampai begitu. Gara-gara kau, keluarga kita nyaris hancur."
"Apa yang sebetulnya kau inginkan?" Tanyaku.
"Aku hanya ingin kau memilih: aku atau dia?"
"Aku tak bisa memilih."