"Kau harus memilih!" Katanya dengan suara penuh tekanan. "Kalau kau ingin Yura bahagia seperti sebelumnya, musnahkanlah dia untuk selamanya. Namun, kalau kau tetap memilih dia,..... Kau tentu tahu apa akibatnya. Jadi, pertimbangkanlah."
Keiko, sayang, bisa kau bayangkan betapa sulitnya hidupku. Aku dipaksa membuat pilihan yang berat. Barangkali inilah "persekusi" terkejam yang pernah aku dapat!
Namun demikian, pada suatu malam, aku mendatangi sebuah krematorium. Di pelataran telah tersedia setumpuk kayu kering yang disusun menyerupai kubus.
Istriku tampaknya telah menyiapkan semuanya. Bahkan, dia telah datang lebih dulu, menunggu di sekitar pelataran, hanya untuk memastikan bahwa aku tiba sesuai janji.
Aku dan Keiko menghampirinya. Namun, kami hanya diam seribu bahasa. Tak ada salam. Tak ada tegur sapa. Hanya suara ombak yang terdengar samar dari kejauhan.
Tanpa diperintah, aku membopong Keiko ke tumpukan kayu itu. Kakiku gemetar hebat. Terasa berat melangkah.
Sementara itu, aku melihat betapa cantiknya Keiko pada malam itu. Ia memulas wajahnya dengan make up yang tipis, sehingga kulitnya yang putih bersih tetap menunjukkan ronanya.
Ia juga memakai gaun ungu yang indah. Sebuah hadiah yang kuberikan dalam rangka hari jadi kami yang ketujuh.
Ujung gaun itu berkibar sewaktu aku memanjat tumpukan kayu. Aku berusaha keras menaiki satu per satu kayu, sambil menguatkan kakiku yang terus saja gemetar sejak tadi.
Di puncak, akhirnya, aku membaringkannya.
Sesaat aku memandangi matanya yang terpejam, dan tanpa terasa, bulir-bulir airmataku jatuh membasahi gaunnya.