Rasanya juga tidak keliru amat jika mereka memersepsikan demikian. Apalagi kalau masuk kampus ini ada tambahan pelajaran bahkan tes di awal soal baca Alquran.Â
Masak iya pula anak UIN tidak bisa baca Alquran. Apa kata dunia?
Di kenyataan, memang kebanyakan mahasiswi kampus Islam, tak hanya di UIN, bahkan juga di kampus umum, memakai jilbab hanya di kampus. Di luar atau di rumah atau kala main, tidak lagi pakai jilbab.Â
Bahwa kemudian urusan jilbab ini urusan masing-masing, its ok. Tapi kalau kemudian mahasiswi kampus Islam hanya jilbaban di kampus, rasanya kurang afdal bagi sebagian orang.
Pekan lalu saya mengisi kelas ekskul jurnalistik. Salsabila, salah seorang mahasiswi peserta kelas, ingin menulis fenomena ini. Saya menyuruhnya menulis lengkap dan akan saya naikkan di web yang saya kelola. Namun, lantaran ini menarik, dan saya juga punya gagasan soal ini, perihal ini saya ketengahkan.
Setidaknya, ada beberapa alasan mengapa mahasiswi kampus Islam hanya jilbaban saat studi. Saat di luar, di rumah, main, dan kongko-kongko, tak pakai jilbab.
Kesatu, masuk kampus Islam alternatif terakhir
Awalnya memang tidak tertarik masuk kampus dengan embel-embel Islam. Namun, karena kebanyakan tidak lolos masuk perguruan tinggi negeri umum, kampus Islam semisal UIN, IAIN, dan STAIN jadi pilihan. Kebanyakan juga dari SMA tidak pakai jilbab.
Namun, setelah diterima dan mesti kuliah dalam pakaian muslimah, mau tak mau harus mau. Maka itu, ke kampus teman-teman mahasiswi pakai jilbab semua. Sebagian ada yang meneruskan di kehidupan keseharian, sebagian tidak.
Jadi, pilihan ke kampus ini memang bukan karena sejak awal sudah membidik. Meski demikian, ada saja yang memang sejak awal sudah punya niat kuliah di sini. Beberapa di antaranya lulusan pesantren.
Tapi dari survei kecil-kecilan, juga tak banyak yang asalnya dari pondok. Dari katakanlah 30-an siswa, yang alumni ponpes paling 3-4 orang.Â