Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

4 Alasan Mahasiswi Perguruan Tinggi Islam Pakai Jilbab Hanya di Kampus

14 Maret 2023   09:31 Diperbarui: 14 Maret 2023   11:04 856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Khamidah Eka Safitri. Sumber tangkapan layar Instagram

Sejak 2015 saya mengajar sebagai dosen luar biasa di Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung. Saya mengajar sampai tahun 2019. IAIN itu kini berubah menjadi universitas Islam negeri atau (UIN).

Saya diminta mengajar mata kuliah Jurnalistik Islami untuk mahasiswa semester III Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI). Prodi ini ada di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK).

Sekarang saya sudah tidak mengajar lagi. Ke UIN hanya saban Sabtu. 

Saya diminta mengasuh kelas ekstrakurikuler jurnalistik di Mahad Al Jamiah. Lokasinya berada di dalam kampus.

Namanya kampus Islam, sudah tentu mahasiswinya pakai jilbab semua. Sudah tentu juga jilbab dengan beragam variasi. 

Karena anak muda semua, tentu dandanannya menyegarkan dan enak dipandang. Apalagi mahasiswi sedang tumbuh dewasa, sudah tentu menjaga penampilan.

Saya akrab dengan mereka. Berusaha menghafal nama semua mahasiswa. Berusaha dekat dengan mereka. Dan berkorespondensi di media sosial. 

Ada yang jilbabnya lebar seperti gamis syari begitu. Ada juga yang bercadar. 

Namanya pilihan sesuai dengan keyakinan, tak masalah. Saya menghargai pilihan itu. Toh di sini saya hanya menjadi teman belajar mereka saja di kelas.

Namun, memang ada keunikan tersendiri. Publik kebanyakan memahami kalau mahasiswa UIN atau IAIN atau STAIN itu ya mestinya bisa baca Alquran dengan baik. Berakhlakul karimah, termasuk tertib dalam berpakaian, khususnya untuk yang putri dengan jilbab atau hijabnya.

Saya dahulu juga punya pemahaman yang sama. Kalau masuk UIN pasti jilbab semua dan punya standar pemahaman agama yang lumayan. Setidaknya kebanyakan orang pikir begitu soal kampus Islam. 

Rasanya juga tidak keliru amat jika mereka memersepsikan demikian. Apalagi kalau masuk kampus ini ada tambahan pelajaran bahkan tes di awal soal baca Alquran. 

Masak iya pula anak UIN tidak bisa baca Alquran. Apa kata dunia?

Di kenyataan, memang kebanyakan mahasiswi kampus Islam, tak hanya di UIN, bahkan juga di kampus umum, memakai jilbab hanya di kampus. Di luar atau di rumah atau kala main, tidak lagi pakai jilbab. 

Bahwa kemudian urusan jilbab ini urusan masing-masing, its ok. Tapi kalau kemudian mahasiswi kampus Islam hanya jilbaban di kampus, rasanya kurang afdal bagi sebagian orang.

Pekan lalu saya mengisi kelas ekskul jurnalistik. Salsabila, salah seorang mahasiswi peserta kelas, ingin menulis fenomena ini. Saya menyuruhnya menulis lengkap dan akan saya naikkan di web yang saya kelola. Namun, lantaran ini menarik, dan saya juga punya gagasan soal ini, perihal ini saya ketengahkan.

Setidaknya, ada beberapa alasan mengapa mahasiswi kampus Islam hanya jilbaban saat studi. Saat di luar, di rumah, main, dan kongko-kongko, tak pakai jilbab.

Kesatu, masuk kampus Islam alternatif terakhir

Awalnya memang tidak tertarik masuk kampus dengan embel-embel Islam. Namun, karena kebanyakan tidak lolos masuk perguruan tinggi negeri umum, kampus Islam semisal UIN, IAIN, dan STAIN jadi pilihan. Kebanyakan juga dari SMA tidak pakai jilbab.

Namun, setelah diterima dan mesti kuliah dalam pakaian muslimah, mau tak mau harus mau. Maka itu, ke kampus teman-teman mahasiswi pakai jilbab semua. Sebagian ada yang meneruskan di kehidupan keseharian, sebagian tidak.

Jadi, pilihan ke kampus ini memang bukan karena sejak awal sudah membidik. Meski demikian, ada saja yang memang sejak awal sudah punya niat kuliah di sini. Beberapa di antaranya lulusan pesantren.

Tapi dari survei kecil-kecilan, juga tak banyak yang asalnya dari pondok. Dari katakanlah 30-an siswa, yang alumni ponpes paling 3-4 orang. 

Dari 3-4 orang itu, barangkali hanya separuh yang memutuskan menjadi mahasantri di kampus. Jadi, tak heran kalau dari sisi input saja, relatif pemahaman soal jilbabnya sebatas di kampus.

Kedua, jilbab baru sebatas aturan formal

Saat diskusi, kami bersepakat bahwa aturan memakai jilbab ini baru sebatas aturan formal. Ia mengikat pada saat di kampus. Namun, di luar, diserahkan kepada masing-masing. Ya tak masalah juga. Tentu kampus ada keterbatasan mau memberikan pemahaman soal itu.

Namun, kajian menariknya adalah, embel-embel Islam pada kampus itu mestinya berubah sedikit demi sedikit. Misalnya, semua dosen diberikan tugas untuk menyelipkan soal ini. 

Dalam arti, sampaikanlah bahwa upayakan memakai jilbab pada semua aktivitas. Tidak hanya dipakai saat di kampus. Tapi juga dipakai dalam keseharian.

Silakan saja dijelas-jelaskan lagi bahwa hukukmnya apa pakai jilbab itu. Manfaatnya apa. Dan sebagainya. 

Mungkin untuk kampus umum, hanya dalam mata kuliah Agama Islam saja ini disampaikan. Namun, untuk kampus Islam, ada baiknya diketengahkan juga soal ini setiap kali dosen mengajar.

Setidaknya, kampus memberikan pemahaman dasar bahwa untuk muslimah sebaiknya menggunakan jilbab. Kalaupun itu sudah dan masih juga belum berubah, ya tak masalah. Yang penting sudah disampaikan.

Ketiga, anggapan jilbabkan hati lebih penting

Yang menarik juga ada anggapan bahwa menjilbabkan hati itu lebih penting. Beberapa ceramah para ustaz saya dengar juga ada fenomena itu. 

Mereka yang belum istikamah berjilbab lebih pilih menjilbabkan hati mereka ketimbang badannya. Bagi saya tidak masalah juga orang punya pendapat demikian. 

Namanya juga orang, punya alasan yang isi kepala yang berbeda. Lagipula, urusan itu masuk ranah masing-masing. 

Kita sekadar kasih saran dan masukan saja. Khususnya untuk kampus dengan nama Islam. Barangkali tidak begitu jadi persoalan kalau di kampus umum.

Saya juga tak hendak membantah soal ini. Dalam artian, kemudian saya nilai anggapan itu salah dan mestinya pakai saja jilbab sembari membenahi akhlak. Biarlah itu ucapan para pemuka agama. 

Andaipun saya mengulangnya, itu sekadar masukan dari seorang yang pernah menjadi dosen kepada mahasiswinya.

Di kelas pun, pengalaman selama ini, ucapan itu tak pernah saya sampaikan. Saya sedari awal sudah yakin mereka kemana-mana juga pakai jilbab. Khusnuzan saja semoga jadi berkah.

Anggapan bahwa menjilbabkan hati lebih penting juga tak keliru. Itu sepanjang mereka memang berusaha untuk itu. Makin kuat pula kalau contoh yang disorongkan memang figur publik.

"Najwa Shihab yang anak ulama besar saja enggak jilbaban, kok, Bang, apalagi saya anak kiai juga bukan." Alamak.

Keempat, anggapan jilbab bukan ukuran akhlak

Beberapa teman dalam diskusi ringan juga bilang kalau berjilbab bukan ukuran orang itu baik atau tidak. Yang lebih nyinyir bilang, buat apa pakai jilbab tapi masih suka gibah. 

Buat apa pakai jilbab tapi pacaran. Buat apa pakai jilbab kalau ketat. Buat apa pakai jilbab kalau salat saja masih bolong-bolong.

Saya terdiam dan senyum saja. Sebagai jurnalis dan bukan ustaz, saya merekamnya sebagai sebuah fenomena di masyarakat. Bahwa itu ada, ya benar. 

Bahwa itu kemudian menjadi karya jurnalistik juga bisa. Sebab, itu memang faktual dan punya nilai publik. Artinya, pendapat kebanyakan perempuan soal jilbab ini menarik. 

Makin menarik karena ia ada di ranah perguruan tinggi Islam. Di situ persoalannya.

Baca Juga: Guru Penggerak Cermin Kegagalan Pendidikan

Diskusi akan makin ramai jika dikaitkan dengan negara Arab Saudi yang sudah memperkenankan perempuan keluar rumah tak pakai jilbab. Ini makin menarik lagi.

Sekarang, kira-kira apa langkah dari kampus untuk bisa menempatkan jilbab ini pada posisi yang pas. Bahwa itu adalah kewajiban bagi muslimah yang tertera dalam ayat Alquran. 

Untuk yang ini, saya sependapat. Sebab, esensinya perguruan tinggi Islam, selain menyiapkan lulusan yang kompeten, juga islami. Salah satu aspeknya tentu saja dalam hal berpakaian.

Bahwa kemudian berkembang anggapan-anggapan yang saya ketikkan di beberapa poin di atas, memang benar adanya. Ia menjadi fenomena. Tinggal perguruan tinggi yang membuat terobosan agar sedikit demi sedikit bisa memberikan jawaban yang memuaskan.

Saya berpendapat, semua dosen yang masih mengajar di kampus Islam, kasih tahu soal jilbab setiap kali pertemuan. Misalnya, saat khatimah perkuliahan, disampaikan untuk tetap berhijab di mana saja berada. 

Sampaikan ayat Alquran dan kemanfaatannya. Sehingga, ini memotivasi. 

Mungkin awalnya tidak dari sisi religiositas, tapi dari sisi lain. Kata orang, "hidayah" itu bisa datang dari jalan mana saja.

Kemudian, kampus juga mesti kasih advis kalau akhlak itu selalu diperbaiki menuju kebaikan lainnya. Sehingga, tidak alasan tak pakai jilbab karena takut salah. 

Manusia kan tempatnya khilaf dan salah. Tapi dengan jilbab bisa mengurangi kans berbuat salah itu. 

Dan kalau salah bertobat kepada Allah swt. Mungkin itu pesan yang bisa disampaikan. 

Baca Juga: Memahami ABCD Jurnalisme Media Massa Online

Dengan demikian, mahasiswi ya santai saja dengan jilbabnya meski mungkin masih berbenah untuk menuju ke titik yang lebih baik. 

Saya menghindari kata "sempurna" atau "kesempurnaan" karena memang hiperbolik dan sulit diimplementasikan.

Perguruan tinggi Islam punya tugas tambahan nih. Selain menghasilkan lulusan yang kompetensinya baik, juga membentuk insan akademik yang islami. 

Bagi yang putri, salah satu wujudnya adalah istikamah dalam mengenakan hijab. Demikian tulisan ringan nan menggelitik ini. 

Semoga ada manfaat. Andai tidak manfaat, minimal tidak merugikan.

Oh iya, foto di artikel ini Khamidah Eka Safitri. Kalau dia insya Allah istikamah berjilbab. 

Doi lulusan MAN 1 Bandar Lampung dan kini menempuh studi di Institut Ilmu Quran (IIQ). Foto dia sengaja saya pasang sebagai cover artikel ini. 

Semoga bisa menjadi contoh bagi mahasiswa kampus Islam lainnya. Cerdas, cantik, saleha, dan berprestasi.

Baca profilnya di judul: Penghafal Quran Jadi Model?

Dan demi Allah, saya tidak mau pakai jilbab. Kalaupun saya nanti sudah alim dan akhlak sudah bagus pun, saya tidak mau pakai jilbab. 

Itu sikap saya. Entah dengan Anda. Hahaha. [Adian Saputra]

Foto pinjam dari Instagram @khamidahsafitri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun