Namanya juga orang, punya alasan yang isi kepala yang berbeda. Lagipula, urusan itu masuk ranah masing-masing.Â
Kita sekadar kasih saran dan masukan saja. Khususnya untuk kampus dengan nama Islam. Barangkali tidak begitu jadi persoalan kalau di kampus umum.
Saya juga tak hendak membantah soal ini. Dalam artian, kemudian saya nilai anggapan itu salah dan mestinya pakai saja jilbab sembari membenahi akhlak. Biarlah itu ucapan para pemuka agama.Â
Andaipun saya mengulangnya, itu sekadar masukan dari seorang yang pernah menjadi dosen kepada mahasiswinya.
Di kelas pun, pengalaman selama ini, ucapan itu tak pernah saya sampaikan. Saya sedari awal sudah yakin mereka kemana-mana juga pakai jilbab. Khusnuzan saja semoga jadi berkah.
Anggapan bahwa menjilbabkan hati lebih penting juga tak keliru. Itu sepanjang mereka memang berusaha untuk itu. Makin kuat pula kalau contoh yang disorongkan memang figur publik.
"Najwa Shihab yang anak ulama besar saja enggak jilbaban, kok, Bang, apalagi saya anak kiai juga bukan."Â Alamak.
Keempat, anggapan jilbab bukan ukuran akhlak
Beberapa teman dalam diskusi ringan juga bilang kalau berjilbab bukan ukuran orang itu baik atau tidak. Yang lebih nyinyir bilang, buat apa pakai jilbab tapi masih suka gibah.Â
Buat apa pakai jilbab tapi pacaran. Buat apa pakai jilbab kalau ketat. Buat apa pakai jilbab kalau salat saja masih bolong-bolong.
Saya terdiam dan senyum saja. Sebagai jurnalis dan bukan ustaz, saya merekamnya sebagai sebuah fenomena di masyarakat. Bahwa itu ada, ya benar.Â