Dari 3-4 orang itu, barangkali hanya separuh yang memutuskan menjadi mahasantri di kampus. Jadi, tak heran kalau dari sisi input saja, relatif pemahaman soal jilbabnya sebatas di kampus.
Kedua, jilbab baru sebatas aturan formal
Saat diskusi, kami bersepakat bahwa aturan memakai jilbab ini baru sebatas aturan formal. Ia mengikat pada saat di kampus. Namun, di luar, diserahkan kepada masing-masing. Ya tak masalah juga. Tentu kampus ada keterbatasan mau memberikan pemahaman soal itu.
Namun, kajian menariknya adalah, embel-embel Islam pada kampus itu mestinya berubah sedikit demi sedikit. Misalnya, semua dosen diberikan tugas untuk menyelipkan soal ini.Â
Dalam arti, sampaikanlah bahwa upayakan memakai jilbab pada semua aktivitas. Tidak hanya dipakai saat di kampus. Tapi juga dipakai dalam keseharian.
Silakan saja dijelas-jelaskan lagi bahwa hukukmnya apa pakai jilbab itu. Manfaatnya apa. Dan sebagainya.Â
Mungkin untuk kampus umum, hanya dalam mata kuliah Agama Islam saja ini disampaikan. Namun, untuk kampus Islam, ada baiknya diketengahkan juga soal ini setiap kali dosen mengajar.
Setidaknya, kampus memberikan pemahaman dasar bahwa untuk muslimah sebaiknya menggunakan jilbab. Kalaupun itu sudah dan masih juga belum berubah, ya tak masalah. Yang penting sudah disampaikan.
Ketiga, anggapan jilbabkan hati lebih penting
Yang menarik juga ada anggapan bahwa menjilbabkan hati itu lebih penting. Beberapa ceramah para ustaz saya dengar juga ada fenomena itu.Â
Mereka yang belum istikamah berjilbab lebih pilih menjilbabkan hati mereka ketimbang badannya. Bagi saya tidak masalah juga orang punya pendapat demikian.Â