wartawan Indonesia yang sempat mendapat beasiswa Nieman Fellowship di Universitas Harvard, Amerika Serikat. Di sana, ia diajar "nabi jurnalisme" Bill Kovach.
Judul tulisan ini terinspirasi dari sebuah buku hasil karya Andreas Harsono. Andreas adalahWartawan Indonesia yang dapat Nieman Fellowship ini tidak banyak. Sebelum Andreas, ada beberapa, di antaranya Goenawan Mohammad dan Ratih Harjono. Nama pertama adalah wartawan senior majalah Tempo, nama kedua adalah jurnalis Kompas.
Andreas piawai menulis narasi. Suntingannya juga jempolan. Ia bikin buku dengan judul Agama Saya Adalah Jurnalisme.Â
Ungkapan itu bukan sebuah pernyataan langsung. Itu ia sampaikan kala wawancara satu jam di sebuah televisi beberapa tahun yang lampau. Kala itu presenter tanya soal jurnalisme.Â
Karena televisi yang menyiarkan itu milik grup Jawa Pos, hasil dialog juga diketik menjadi berita di koran Jawa Pos. Judul beritanya menghentak. "Agama Saya adalah Jurnalisme".
Andreas sama seperti mentornya, Bill Kovach, yakin jika jurnalisme itu sarat dengan kebaikan. Jurnalisme bisa memandu masyarakat untuk mendapatkan hak-haknya dengan baik.Â
Jurnalisme mampu mengarahkan pemerintahan sehingga berjalan pada treknya. Ia sampai pada ungkapan "agama saya adalah jurnalisme" karena menjawab soal Islam dan persatuan Indonesia. Andreas meyakini, jurnalisme sangat berguna untuk kebaikan masyarakat.
Saya sekali ketemu langsung dengan Andreas sekitar tahun 2009. Waktu itu saya masih aktif di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung. Sejak 2008, AJI Bandar Lampung bikin penghargaan untuk karya jurnalistik yang dinilai mempunyai dampak pada perubahan publik.Â
Nama penghargaan itu Saidatul Fitriah Award. Sedangkan penghargaan untuk orang atau lembaga yang dinilai punya kontribusi besar terhadap jurnalisme, kebebasan pers, dan demokrasi dengan nama Kamaroeddin Award.
Saat malam penganugerahan, kebetulan saya diminta lembaga untuk membacakan nominasi dan pemenanganya. Andreas waktu itu hadir. Kebetulan sehari sebelumnya ia menjadi narasumber pelatihan jurnalistik yang ditaja unit kegiatan mahasiswa Teknokra Universitas Lampung (Unila).
Saat saya membacakan narasi itu, Andreas menyimak saksama. Usai saya turun, kami berbincang ringan. Dia bilang, "Saya menikmati suasana malam ini. Khususnya waktu Anda membacakan nominasi penerima penghargaan."
Dari situ saya menjalin kontak. Ketika membutuhkan narasumber soal jurnalisme dan hak asasi manusia, saya acap mengontak Andreas.
Saya sepakat dengan Andreas. Jurnalisme itu sangat berguna untuk kebaikan masyarakat. Namun, barangkali tak semua masyarakat bisa memahami ini. Apalagi jika mereka hanya melihat tren media sekarang yang mengejar popularitas dan keviralan.
Untuk menjawab seberapa pantas jurnalisme menjadi "agama", ada baiknya butuh penjelasan lebih lanjut. Jika ukurannya adalah literatur, mungkin yang paling pas adalah 9 Elemen Jurnalisme yang disusun wartawan kawakan Amerika Serikat Bill Kovach.Â
Ia menyusun ini ditemani kompatriotnya Tom Rosenstiel. Kebetulan yang mengedit buku ini ke dalam bahasa Indonesia adalah Andreas Harsono.
Kovach wawancara dengan ribuan wartawan di Amerika Serikat. Bekas Kepala Biro New York Times di Washington DC ini akhirnya menyusun 9 elemen jurnalisme sebagai panduan jurnalis dalam bekerja. Saya tuliskan ringkasnya.
- Kewajiban pertama jurnalisme ialah pada kebenaran
- Kesetiaan jurnalisme itu kepada warga
- Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi
- Para praktisinya (jurnalis atau wartawan) harus menjaga independensi dari objek liputannya
- Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen kekuasaan
- Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling kritik dan menemukan kompromi
- Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan
- Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional
- Jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personalnya
Ada tambahan satu poin lagi yang ditulis di buku yang berbeda. Namun, ini menjadi pelengkap dari 9 elemen yang sebelumnya dirumuskan Kovach dan Rosentiel.
- Warga juga punya hak dan tanggung jawab dalam hal-hal yang berkaitan dengan berita
Elemen ke-10 ini Kovach paparkan dalam sebuah buku baru berjudul Blur. Ini riset Kovach setelah melihat era digital dan menempatkan warga sebagai objek utama jurnalisme. Ada kawan bilang, ini seperti 10 perintah Tuhan yang turun untuk Nabi Musa alaihissalam, Â Ten Commandements.
Kewajiban pertama jurnalisme ialah pada kebenaran
Mengapa jurnalisme itu punya kewajiban kepada kebenaran? Kebenaran seperti apa yang mesti diwujudkan oleh jurnalisme? Bagaimana posisi agama dalam jurnalisme?
Para wartawan melakukan liputan berdasarkan fakta yang terjadi. Peristiwa yang diliputnya adalah yang riil terjadi. Kefaktualan inilah yang menjadi dasar peliputan.Â
Apa yang terjadi riil itulah yang diwartakan. Kebenaran dalam jurnalisme simpel disebut kebenaran fungsional. Apa yang tersaji sebagai fakta itulah yang diwartakan.
Karena itu, hoax tentu sudah jelas bukan bagian dari jurnalisme. Informasi yang belum jelas kebenarannya tidak menjadi karya yang dikategorikan jurnalistik.
Kebenaran fungsional ini terbentuk lapis demi lapis. Saya sudah mendedahkan ini dalam artikel sebelumnya di sini. Judulnya Jurnalisme Lapis Legit.
Ringkasnya begini. Saya melakukan reportase terhadap dugaan pencabulan. Yang melakukannya diduga kuat pimpinan pondok pesantren. Yang namanya pondok pesantren ya tentu orang Islam. Tidak usah disebut agamanya pun orang sudah mahfum semua.Â
Jika faktualnya memang demikian, itulah kebenaran fungsional. Yang terjadi memang demikian. Meskipun agama tersangka itu Islam dan saya juga muslim, ya tak masalah. Ini bukan persoalan agama apa, melainkan ada peristiwa pidana yang mesti diwartakan.Â
Media mewartakan itu bukan sekadar sensasi karena ada unsur kekerasan seksual. Media mewartakan supaya pembaca juga hati-hati. Supaya orangtua yang punya anak di ponpes juga waspada dan sama-sama menjaga. Diberitakan juga dengan maksud agar tidak ada kejadian sama yang terulang.
Kedua, kesetiaan (loyalitas) jurnalisme itu kepada warga
Loyalitas jurnalisme itu kepada warga, kepada pembaca, kepada publik. Orientasinya tentu bukan sekadar kepada algoritma Google sehingga bisa tampil di halaman 1 dan diklik jutaan orang.Â
Yang menjadi orientasi jurnalisme itu ya warga dengan segala persoalan dan dinamikanya. Kalau ada kasus gizi buruk ya mesti diberitakan sebagai wujud loyalitas kepada warga.
Jika ada kasus anak putus sekolah karena tidak ada biaya, juga diberitakan. Itu juga wujud loyalitas kepada warga. Yang namanya loyalitas tidak berdasarkan uang.Â
Warga tak membayar jurnalis atau wartawan untuk diberitakan. Untuk makan saja susah apatah lagi memberikan uang kepada jurnalis untuk memberitakan persoalan mereka.
Amat banyak di sekitar kita persoalan warga. Karena media massa itu dibaca publik, mereka adalah loyalis-loyalisnya. Tanpa pembaca, tanpa publik, tanpa warga, media massa bisa apa.Â
Kalau tak dibaca, tak bakal punya daya pengaruh. Itulah esensinya loyalitas media massa, loyalitas wartawannya kepada masyarakat, kepada publik, kepada mereka yang papa.
Ketiga, esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi
Saya juga pernah menulis ini di Kompasiana. Pembaca bisa menikmatinya di tautan ini. Mendidik Warganet Disiplin Verifikasi demi Informasi Sarat Akurasi.Â
Disiplin verifikasi mengajarkan kepada kita untuk skeptis dengan kabar yang datang. Apalagi kalau itu datang dari mereka yang dikenal sumber hoax. Dalam Alquran Surat Al Hujurat ayat 6, orang semacam itu disebut orang fasik.
"Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu."
Agama sudah memandu kita ke sana. Kalau semua kita taat dengan ini, pasti hoax tak viral seperti kebanyakan sekarang. Syaratnya, kita jangan mudah percaya dengan kabar yang datang. Cek dulu dengan saksama informasi yang datang. Cari perbandingan dulu jika ada berita di sebuah web.Â
Maaf, apalagi web yang tidak ada nama penulis atau editor, tidak ada susunan redaksi, dan semua kontennya hanya berupa opini yang dibikin untuk kepentingan tertentu.
Di noktah ini, agama dan jurnalisme berkelindan dengan erat. Keduanya sama-sama mengajak kita untuk bijak dalam menerima informasi.Â
Saksama dalam menyerap kabar. Cerdas dalam memperlakukan informasi. Tidak mudah meneruskan tautan kepada orang lain.
Jika kita skeptis, kita akan selamat di era disrupsi media ini. Terima yang sahih, tolak yang daif.
Keempat, menjaga independensi
Memang bekerja di media massa kita sulit untuk benar-benar bebas dari intervensi. Namun, bukan berarti tidak bisa. Minimal kepada objek liputan.Â
Kita mesti punya sikap. Tidak punya sikap kebanyakan karena permisif dengan amplop. Tentu bukan amplopnya, tetapi dengan uang yang ada di amplop.
Kalau media massa gembar gembor agar pejabat negara tidak terima gratifikasi, insan pers mestinya begitu juga. Maka itu, bagus punya prinsip antisuap, antiamplop, dan antisogok. Pasalnya, jika kita bisa menjaga itu semua, kita bisa independen terhadap objek liputan.
Akan tetapi, kalau kita sudah permisif dengan amplop, sulit bagi kita berlaku independen. Kita takkan bisa merdeka dalam menulis.Â
Sebab, pemberian itu, dari narasumber, misalnya, selalu terbayang. Kawan saya bilang, tangan yang menerima takkan bakal bisa melawan tangan yang memberi, Adian.
Dalam agama Islam, juga agama lain, tak boleh kita terima suap. Suap atau rasuah dilarang. Yang memberi dan menerima semua masuk negara, eh neraka. Astagfirullah. Â
Kalau media massa permisif gratifikasi dari narasumber atau penguasa, ke mana warga hendak membaca berita kritis. Ke media massa mana lagi mereka mesti percaya. Dan kemana lagi harapan pembaca hendak diapungkan.
Dalam sebuah hadis, merujuk pada poin ini, disebutkan. "Jihad paling tinggi itu berucap sesuatu yang benar kepada penguasa yang zalim." Duh, beratnya...
Kelima, jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen kekuasaan
Ini juga tema yang berat. Masih ada kaitan erat dengan pembahasan soal independensi.Â
Kekuasaan di mana-mana itu cenderung korup atau menyeleweng. Dari kekuasaan tingkat RT sampai presiden. Semua kekuasaan, mengutip Lord Acton, cenderung korup. Apalagi kekuasaan yang absolut, peluang korupnya ya lebih lagi.
Karena itu, jurnalisme hadir sebagai pemantau kekuasaan. Bahasa kerennya watch dog. Anjing itu ya menggonggong. Jarang menggigit kalau tidak terpaksa betul. Bisanya menggonggong.Â
Media massa itu ya sama. Jurnalisme di mana-mana mesti menyalak jika ada kekuasaan yang korup. Jurnalisme mesti ambil peran untuk mengawasi kekuasaan.Â
Kalau mayoritas kepala desa minta jabatan satu periode bertambah jadi 9 tahun, media massa mesti menyalak. Jurnalisme mesti menggonggong. Jurnalis mesti piawai mengolah ini sebagai bentuk kontrol terhadap kekuasaan.
Jika pemilu hendak ditunda gara-gara efek pandemi dan penguasa sekarang ditambah masa jabatan, jurnalisme mesti mengaum. Media massa mesti kasih public adress yang tepat untuk publik.Â
Dengan begitu, ada penyeimbang dalam struktur demokrasi kita. Itulah sebab jurnalisme hadir sebagai pilar keempat demokrasi setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Dalam hadis saya pernah baca dan lumayan hafal. "Jika di antara kamu melihat kemungkaran, ubahlah dengan tanganmu. Dan jika kamu tidak cukup kuat untuk melakukannya, gunakanlah lisan. Namun, jika kamu masih tidak cukup kuat, ingkarilah dengan hatimu karena itu adalah selemah-lemahnya iman." (HR Muslim).
Keenam, jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling kritik dan menemukan kompromi
Di media massa ada ruang surat pembaca, opini, dan sebagainya. Rakyat boleh kasih masukan di situ. Pembaca diperkenankan memberikan usulan dan masukan.Â
Warga boleh memberikan kritik dan komentar. Media massa mesti memberikan perlindungan. Kelompok masyarakat sipil mesti advis dan advokasi.
Sebab, lisan rakyat ini lemah jika tidak disuarakan. Mereka yang papa lagi miskin tidak punya akses kepada sumber kekuasaan. Mau bayar pengacara mereka tak sanggup. Tidak punya pula kenalan di entitas negara dan penegak hukum.Â
Satu-satunya harapan rakyat adalah bersuara dan meminta advokasi media massa. Publik mesti dikasih ruang untuk kritik. Mereka ada hak memberikan suaranya di media massa. Tanpa mereka, jurnalisme takkan punya makna apa-apa.
Ketujuh, jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan
Jurnalisme membuat karya bukan semata untuk keperluan algoritma dan adsense Google. Jurnalisme hadir untuk memproduksi karya yang enak dibaca dan relevan. Bukan semata-mata bombastis dengan judul yang menggoda tapi membodohkan.
Oleh karena itu, media massa melatih para jurnalisnya untuk membuat karya yang menarik. Berita penting dan baru disajikan dengan menarik dalam bentuk narasi yang memikat. Ada penulisan berupa feature untuk mengikat pembaca. Soal ini nantilah lain waktu insya Allah saya tuliskan.
Pendeknya, konten jurnalistik bukan sekadar disajikan begitu saja. Media massa mesti memolesnya sehingga menarik minat publik untuk membaca dan menyaksikannya. Oleh sebab itu, media memberikan porsi bujet untuk peningkatan kualitas karya jurnalistiknya.
Bagaimana mau menemukan angle yang kuat jika kualitas jurnalisnya di bawah rata-rata. Bagaimana hendak menulis feature yang memikat jika tak mampu menemukan diksi yang beragam dari kamus besar.
Agama mengajarkan untuk menyampaikan pesan dakwah dengan cerdas. Itulah sebabnya, satu di antara sifat nabi itu fatanah alias cerdas.
Kedelapan, jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional
Sejak ada media massa daring, kecenderungan berita yang diunggah makin pendek. Kadang malahan superpendek. Nanti disambung di berita berikutnya sebagai lapisan demi lapisan pembentuk kebenaran dalam karya jurnalistik.
Media massa wajib memberikan informasi yang utuh dan tidak sepotong-sepotong. Media massa mesti kasih berita yang lengkap dan proporsional.
Berhari-hari ruang televisi dan juga media massa penuh dengan berita Sambo. Elemen masyarakat yang ingin Sambo dihukum mati, banyak kita baca.Â
Orang Indonesia juga punya kecenderungan untuk "membela" Bharada Eliezer. Begitu vonis ringan 1 tahun 6 bulan untuk Eliezer, kebanyakan orang senang. Ya itulah manfaat Eliezer jadi justice collaborator.
Media massa mestinya memberikan porsi yang proporsional. Jangan malah terbawa persepsi publik bahwa tindakan membunuh dengan menembak itu benar meski diperintah atasan.
Di agama juga kita diminta taat kepada orangtua. Tentu sepanjang perintah orangtua atau siapa pun itu tidak mafsadat apalagi maksiat. Kalau kita disuruh salat, itu baik. Kita disuruh infak, itu baik juga.Â
Namun, kalau kita disuruh mabuk, ya tinggalkan. Tidak ada kewajiban untuk kita atas perintah yang sarat mafsadat dan maksiat.
Kesembilan, jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personalnya
Wartawan itu manusia juga. Ia punya nurani. Apalah ia diperbolehkan menggunakan nurani saat bertugas? Boleh. Ia bisa mengikuti nuraninya kala melakukan reportase.Â
Mencari berita memang utama. Tapi sebagai manusia ia adalah bagian dari kemanusiaan pada umumnya. Di atas jurnalisme ada sisi kemanusiaan.
Jika berada pada satu posisi di liputan soal kemiskinan, apakah boleh jurnalis memberikan porsi besar kepada mereka yang miskin? Apakah boleh ia menulis untuk mengetuk nurani manusia lainnya? Apakah diperkenankan ia mengajak warga lain untuk membantu? Jawaban untuk semuanya adalah boleh.
Nurani wartawan itu penting karena ia adalah sisi terdalam sebagai manusia. Termasuk juga kala wartawan punya salah. Ia mesti minta maaf jika bersalah.Â
Salah bisa dalam penulisan. Keliru bisa dalam akurasi yang tak presisi. Khilaf dalam arti kurang ketat dalam verifikasi. Jika salah, ia mesti minta maaf.
Kesepuluh, warga juga punya hak dan tanggung jawab dalam hal-hal yang berkaitan dengan berita
Poin terakhir ini tidak berada di buku yang sama karya Kovach dan Rosenstiel. Ia buku baru karena melihat banjir informasi sekarang. Berita kini tidak lagi dominasi wartawan media massa arus utama.
Peran warga juga penting. Bahkan, banyak kejadian viral dari ulah warganet. Di sini ditekankan bahwa warganet juga punya tanggung jawab. Ulah mereka bisa memicu hal kontraproduktif di masyarakat.
Tapi nilai-nilai baik juga mesti muncul dari reporter warga ini. Kita di Kompasiana punya peran penting pada poin terakhir elemen jurnalisme ini.
Kita punya tanggung jawab atas aktivitas kita dalam bermedia sosial. Di jari jemari kita dunia sudah digenggam. Informasi dari mana saja bisa dengan mudah dan cepat disebarluaskan.Â
Sebab itulah, kita diminta menjadi warganet yang baik. Sebab, dunia ini butuh orang-orang baik dan cerdas seperti kita, insya Allah.
Terima kasih sudah saksama membaca. Mohon maaf bila narasi ini berkelewahan. Saya sudah melakukan swasunting dengan saksama. Namun, jika masih ada kekurangan, sekali lagi saya minta maaf. [Adian Saputra]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H