Karena itu, hoax tentu sudah jelas bukan bagian dari jurnalisme. Informasi yang belum jelas kebenarannya tidak menjadi karya yang dikategorikan jurnalistik.
Kebenaran fungsional ini terbentuk lapis demi lapis. Saya sudah mendedahkan ini dalam artikel sebelumnya di sini. Judulnya Jurnalisme Lapis Legit.
Ringkasnya begini. Saya melakukan reportase terhadap dugaan pencabulan. Yang melakukannya diduga kuat pimpinan pondok pesantren. Yang namanya pondok pesantren ya tentu orang Islam. Tidak usah disebut agamanya pun orang sudah mahfum semua.Â
Jika faktualnya memang demikian, itulah kebenaran fungsional. Yang terjadi memang demikian. Meskipun agama tersangka itu Islam dan saya juga muslim, ya tak masalah. Ini bukan persoalan agama apa, melainkan ada peristiwa pidana yang mesti diwartakan.Â
Media mewartakan itu bukan sekadar sensasi karena ada unsur kekerasan seksual. Media mewartakan supaya pembaca juga hati-hati. Supaya orangtua yang punya anak di ponpes juga waspada dan sama-sama menjaga. Diberitakan juga dengan maksud agar tidak ada kejadian sama yang terulang.
Kedua, kesetiaan (loyalitas) jurnalisme itu kepada warga
Loyalitas jurnalisme itu kepada warga, kepada pembaca, kepada publik. Orientasinya tentu bukan sekadar kepada algoritma Google sehingga bisa tampil di halaman 1 dan diklik jutaan orang.Â
Yang menjadi orientasi jurnalisme itu ya warga dengan segala persoalan dan dinamikanya. Kalau ada kasus gizi buruk ya mesti diberitakan sebagai wujud loyalitas kepada warga.
Jika ada kasus anak putus sekolah karena tidak ada biaya, juga diberitakan. Itu juga wujud loyalitas kepada warga. Yang namanya loyalitas tidak berdasarkan uang.Â
Warga tak membayar jurnalis atau wartawan untuk diberitakan. Untuk makan saja susah apatah lagi memberikan uang kepada jurnalis untuk memberitakan persoalan mereka.
Amat banyak di sekitar kita persoalan warga. Karena media massa itu dibaca publik, mereka adalah loyalis-loyalisnya. Tanpa pembaca, tanpa publik, tanpa warga, media massa bisa apa.Â