Karena itu, jurnalisme hadir sebagai pemantau kekuasaan. Bahasa kerennya watch dog. Anjing itu ya menggonggong. Jarang menggigit kalau tidak terpaksa betul. Bisanya menggonggong.Â
Media massa itu ya sama. Jurnalisme di mana-mana mesti menyalak jika ada kekuasaan yang korup. Jurnalisme mesti ambil peran untuk mengawasi kekuasaan.Â
Kalau mayoritas kepala desa minta jabatan satu periode bertambah jadi 9 tahun, media massa mesti menyalak. Jurnalisme mesti menggonggong. Jurnalis mesti piawai mengolah ini sebagai bentuk kontrol terhadap kekuasaan.
Jika pemilu hendak ditunda gara-gara efek pandemi dan penguasa sekarang ditambah masa jabatan, jurnalisme mesti mengaum. Media massa mesti kasih public adress yang tepat untuk publik.Â
Dengan begitu, ada penyeimbang dalam struktur demokrasi kita. Itulah sebab jurnalisme hadir sebagai pilar keempat demokrasi setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Dalam hadis saya pernah baca dan lumayan hafal. "Jika di antara kamu melihat kemungkaran, ubahlah dengan tanganmu. Dan jika kamu tidak cukup kuat untuk melakukannya, gunakanlah lisan. Namun, jika kamu masih tidak cukup kuat, ingkarilah dengan hatimu karena itu adalah selemah-lemahnya iman." (HR Muslim).
Keenam, jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling kritik dan menemukan kompromi
Di media massa ada ruang surat pembaca, opini, dan sebagainya. Rakyat boleh kasih masukan di situ. Pembaca diperkenankan memberikan usulan dan masukan.Â
Warga boleh memberikan kritik dan komentar. Media massa mesti memberikan perlindungan. Kelompok masyarakat sipil mesti advis dan advokasi.
Sebab, lisan rakyat ini lemah jika tidak disuarakan. Mereka yang papa lagi miskin tidak punya akses kepada sumber kekuasaan. Mau bayar pengacara mereka tak sanggup. Tidak punya pula kenalan di entitas negara dan penegak hukum.Â
Satu-satunya harapan rakyat adalah bersuara dan meminta advokasi media massa. Publik mesti dikasih ruang untuk kritik. Mereka ada hak memberikan suaranya di media massa. Tanpa mereka, jurnalisme takkan punya makna apa-apa.