Kentungan ini biasa digunakan sebagai alat pendamping ronda (patroli menjaga keamanan kampung) yang berfungsi sebagai alat komunikasi tradisional yang berfungsi untuk menyampaikan informasi.
Di daerah saya memukul kentungan dalam pos ronda merupakan bahasa sandi untuk mengetahui adanya alarm bencana alam, pencurian, dan lain-lain seperti, pada bulan Ramadan, kentungan digunakan untuk membangunkan orang sahur.
Biasanya, jumlah setiap pukulan kentungan memiliki arti berbeda. Misal jika dipukul per satu kali, menandakan ada sebuah informasi (kerja bakti, gotong royong, bersih-bersih kuburan)
Kemudian jika dipukul per dua kali terus menerus, biasanya ada kasus pencurian. Sedangkan saat dipukul tiga kali, ada informasi bencana atau bahaya.
Dalam hal peringatan bencana, tujuannya jelas. Selain berharap seluruh warga kampung selamat dari bahaya juga untuk mengingatkan penghuni kampung agar siaga dan waspada. Jangan larut dan hanyut dalam kesibukan saat alam kurang bersahabat.
Sedangkan saat gempa yang datang secara tiba-tiba tanpa bisa diprediksi. Reaksi dan teriakan spontan warga umumnya meneriakan kalimat lini-lini-lini.
Bagi saya, perilaku teriakan lini (gempa, dalam bahasa sudah pen.)Â adalah upaya untuk mengingatkan sesama warga bahwa saat ini sedang terjadi gempa bumi. "Mari kita siaga dan waspada serta berupaya untuk menyelamatkan diri." Begitu kira-kira pesan yang hendak disampaikan.
Dan jika akan terjadi potensi bencana yang lebih parah, perilaku ini diharapkan sebagai bagian dari peringatan dini agar masyarakat bersiap untuk menyelamatkan diri dan harta bendanya ke lokasi yang lebih aman.
Baca juga:Â Cara Urang Kanekes Menjaga Kearifan Lokal untuk Kelestarian Lingkungan
Nah, sekarang bagaimana meminimalkan risiko korban jiwa dan kerugian harta benda akibat gempa?