f. Infiltrasi di Ormas Muhammadiyah,NU, MUI, Lembaga Pendidikan, Instansi Pemerintah dan Swasta
Contoh Infiltrasi:
- Infiltrasi di Muhammadiyah
Pada bulan Desember 2006 ormas Muhammadiyah mengeluarkan Surat Keputusan Pimpinan Pusat (SKPP) Muhammadiyah Nomor:l49/Kep/I.0/B/2006 tentang “Kebijakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Mengenai Konsolidasi Organisasi dan Amal Usaha Muhammadiyah.” Surat Keputusan ini ditandatangani oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. HM. DinSyamsuddin, MA dan Sekretaris Umum Drs. HA. Rosyad Sholeh.
SKPP ini dikeluarkan dengan tujuan untuk“menyelamatkan Muhammadiyah dari berbagai tindakan yang merugikanPersyarikatan". Apa tindakan yang merugikan itu? Ada sepuluh butirkeputusan yang dituangkan dalam SKPP tersebut. Secara garis besar tindakan yangdisebut merugikan itu antara lain adalah infiltrasi di tubuh Muhammadiyah dariorganisasi lain yang memiliki paham, misi, dan kepentingan yang berbeda denganMuhammadiyah.
SKPP menyebut Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai partai politik yang telah memanfaatkan Muhammadiyah untuk tujuan meraihkekuasaan politik. Karena itu SKPP menyerukan kepada para anggota dan piminan Muhammadiyah agar membebaskan diri dari misi dan tujuan partai politiktersebut. “Muhammadiyah harus bebas dari pengaruh, misi, infiltrasi, dankepentingan partai politik yang selama ini mengusung misi dakwah atau partaipolitik bersayap dakwah, di samping bebas dari misi/kepentingan partai politikdan organisasi lainnya sebagaimana kebijakan khittah Muhammadiyah."
Sejauh mana sebenarnya "cengkraman PKS dan gerakan garis keras lain dalam Muhammadiyah dan bagaimana itu bisa terjadi sehingga ormas terbesar kedua di Indonesia ini merasa khawatir? Di sini akan digaris bawahi poin-poin yang disebut SKPP sebagai penyusupan partai politik bersayap dakwah yang memanfaatkan amal usaha, masjid, lembaga pendidikan, dan fasilitas lainnya milik Muhammadiyah untuk kegiatan politik. Aktivitas PKS ditubuh Muhammadiyah yang mengatas namakan dakwah seperti pengajian dan pembinaan keumatan, juga disebut dalam SKPP ini sebagai telah digunakan untuk kepentingan politik.
Bukan hanya itu, organ-organ media massa yang berada di lingkungan Muhammadiyah rupanya juga telah disusupi gerakan gariskeras, baik oleh orang orang yang berasal dari luar maupun yang sejak semula merupakan anggota Muhammadiyah lalu menjadi aktivis kelompok garis keras sambil tetap menancapkan kakinya di Muhammadiyah. SKPP menyerukan agar seluruh media massa yang berada di lingkungan Muhammadiyah benar-benar menyuarakan paham, misi, dan kepentingan Muhammadiyah serta menjadi wahana untuk sosialisasi paham, pandangan, keputusan, kebijakan, kegiatan, dan syiar Muhammadiyah serta menjauhkan diri dari paham, misi, dan kepentingan organisasi/gerakan lain.
SKPP Muhammadiyah ini memang lahir untuk memperkuat upaya konsolidasi di tubuh organisasi. Hal ini menunjukkan bahwaadanya infiltrasi ideologi dan gerakan lain di tubuh Muhammadiyah telah dianggap sebagai persoalan yang serius. Salah satu buktinya adalah munculnya sikap mendua di kalangan Muhammadiyah seperti dalam melaksanakan Hari Raya IdulFitri/Idul Adha, serta menjadikan Muhammadiyah sebagai sarana kegiatan partaipolitik (baca: PKS), yang menimbulkan pengeroposan dan mengganggu keutuhanorganisasi.
(h. 179-180)
Isu PKS sebagai partai terbuka memperolehtantangan keras dari kalangan dalam PKS sendiri, akhirnya PKS kembali menjadipartai tertutup, hanya untuk kalangan Islam dan konsisten perjuangkan syariat Islam. Mengapa PKS begitu mudah memungkiri kebijakan-kebijakan yang dihasilkannya di Mukemas Bali? Tampaknya PKS ingin menempuh politik bermuka dua: untuk konsumsi publik yang lebih luas ia perlu menegaskan identitassebagai partai terbuka dan bervisi kebangsaan dengan retorika menerima Pancasila dan UUD 1945 sebagai telah final bagi bangsa Indonesia. Namun dihadapan konstituennya ia tetap menyatakan diri sebagai partai dakwah berasas Islam, dan syariat Islam wajib dengan konsisten dijalankan oleh setiap pemeluk agama Islam (Piagam Jakarta). Jika begitu, bukankah berarti bahwa retorika penerimaan Pancasila dan UUD 1945 hanya sebagai tameng.
Menjadi jelas bahwa PKS sangat terganggu dengan SKPP Muhammadiyah. Karena itu berbagai cara ditempuh agar SKPP itu tidak relevan bagi PKS. Salah satu caranya adalah memasang tameng penghalang. Ibarat bermain catur, ketika sang rajadi-skak maka cara yang aman adalah menghalanginya dengan buah catur yang lain. Dalam hal ini, Pancasila dan UUD 1945 digunakan sebagai buah catur (tameng penghalang dari serangan musuh). Persis di sinilah letak bahayanya. Infiltrasi di Muhammadiyah yang berakibat keluarnya SKPP justru dimanfaatkan oleh PKS untuk menyusup lebih jauh ke jantung kesadaran bangsa Indonesia, yaitu dengan mengklaim telah menerima Pancasila dan UUD 1945. Dengan begitu. bukan saja SKPP Muhammadiyah “menjadi tidak relevan," tapi juga kecurigaan bahwa PKS pada akhirnya mencita-citakan pendirian negara Islam “menjadi tidak berdasar.” Sayangnya, orang Melayu terlanjur yakin pada pepatah bahwa: “Ular yang paling berbahaya adalah ular yang bisa berubah warna!”
(h. 188.)
- Penyusupan di Nahdlatul Ulama
Sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) pantas merasa terusik dengan berbagai perkembangan yang dianggap membahayakan bangsa dan organisasinya, terutama menyangkut paham Ahlussunah wal Jamaah yang dianut warga NU. Ditengarai bahwa gerakan—gerakan garis keras telah menyusup ke dalam NU melalui masjid-masjid, majlis—majlis taklim, dan pondok-pondok pesantrenyang menjadi basis warga Nahdliyin (sebut— an untuk warga NU).
Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi menyebut bahwa masjid-masjid yang selama ini dibangun dan dikelola oleh warga NU berikut takmir masjid dantradisi ritual peribadatannya telah diambil alih oleh kelompok Islam ekstrim. Menurutnya, hal itu dilakukan karena kelompok yang kerap mem'bid'ahkan bahkan mengkafirkan warga Nahdliyyin itu “[T]tidak mampu membuat masjid sendiri, kemudian mengambil alih masjid orang lain (masjid warga nahdliyyin, red), terus dipidatoin di situ untuk politisasi. Kan maksudnya begitu. Yang dirugikan akhirnya NU," ungkap Hasyim Muzadi yang menyebut kelompok ekstrem itu antara lain adalah pengusung wacana Khilaf'ah Islamiyah, yakni Hizbut Tahrir Hasyim menginstruksikan semua pengurus NU di seluruh Indonesia untuk menjaga masjid agar tidak dimasuki oleh kelompok— kelompok garis keras. Ia jugamengingatkan agar kelompok-kelompok garis keras itu diwaspadai karena secara keyakinan memang sudah tidak segaris dengan NU. “Mereka adalah kelompok yang ingin mendirikan negara Islam,” tegasnya.*
*“Hasyimlmbau Takmir Masjid NU Waspada,“ lihat NU Online, Selasa, 28 November 2006.
(189-190)
lnfiltrasi di Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Menguatnya peran MUI akhir-akhir ini patut mendapatkanperhatian khusus. Kevokalan MUI dalam menyuarakan berbagai pandangan dan tuntutannya juga paralel dengan kecenderungan ini. Yang membuat MUI lebih kuatdari ormas keagaman umumnya adalah karena keterkaitan langsung lembaga agama bikinan Orde Baru ini dengan pemerintah. Karena sejak awal didirikannyadiniatkan sebagai instrumen pemerintah otoriter untuk menyangga kekuasaan dan menjinakkan gerakan keagamaan anti pemerintah, maka ia memiliki fasilitas yang sangat besar. Ia, misalnya, memiliki cabang di seluruh Indonesia, secara formal dari kabupaten, propinsi hingga pusat dan memiliki struktur informal di tingkat kecamatan. Seluruh struktur tersebut mendapatkan biaya dari negara. Sementara di pihak lain, MUI bisa mencari dana tambahan dari proyek-proyek keagamaan yang diciptakannya tanpa dikontrol oleh pemerintah dan publik, seperti dari sumber proyek labelisasi halal untuk makanan, kedudukannya yang penting dalam Bank Syari'ah di seluruh perbankan yang membuka gerai Syari’ah, serta proyek-proyek politik tertentu dari pemerintah seperti sosialisasi RUU tertentu yang berkaitan dengan isu agama*.