Saat akhir pekan tiba, Hardi menepati janji untuk bertemu mantan manajernya itu. Masih dengan tanda tanya besar yang memenuhi kepalanya, Hardi melangkahkan kaki menuju kedai kopi di persimpangan jalan, 600 meter dari rumahnya. Dahulu, saat ia masih bekerja di pabrik, Hardi sering menghabiskan waktu bersama manajernya itu, bahkan tak jarang sang manajer mentraktirnya segelas kopi.
Sesampainya di sana, Hardi langsung menemui mantan manajernya. Seorang laki-laki berusia lima puluhan, mengenakan kemeja coklat dengan celana bahan hitam. Perawakannya masih sama seperti enam tahun lalu, sangat berkharisma.
"Halo, Hardi. Sini duduk!", ucap mantan manajer itu begitu melihat kehadiran Hardi.
"Oh iya, pak"
"Pesan makan dulu, kamu mau pesan apa, Di?"
"Ah nggak usah, pak. Terima kasih, kebetulan saya sudah makan tadi"
"Yaudah kalau gitu pesan kopi saja, gih!"
Hardi menurut, ia kemudian memesan segelas kopi susu. Tak menunggu waktu lama, akhirnya segelas kopi itu datang. Asap masih riuh mengembul di atasnya.
"Gimana keadaan bapakmu?", tanya sang mantan manajer tiba-tiba.
Pertanyaan tersebut spontan saja mengingatkan Hardi pada perkataan dokter yang menangani bapaknya tiga hari yang lalu. Saat itu kondisi Toyo tiba-tiba saja memburuk, ia mengeluhkan rasa sakit kepala yang teramat sangat. Oleh karena itu, Hardi segera membawa bapak ke rumah sakit. Dokter berkata bahwa Toyo harus segera diberi tindakan, karena sel kanker telah menyebar di tubuhnya. Biaya yang dibutuhkan untuk melakukan tindakan tersebut jumlahnya tidak sedikit, hingga Hardi hanya mampu termenung saat mengetahuinya.
"Keadaan bapak akhir-akhir ini sedang memburuk, pak"