"Ya!"
"Ciumlah keningku! Itu sudah cukup membuktikan kalau kau benar-benar mencintaiku."
Palasara mencium kening perempuan yang berlumuran darah itu. Ciuman yang tidak pernah dirasakan kedahsyatannya sewaktu mencium pacar-pacar sebelumnya.
"Palasara, aku mencintaimu!" Lara tersenyum. Semanis cinta yang tidak pernah dirasakan madunya sejak masih orok di dalam rahim ibunya sampai bertemu dengan lelaki itu. Lara mengatupkan kedua tingkap matanya. Sementara Palasara hanya menitikkan air mata. Mendekap tubuh Lara yang sedingin balok es. Betapa Ajaib! Mayat Lara berubah menjadi segumpal kabut. Menebar ke seluruh ruangan gerbong. Beraroma melati. Harum sekali!
***
KERETA melesat menuju Ibukota Astinapura. Seluruh penumpang di dalam gerbong No III saling bertatapan. Saat menyaksikan mayat Lara telah lenyap dari pandangan, mereka serempak membuka lubang hidungnya. Senasib napi-napi yang terbebas dari sel penjara. Menghirup udara di padang luas. Mabuk, tertidur, mendengkur, dan melelehkan liur dari mulutnya yang bau bangkai.
***
AMBANG fajar. Kereta tiba di stasiun terbesar di Astinapura. Seluruh penumpang yang terbangunkan petugas stasiun melalui pengeras suara turun dari setiap gerbongnya. Sementara, Palasara masih lelap tertidur. Terjaga, sesudah telinganya menangkap bisikan lembut seorang perempuan. "Lara?"
"Bukan!'' Aku Dini. Lengkapnya Dini Tetrania. Pramugari kereta."
"Jangan berbohong, Nona! Rambutmu, matamu, dan tubuhmu mengingatkanku pada Lara. Semalam yang mati di tangan seorang perwira keparat."
"Demi Tuhan, aku tidak berbohong!"