Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Gerbong No. III"

16 Maret 2018   07:44 Diperbarui: 16 Maret 2018   07:52 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://twitter.com/kai121

KERETA meniup peluit panjang. Meraung-raung. Merangkak. Menanggalkan stasiun terbesar di kota Gajahoya. Melesat. Melintasi pohon-pohon, rumah-rumah, sawah-sawah, bukit-bukit, dan stasiun-stasiun purba yang dibangun pada masa kolonial Gilingwesi. Membelah kota-kota kecil. Menuju ibukota Astinapura.

Memasuki desa Mintaraga, kereta menyalakan semua lampu pada setiap gerbongnya. Demikian pula gerbong No. III yang seluruh penumpangnya sontak menutup lubang hidungnya rapat-rapat. Dengan tisu kertas, sapu tangan, atau beberapa jarinya. Agar tidak muntah-muntah karena bau amis yang dihamburkan angin dari arah kursi belakang dekat toilet.

Para penumpang menatap nanar pada perempuan yang duduk di kursi belakang dekat toilet itu. Dialah Lara yang keringat tubuhnya berbau amis. Meski, panjang rambutnya yang bergerai semirip rambut model iklan shampoo. Sepasang matanya sebiru safir mata Maria.

Bagi lelaki yang duduk di samping Lara, perempuan itu sungguh menarik perhatiannya. Ia yang membungkus tubuh sintalnya dengan gaun perak itu serupa kijang muda bagi singa lapar. "Sendirian, Nona?"

"Ya."

"Sayang! Orang secantik kau tak punya teman."

"Hanya orang tolol yang pantas jadi temanku. Perempuan senasib sampah. Untuk apa Tuan memedulikanku?"

"Aku ingin menjadi teman perjalananmu. Boleh kan?"

Lara membuang pandangannya ke luar. Di mana rumah-rumah yang tampak samar-samar dari balik jendela retak karena lemparan batu itu mengesankan nisan-nisan raksasa. Mengubur mimpi setiap penghuninya. "Mengapa Tuan tidak seperti mereka yang menutuprapatkan lubang hidungnya atas bau tubuhku?"

Lelaki yang semakin digairahkan bau amis tubuh Lara tidak sanggup melontarkan sepatah kata. Ia serupa patung garnit.

"Jawablah pertanyaanku dengan ketulusan hatimu, Tuan!"

Sejenak lelaki menghiruphembuskan napas panjang. Membebaskan perasaan gugupnya. Menyembunyikan jati dirinya sebagai play boy klithikan. Berlagak sebagai seorang resi. Orang suci yang ditahtakan cantrik-cantriknya sebagai wali Tuhan. Penyelamat mayapada yang memandang manusia sejajar di hadapan Sang Maha Raja Semesta. "Kita sederajat di sisi-Nya. Bukankah demikian?"

"Betapa luhur jiwamu. Siapa nama Tuan?"

"Palasara. Nona?"

"Lara. Lara Amis."

"Apakah nama itu diberikan oleh ayah..., atau ibumu?"

"Bukan! Nama itu diberikan oleh orang-orang, yang tahu kalau aku lahir bukan atas nama cinta. Melainkan dengan berahi ayahku bajingan Rembulan dan ibuku pelacur Ilalang. Berahi yang selalu mereka gembalakan di samping rongsokan gerbong, rel, dan wc umum. Selepas senja hingga ambang subuh paling sunyi. Jelas?"

"Ya." Palasara mengambil permen cokelat dari saku bajunya yang terseterika. "Permen?"

"Aku tak suka permen."

"Roti keju?"

"Tidak. Terima kasih."

"Lantas?"

"Perkosalah aku!"

"Apakah orang semacamku punya potongan seorang pemerkoas?"

"Pencuri mana mengaku dirinya pencuri? Akui saja kalau Tuan ingin bercinta denganku! Perkosalah aku dengan nafsu singa menggaglak kijang betina! Aku suka itu, karena berahiku akan mendidih. Mengapa Tuan ragu? Apakah Tuan jengah bercinta di kursi ini, di mana orang-orang akan menyaksikan kita? Kita bisa melakukan di dalam toilet. Tuan pasti menyukainya! Bukankah amis tubuhku yang bercampur pesing toilet akan menggelegakkan gairah berahi Tuan? Cepat lakukan, Tuan! Tak perlu basa-basi!"

Kelakian Palasara sontak senasib pisang goreng di dalam kulkas. "Aku tak akan memerkosamu. Aku ingin mencintaimu dengan sepenuh jiwa."'

Lara ngakak. Hingga seluruh penumpang yang semakin rapat menutupi lubang hidungnya itu berang. Mereka serentak berdiri. Mengusir perempuan itu. Demikian pula lelaki berambut cepak, bertubuh tegap mirip atlit binaraga, dan mengenakan seragam perwira. Ia menarik pistol dari sarungnya. Terselip di ikat pinggangnya. "Lemparkan perempuan itu keluar dari kereta!"

"Tidak!" Palasara bangkit. "Kalian tidak berhak mengusirnya. Apalagi melemparkannya. Menyentuh tubuhnya pun tak boleh. Ia adalah kekasihku. Pertama, dan terakhir."

"Tidak peduli apakah ia kekasihmu, pujaanmu, bidadarimu." Perwira mengarahkan moncong postol itu tepat di kening Lara. "Kalau tidak segera kau keluarkan ia dari gerbong ini, peluruku akan meremukkan batok kepalanya."

"Manusia mesin! Seharusnya anda melindungi perempuan ini dari ancaman orang-orang itu. Bukannya berpihak pada mereka yang selalu menyemprot busuk jiwanya dengan parfum pilihan!"

"Lancang sekali mulutmu. Aku tak sedang main-main. Peluruku pasti mampu mengantarkan perempuanmu itu ke dasar jahanam paling hina. Tempat yang penuh sesak dengan gagak-gagak bermata api dan berparuh setajam ujung bayonet." Perwira menarik pelatuk pistol. Dor.... Lara terkulai di sandaran kursi kereta. Batok kepalanya pecah. Wajahnya berlumuran darah. "Aku tidak sedang main-main bukan?"

Tidak ada tindakan yang dilakukan Palasara, selain mendekap tubuh Lara yang terkulai berdarah itu dengan sepenuh cinta. "Lara, aku mencintaimu!"

"Sungguh?"

"Ya!"

"Ciumlah keningku! Itu sudah cukup membuktikan kalau kau benar-benar mencintaiku."

Palasara mencium kening perempuan yang berlumuran darah itu. Ciuman yang tidak pernah dirasakan kedahsyatannya sewaktu mencium pacar-pacar sebelumnya.

"Palasara, aku mencintaimu!" Lara tersenyum. Semanis cinta yang tidak pernah dirasakan madunya sejak masih orok di dalam rahim ibunya sampai bertemu dengan lelaki itu. Lara mengatupkan kedua tingkap matanya. Sementara Palasara hanya menitikkan air mata. Mendekap tubuh Lara yang sedingin balok es. Betapa Ajaib! Mayat Lara berubah menjadi segumpal kabut. Menebar ke seluruh ruangan gerbong. Beraroma melati. Harum sekali!

***

KERETA melesat menuju Ibukota Astinapura. Seluruh penumpang di dalam gerbong No III saling bertatapan. Saat menyaksikan mayat Lara telah lenyap dari pandangan, mereka serempak membuka lubang hidungnya. Senasib napi-napi yang terbebas dari sel penjara. Menghirup udara di padang luas. Mabuk, tertidur, mendengkur, dan melelehkan liur dari mulutnya yang bau bangkai.

***

AMBANG fajar. Kereta tiba di stasiun terbesar di Astinapura. Seluruh penumpang yang terbangunkan petugas stasiun melalui pengeras suara turun dari setiap gerbongnya. Sementara, Palasara masih lelap tertidur. Terjaga, sesudah telinganya menangkap bisikan lembut seorang perempuan. "Lara?"

"Bukan!'' Aku Dini. Lengkapnya Dini Tetrania. Pramugari kereta."

"Jangan berbohong, Nona! Rambutmu, matamu, dan tubuhmu mengingatkanku pada Lara. Semalam yang mati di tangan seorang perwira keparat."

"Demi Tuhan, aku tidak berbohong!"

"Tetapi?"

"Ketika kereta memasuki desa Mintaraga, anda dan seluruh penumpang gerbong No. III terseret ke alam penasaran arwah Lara. Perempuan yang dibunuh serdadu kolonial Gilingwesi sesudah diperkosa di dalam toilet."

"Kapan?"

"Dua abad silam, Tuan Palasara."

"Hei! Dari siapa kau tahu namaku?"

"Hanya perempuan tolol yang tidak tahu siapa nama Tuan."

Palasara terdiam. Namun pandangan matanya yang mengantarkan kepergian Dini dari gerbong No. III itu terbaca, kalau Palasara berhasrat menyuntingnya. Perempuan yang bakal mengerami benih cintanya di dalam gua rahim. Tempat anak-anaknya bakal dilahirkan. Berhak atas matahari yang diberikan cuma-cuma oleh musim panas dan direbut dari genggaman musim dingin.

-Sri Wintala Achmad-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun