Mohon tunggu...
Andreas RizkyAbimanyu
Andreas RizkyAbimanyu Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kesempatan Kedua

5 April 2022   10:07 Diperbarui: 5 April 2022   11:03 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Eri berjalan tanpa harapan. Ia memakai seragam SMA-nya yang terlihat kusam dan kumal. Semangat hidupnya telah padam. Langkahnya terhenti di sebuah pohon besar. Dipanjatnya pohon itu dan ia duduk di rantingnya yang kokoh. Ia memasang tali dan diikatnya tali itu di lehernya. “Selamat tinggal,” ucapnya lirih. Ia melompat turun. Raganya tak bernyawa lagi. Ranting itu patah dan tubuhnya rebah di tanah.

***

Ia membuka matanya. Samar-samar dilihatnya ruangan yang berantakan. Perlahan ia mulai bangkit. Ia merasa ada yang janggal.

“Argh... dimana aku?” ucapnya sembari berusaha mengembalikan kesadarannya.

Dilihatnya jam dinding yang menunjukkan pukul empat lebih empat puluh lima sore. 

“Hah? A-apa yang terjadi dengan tubuhku? Kenapa aku jadi seperti ini?” katanya terkejut ketika melihat ke arah cermin besar.

Jiawanya tak langsung menuju dunia baka. Jiwanya mendapat tempat baru, yakni tubuh seorang pria besar berjenggot. Ia pikir ini mimpi. Namun, mana mungkin orang mati bisa bermimpi. 

Kepala belakangnya terasa nyeri. Luka lebam dan memar menghiasi sebagian tubuh barunya itu. Mulutnya terasa gatal dan tubuhnya terasa berat. Eri masih beradaptasi dengan tubuh barunya itu.

Ia melangkah menuju pintu keluar. Pepohonan rimbun ada di depannya. Meski begitu, dari jarak 300 meter ia dapat melihat beberapa kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang. Dengan segera ia menuju jalan itu. 

Ia menunggu seseorang yang mau memberi tumpangan padanya. Sudah 30 menit ia menunggu, hingga langit pun memerah. Akhirnya, sebuah mobil hitam berhenti dan memberinya tumpangan. 

“Bung, sepertinya kau sedang tidak baik-baik saja,” ucap pria pemberi tumpangan.

“Ya ada sedikit kejadian tadi,” jawab Eri yang tidak tahu apa-apa tentang tubuh barunya itu.

“Apakah ini jalur menuju Kota Arta? Jika iya, tolong antarkan aku ke sana,” pinta Eri. 

Kini ia berada 60 km dari Kota Arta. Pria baik itu mengangguk dan mereka lekas menuju ke Kota Arta. 1 jam kemudian mereka sampai di kota itu. Kota Arta, kota yang ramai, kota yang masih memiliki pedesaan di pinggiran kota itu. 

“Berhenti di sini saja, terima kasih,” ucap Eri sambil keluar mobil.

“Bagaimana dengan luka-lukamu itu? Meski hanya lebam dan memar, kau perlu mendapat perawatan,” kata pria itu.

“Tidak, aku bisa mengatasinya. Rumahku dekat sini,” jawab Eri bohong. 

Pria itu tersenyum dan kemudian melajukan mobilnya lagi meninggalkan Eri. Kini ia berjalan sendiri, di Kota Arta, tempat tinggalnya. Rumahnya sebenarnya ada di desa pinggir kota itu. Jalanan kota mulai sepi. Di tengah kesepian kota ia berjalan. Tak hanya kotanya yang sepi, hatinya pun demikian. Di jalan yang sepi itu pula ia mulai teringat berbagai peristiwa yang pernah ia lalui. Peristiwa buruk yang paling memenuhi isi pikirannya. Karena itu semua, semangat hidupnya sudah tak ada lagi.

Kini, dengan tubuh barunya, ia bingung harus berbuat apa. Ia bingung mau dia apakan kesempatan hidup kedua kalinya ini. Di kursi panjang depan barber shop ia merebahkan dirinya dan tidur karena rasa kantuk yang tak dapat dibendungnya.

“Tuan! Bangun, Tuan!” panggil seorang  pria sambil menggoyang-goyangkan tubuh Eri. 

Eri terbangun dan mendapati di depannya pria jangkung yang menyodorkan sebungkus nasi dan segelas air mineral. Dengan senang hati Eri menerima pemberian orang asing itu sambil mengucap terima kasih. 

Perutnya telah terisi. Kembali ia berpikir mau apa dia sekarang. Dirogohnya kantong jaket kulit yang dipakainya dan untungnya ia menemukan uang Rp75.000,00. 

“Lebih baik aku berjalan lagi,” gumamnya sembari melangkahkan kaki entah kemana tujuannya.

Tak banyak yang bisa ia lakukan di sana. Memang ia telah kembali, memang ia mengenal dengan baik kota itu. Namun, tak ada seorang pun yang mengenalnya, seakan kota itu telah melupakannya. 

Ia sampai di depan SMA Stanislaus, tempat belajarnya, tempat ia mendapat teman, sekaligus tempat yang jadi mimpi buruknya. Sosok Dico yang terlintas di pikirannya, sosok yang ia anggap monster. Tubuhnya yang jauh lebih besar membuat Dico dengan leluasa melakukan bullying kepada dirinya. Namun, isi otak Dico lebih kecil daripada biji rambutan. Hanya berkelahi dan berkelahi yang ia tahu.

“Seandainya kau tahu inilah aku, apakah kau masih berani dan ingin menggangguku?” batinnya sedih. 

Tubuh Eri yang sekarang lebih besar dari tubuh Dico, maka ia berpikir demikian. Cukup lama ia memandangi sekolah itu. Ketika satpam sekolah itu muncul, segera Dico beranjak dari sana. Ia tak ingin dicurigai karena hal yang dilakukannya tadi dan terlebih karena tampangnya. 

Angin menuntunnya melangkah ke pedesaan, ke sebuah rumah sederhana di sana. Ya, itulah rumahnya. Ia berhenti agak jauh dan memandangi rumahnya. Tapi, ia tak lama di situ, dan ia beranjak pergi.

Ia berhenti di sebuah warung di dekat rumahnya dan ia memesan segelas teh hangat di sana. Ia menyeruput teh hangatnya sambil makan gorengan yang tersedia di depannya.

“Gimana tadi malam?” tanya seorang pria.

Eri tidak peduli dengan pria di belakangnya.

“Sial, hampir menang kemarin. Lima ratus ribuku hilang. Sial memang!” ucap pria jangkung dengan kesal.

“Masih belum berhenti juga dia,” gumamnya. 

Ia mengenang ayahnya yang kasar dan suka berjudi. Ibunya mau tak mau harus banting tulang meski kesehatannya menurun. Lebih dari itu, ayahnya tak hanya  memberi luka fisik. Ayahnya pernah berselingkuh yang tentu sangat menyakiti hati ibunya. Sungguh malang nasib mereka.

Merasa muak dengan suara ayahnya. Eri beranjak dari bangku, membayar ke ibu pemilik warung, dan pergi meninggalkan tempat itu. Sambil berjalan ia merenung. Mengingat semua kenangan buruk itu membuat luka hatinya makin dalam. Kini, hatinya mulai dipenuhi amarah. Ia telah menderita dan kini ia ingin kedua orang ini merasakannya pula. 

“Mungkin dengan tubuhku yang sekarang ini...,” dan tiba-tiba Eri terpikirkan sesuatu. 

***

“Halo, siapa ini?” tanya Dico setelah mengangkat telepon.

“Ini aku Eri. Temui aku di Jalan Mawar! Masuk ke gedung tua besar dan aku akan menunggumu di dalam. Aku ingin memberi sesuatu untukmu. Datanglah sendirian!” kata Eri sembari menatap Dico dari kejauhan dalam bilik telepon.

Telepon terputus. Dico heran Eri tiba-tiba meneleponnya. Kemarin, ia tak melihatnya di sekolah. 

“Apa yang ingin diberikannya? Mungkin aku juga akan memberi hadiah pukulan padanya nanti,” gumam Dico.

Dico bergegas menuju ke sana. Namun, tak ada siapa-siapa di sana. Ia berbalik dan mendapati Eri dengan tubuh barunya berdiri mematung. Selangkah demi selangkah ia mendekat menuju Dico. Mereka hanya berjarak 2 meter kini.

“Eri tetaplah Eri yang cupu dan penakut,” Dico mencibir. “Sampai-sampai menyuruh orang untuk menghadapiku. Aku tidak takut Eri! Keluar kau dasar pengecut! Tunjukkan dirimu! Aku juga punya hadiah untukmu!,” seru Dico dengan lantang.

“Ia ada di sini, di depanmu,” kata Eri pelan. 

Belum sempat mencerna, sebuah pisau berkarat menghunus perutnya. Tak hanya sekali pisau itu menembus tubuh Dico. Dico roboh tak berdaya.

Darah menyebar ke mana-mana, mengotori badan Eri yang telanjang dada. Ia meninggalkan Dico yang kondisinya mengenaskan, penuh luka tusukan. Ia tak peduli dengan musuhnya itu. Dibiarkannya mati monster itu. Ia berjalan menuju belakang gedung. Ada sungai di sana. Ia membasuh tubuhnya di sana. Jiwanya masih haus akan pembalasan. Rasa dendam dan amarah yang membara mengalahkan rasa penyesalannya. Kini, ayahnya yang akan jadi target selanjutnya.

***

Malam hari desa terlihat sepi. Dengan riang, Tono pulang dengan membawa uang yang banyak. 

“Akhirnya aku bisa menang. Akan kugandakan uang ini besok,” ucapnya gembira. Semakin banyak uang yang dia pegang, semakin besar pula keinginannya untuk berjudi. Ia masuk ke rumah dan menutup pintu. Pintu tertutup dan sebuah benda tumpul mendarat dengan keras di kepala bagian belakang, merobohkannya ke lantai.

“Si-siapa kamu?” tanyanya sambil mengerang.

Tampak di matanya pria besar berjenggot. Tatapan pria itu penuh benci dan dendam.

“Pembalasan... aku ingin membalasmu. Nikmatilah pembalasan ini. Selamat tinggal,” ucapnya sambil mengangkat balok kayu.

Dengan amarah ia melakukan fatality kepada ayahnya itu. Rasa puas memenuhi hatinya. Ia kemudian meninggalkan rumahnya, beserta ayahnya dan uang-uang ayahnya itu. Kondisi ayahnya sama dengan Dico. Darah segar membanjiri lantai rumahnya.

Dendamnya telah lunas. Tapi, sekarang apa yang ia dapatkan? Hatinya tiba-tiba tak tentram. Rasa penyesalan muncul tiba-tiba. Ia memandang tangannya yang penuh darah.

“Apa yang sudah kulakukan?” tanyanya dalam hati menyesal.

Kesempatan hidup yang kedua kalinya ia gunakan untuk sekadar memuaskan hawa nafsunya. Padahal ia dapat melakukan hal yang lebih baik dari itu. Ia merasa untuk kedua kalinya hidupnya telah selesai. Di sawah yang gelap itu, ia mengambil pisau yang dia gunakan untuk melakukan pembunuhan tadi. 

“Selamat tinggal,” ucapnya.

Ia menggorok lehernya dan berakhir sudah hidupnya. Jiwanya kini benar-benar bebas, dan berjalan menuju alam baka, menanti hari penghakiman.

Keesokan paginya, ditemukan jasad 3 orang di tempat berbeda. Investigasi segera dilakukan oleh polisi dan disimpulkan bahwa 2 orang yang ditemukan di gedung tua dan rumah di pedesaan adalah korban pembunuhan, sementara jasad pria di sawah adalah pembunuhnya.

***

Beberapa menit setelah permulaan semua ini…

“Argh… sakit sekali tubuhku,” ucap orang itu sambil berusaha bangkit. “Di mana aku? Kenapa tubuhku jadi begini? Apa aku bermimpi? Ah… pasti karena balok kayu yang ia hantamkan ke kepalaku tadi dan sekarang aku sedang pingsan dan mengalami mimpi.”

Dicubitnya tangannya dan ia merasakan sakit. 

“Tidak, ini pasti mimpi,” sangkalnya.

Kini, ia menampar pipinya keras-keras. Pipinya panas dan memerah. Ia pun tak bisa menyangkal bahwa ini adalah nyata. 

“Eria Permata?” gumamnya heran membaca tanda nama di dada kanannya.

Ia melepaskan ikatan di lehernya. Lehernya terasa sakit. Kemudian, ia melangkahkan kaki melewati rimbunnya pepohonan. Ia teringat dua temannya yang berkhianat. 

“Awas kalian para bedebah!” ucapnya penuh benci. 

Tujuannya sekarang adalah membalas pengkhianatan teman-temannya, yang kini menjadi musuh-musuhnya. Ia siap memberi pukulan yang sama sakitnya, bahkan lebih menyakitkan. Mungkin, dengan merampok juga akan menyenangkan hatinya. Ia tak peduli siapa dirinya sekarang, pada tubuh siapa jiwanya tinggal, atau segala hal yang menyangkut identitas barunya. Ia hanya ingin menjalankan misinya.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun