“Ya ada sedikit kejadian tadi,” jawab Eri yang tidak tahu apa-apa tentang tubuh barunya itu.
“Apakah ini jalur menuju Kota Arta? Jika iya, tolong antarkan aku ke sana,” pinta Eri.
Kini ia berada 60 km dari Kota Arta. Pria baik itu mengangguk dan mereka lekas menuju ke Kota Arta. 1 jam kemudian mereka sampai di kota itu. Kota Arta, kota yang ramai, kota yang masih memiliki pedesaan di pinggiran kota itu.
“Berhenti di sini saja, terima kasih,” ucap Eri sambil keluar mobil.
“Bagaimana dengan luka-lukamu itu? Meski hanya lebam dan memar, kau perlu mendapat perawatan,” kata pria itu.
“Tidak, aku bisa mengatasinya. Rumahku dekat sini,” jawab Eri bohong.
Pria itu tersenyum dan kemudian melajukan mobilnya lagi meninggalkan Eri. Kini ia berjalan sendiri, di Kota Arta, tempat tinggalnya. Rumahnya sebenarnya ada di desa pinggir kota itu. Jalanan kota mulai sepi. Di tengah kesepian kota ia berjalan. Tak hanya kotanya yang sepi, hatinya pun demikian. Di jalan yang sepi itu pula ia mulai teringat berbagai peristiwa yang pernah ia lalui. Peristiwa buruk yang paling memenuhi isi pikirannya. Karena itu semua, semangat hidupnya sudah tak ada lagi.
Kini, dengan tubuh barunya, ia bingung harus berbuat apa. Ia bingung mau dia apakan kesempatan hidup kedua kalinya ini. Di kursi panjang depan barber shop ia merebahkan dirinya dan tidur karena rasa kantuk yang tak dapat dibendungnya.
“Tuan! Bangun, Tuan!” panggil seorang pria sambil menggoyang-goyangkan tubuh Eri.
Eri terbangun dan mendapati di depannya pria jangkung yang menyodorkan sebungkus nasi dan segelas air mineral. Dengan senang hati Eri menerima pemberian orang asing itu sambil mengucap terima kasih.
Perutnya telah terisi. Kembali ia berpikir mau apa dia sekarang. Dirogohnya kantong jaket kulit yang dipakainya dan untungnya ia menemukan uang Rp75.000,00.