Mohon tunggu...
Abilio Fernandes da Silva
Abilio Fernandes da Silva Mohon Tunggu... -

Pegiat Hukum dan Pemerhati Masalah Sosial

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Buah Simalakama, Reklamasi Teluk Jakarta

31 Oktober 2017   01:57 Diperbarui: 31 Oktober 2017   16:47 3123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap rencana pembangunan hampir selalu mendapati perdebatan antara yang mendukung dan menolak. Begitupun halnya dengan Reklamasi Teluk Jakarta yang selalu menjadi perdebatan hangat dari masa ke masa. Sejak direncanakan dengan diterbitkannya Keppres 52/1995 hingga dewasa ini, dimana tampuk kepemimpinan Gubernur DKI baru berganti dalam kepemimpinan Anies-Sandi, persoalan ini tak henti mengundang perdebatan hangat bagi yang mendukung dan menolaknya.

Hari-hari ini Reklamasi Teluk Jakarta kembali menghangat, terutama mengenai pilihan akan dihentikan atau tetap dilanjutkan. Proyek Reklamasi Teluk Jakarta yang dalam keadaaan tanggung seperti saat ini, menimbulkan posisi yang sulit layaknya buah simalakama bagi masyarakat dan pemerintah. Posisi sulit ini dikarenakan konsekuensi yang tidaklah mudah baik dilanjutkan maupun dihentikan.

Pada artikel ini, ijinkan saya menyampaikan telaah mengenai konsekuensi yang hadir, dan kemungkinan-kemungkinan tentang pilihan penyelesaian permasalahan reklamasi di Teluk Jakarta. Tujuan penulisan artikel ini semata-mata sebagai bentuk kepedulian berupa penyadaran dan upaya advokasi bagi masyarakat guna menyadari hak-hak yang dimiliki terkait permasalahan ini. Karena sesungguhnya, masyarakat kecil tidak layak dikorbankan karena alasan apapun.

Sebelum masuk ke dalam pokok persoalan, marilah merefleksi pandangan kita tentang Reklamasi Teluk Jakarta. Perspektif dalam memandang Reklamasi di Teluk Jakarta sesungguhnya tidak dapat dilihat hanya sebagai pembangunan dalam bentuk proyek berorientasi keuntungan semata. Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisr dan Pulau-pulau Kecil beserta perubahannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 dalam Pasal 1 butir 23 menyebutkan Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh setiap orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.  Peraturan ini dalam Penjelasan Pasal 34 ayat (1) menentukan bahwa Reklamasi di wilayah pesisir hanya  boleh  dilakukan apabila manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh lebih besar daripada biaya sosial dan biaya ekonominya.

Amanat dan Penjelasan Undang-undang diatas tentu mengundang perdebatan dalam memaknainya. Namun dengan disebutnya manfaat sosial dan ekonomi, dan bukan hanya ekonomi. Maka seyogyanya pendapat bagi yang mendukung Reklamasi Teluk Jakarta tidak hanya berpegang pada keuntungan ekonomi finansial semata yang akan dihasilkan dari pulau-pulau buatan tersebut. Manfaat sosial adalah suatu kondisi dimana masyarakat dalam segala lapisan merasa terbantu dan merasakan manfaat dalam segala sendi kehidupan baik secara langusng dan tidak langsung dengan hadirnya reklamasi pantai yang dilakukan. Manfaat sosial tidak dapat digantikan dan ditutupi dengan hadirnya manfaat ekonomi yang mungkin menggiurkan.

Melihat Reklamasi Teluk Jakarta seharusnya sebagai salah satu upaya dalam memperbaiki kawasan Jakarta Utara. Yang dalam batas tertentu standar kehidupan di Utara Jakarta kurang memadai bagi standar kehidupan yang sehat, dan layak. Banyak permasalahan kehidupan seperti masalah kebersihan, kesehatan, intensitas kepadatan penduduk, dan pranata sosial lainnya yang sangat perlu untuk diperbaiki. 

Reklamasi Teluk Jakara memberi kemungkinan akan suatu perbaikan melalui bentuk Rekayasa Lingkungan dalam wujud reklamasi pantai. Keuntungan dari Reklamasi Teluk Jakarta tidak dapat dilihat untung-rugi, dan penambahan Pendapat Asli Daerah semata. Reklamasi Jakarta adalah suatu kesempatan penataan kembali. Keuntungan pada akhirnya akan hadir dikarnekan perbaikan dengan membangun pulau-pulau buatan, baik berupa penambahan lahan, rekayasa ekosistem yang seharusnya dapat mendorong perbaikan ekologis, perluasan lapangan kerja, dan lain sebagainya. Namun, fokus utama Reklamasi Utama seharusnya tetaplah sebagai sarana rekonstruksi perbaikan sosial kemasyarakatan yang ditunjang dengan rekayasa lingkungan yang berutjuan untuk memperbaiki. 

Konsekuensi Melanjutkan Reklamasi

Jika mengacu pada segenap Peraturan Perundang-undangan yang mengelilingi pelaksanaan Reklamasi Teluk Jakarta terdapat konsekuensi-konsekuensi yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh para pengembang sebagai pelaksana dan pemerintah sebagai pemberi ijin. Konsekuensi yang berkaitan dan dirasakan langsung oleh masyarakat secara garis besar terbagi dalam tiga hal, yakni konsekuensi dalam penyelesaian permasalahan sosiologis, ekologis, dan ekonomis. Konsekuensi tersebut adalah keharusan yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan terkait yang tentunya tidak dapat dinafikan dan diabaikan begitu saja.

Konsekuensi Permasalahan Sosiologis

Permasalahan sosiologi Reklamasi Teluk Jakarta bersangkutan dengan nasib nelayan yang akan  tergusur dari sumber penghidupannya, kelangsungan hidup masyarakat yang berada di wilayah reklamasi, dan masyarakat yang terkena dampak reklamasi.

Konsekuensi permasalahan sosiologis termuat dalam Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang kemudian diperjelas dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17/PERMEN-KP/2013  tentang  Perizinan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dan perubahannya yakni Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28/PERMEN-KP/2014. Konsekuensi tersebut adalah sebagai berikut:

Dalam penentuan lokasi, baik itu lokasi reklamasi, dan lokasi sumber material reklamasi, Pasal 4 ayat (2), dan ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 menentukan reklamasi wajib mempertimbangkan aspek sosial ekonomi, selain aspek teknis, aspek lingkungan hidup. Aspek teknis dan aspek lingkungan hidup akan dijelaskan pada bagian selanjutnya yang akan dikaitkan dengan masalah ekologis. Dalam Pasal 9 dan Pasal 10 Aspek sosial ekonomi yang wajib dipertimbangkan meliputi:

1) Demografi meliputi jumlah penduduk, kepadatan penduduk, pendapatan, mata pencaharian, pendidikan, kesehatan, dan keagamaan;

2) Akses publik meliputi jalan dan jalur transportasi masyarakat serta informasi terkait pembangunan reklamasi;

3) Potensi relokasi meliputi lahan yang bisa digunakan untuk relokasi penduduk serta fasilitas sarana dan prasarana lainnya.

Selanjutnya Pasal 11, huruf h, huruf i, huruf j, dan huruf k Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 menentukan penyusunan rencana induk reklamasi juga harus memperhatikan beberapa hal yang menyangkut permasalahan sosiologis. Hal-hal tersebut yang patut diperhatikan dalam pelakasanaan reklamasi adalah pranata sosial, aktivitas ekonomi, kependudukan, dan kearifan lokal.

Ketentuan dalam Pasal 26 huruf a, dan Pasal 27 Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 yang mengamanatkan pelaksanaan reklamasi wajib menjaga dan memperhatikan keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat diperjelas dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, dan Pasal 35  Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17/PERMEN-KP/2013, serta Pasal 33  Peraturan Menteri Kelautan dan  Perikanan Nomor 28/PERMEN-KP/2014. Dijelaskan sebagai berikut:

Pelaksana reklamasi pantai wajib menjaga dan memperhatikan keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat yang dilakukan dengan: 

1) Memberikan akses kepada masyarakat menuju pantai. 

Akses kepada masyarakat di lokasi hasil pelaksanaan reklamasi sebagaimana dimaksud meliputi:

a) akses masyarakat memanfaatkan sempadan pantai;

b) akses masyarakat menuju pantai dalam menikmati keindahan alam;

c) akses nelayan dan pembudidaya ikan dalam kegiatan perikanan;

d) akses pelayaran rakyat; dan

e) akses masyarakat untuk kegiatan keagamaan dan adat di pantai.

Sebagai bentuk pemberian akses, pemegang izin pelaksanaan reklamasi juga wajib:

a) menuangkan dalam rencana induk reklamasi;

b) mengalokasikan sebagian lahan reklamasi untuk sempadan pantai dan sungai/saluran air;

c) menyediakan jalur menuju sempadan pantai dan sungai;

d) menyediakan jalur menuju lokasi kegiatan keagamaan dan adat di pantai; dan

e) menyediakan prasarana transportasi.

Akses yang telah ditetapkan harus tetap dipertahankan dan tidak dapat dialihfungsikan.

2) Mempertahankan mata pencaharian penduduk. Mempertahankan mata pencaharian penduduk sebagai nelayan, melalui penyediaan:

a) sarana dan prasarana penangkapan ikan; dan/atau

b) mata pencaharian alternatif yang berkelanjutan.

Mempertahankan mata pencaharian penduduk sebagai pembudidaya ikan diupayakan melalui penyediaan:

a) lokasi dan prasarana untuk budidaya ikan; dan/atau

b) mata pencaharian alternatif yang berkelanjutan.

Mempertahankan mata pencaharian penduduk untuk usaha kelautan dan perikanan lainnya diupayakan melalui penyediaan:

a) sarana dan prasarana usaha kelautan dan perikanan lainnya; dan/atau

b) mata pencaharian alternatif yang berkelanjutan.

Beberapa kali disebut, mata pencaharian alternatif yangdimaksud adalah pemberian pelatihan sehingga memiliki keahlian yang siap pakai.

3) Memberikan kompensasi/ganti kerugian kepada masyarakat sekitar yang terkena dampak reklamasi. Pemegang izin pelaksanaan reklamasi wajib memberikan kompensasi bagi masyarakat yang terkena dampak kegiatan reklamasi. Kompensasi diberikan dalam bentuk ganti kerugian dalam bentuk uang tunai; dan/atau perbaikan lingkungan. Ganti kerugian sebagaimana dimaksud diberikan kepada masyarakat yang kehilangan tanah dan bangunan dan tidak bersedia untuk direlokasi, dan/atau bermata pencaharian selain nelayan, pembudidaya ikan, dan usaha kelautan dan perikanan lainnya yang berada di lokasi reklamasi. Perbaikan lingkungan dilakukan untuk ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil yang rusak berdasarkan hasil kajian lingkungan. Perbaikan lingkungan dilakukan melalui rehabilitasi ekosistem di lokasi reklamasi atau di lokasi lain yang ditetapkan bupati/walikota.

4) Merelokasi permukiman bagi masyarakat yang berada pada lokasi reklamasi. Relokasi permukiman bagi masyarakat dilakukan melalui penyediaan permukiman pengganti yang layak dan dilengkapi dengan sarana dan prasarana. Pelaksanaan relokasi dilakukan dengan mengacu pada kerangka kebijakan permukiman kembali yang disusun oleh Pemerintah/pemerintah daerah.

5) Memberdayakan masyarakat sekitar yang terkena dampak reklamasi. Pemegang izin pelaksanaan reklamasi wajib melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat sekitar yang terkena dampak reklamasi berdasarkan hasil kajian lingkungan. Pemberdayaan terhadap masyarakat sekitar dilakukan melalui Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) dan/atau Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR). TJSL dan/atau CSR dilakukan melalui kegiatan pemberian fasilitas, pendampingan, dan/atau pelatihan. Sejalan dengan ini, Firdaus Ali, Peneliti Lingkungan Hidup Universitas Indonesia, menyampaikan terdapat dua pilihan yang dapat ditawarkan pada nelayan terkait proyek reklamasi Teluk Jakarta: Pertama, para nelayan akan diprioritaskan untuk beralih profesi menjadi karyawan di areal reklamasi. Kedua, jika pilihan adalah tetap menjadi nelayan, maka dapat dibangun kampung nelayan baru di beberapa lokasi, baik itu di daerah Kamal Muara, Cilincing atau Muara Angke.

Konsekuensi Permasalahan Ekologis

Permasalahan Ekologis pada dasarnya bersangkutan dengan kekhawatiran bahwa kegiatan reklamasi akan berdampak negatif pada lingkungan. Reklamasi dikhawatirkan menyebabkan ekosistem pesisir terancam punah, yakni kekhawatiran akan hilangnya berbagai jenis pohon bakau di Muara Angke, serta punahnya beragam jenis ikan, kerang, kepiting, dan berbagai keanekaragaman hayati lainnya.

Reklamasi juga dikhawatirkan akan memperparah potensi banjir di Jakarta. Hal ini dikarenakan perubahan bentang alam (geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) di kawasan Jakarta Utara yang dikhawatirkan akan terjadi yang menyangkut perubahan tingkat kelandaian, komposisi sedimen sungai, pola pasang surut, pola arus laut sepanjang pantai, dan kerusakan kawasan tata air.

Mengenai hal ini, pelaksana reklamasi di Teluk Jakarta perlu memperhatikan Asas-asas Hukum Dalam Pengelolaan Lingkungan. Sebagaimana dikatakan oleh Ahli Lingkungan Hidup Universitas Indonesia, Bambang Prabowo Soedarso, asas-asas hukum dalam mengelola lingkungan yang tidak boleh diabaikan dan dikesampingkan adalah:

1) Prinsip Kehati-hatian atau Pencegahan Dini, yang menekankan dimana ketidakpastian ilmiah tidak menghalang-halangi atau tidak menjadi dasar/alasan untuk tidak melakukan tindakan pencegahan kerusakan lingkungan yang berdampak serius terhadap lingkungan hidup.

2) Prinsip Pencemar Membayar, yang menekankan pengalokasian biaya pencegahan polusi atau pencemaran dan pengendaliannya terhadap upaya mendorong langkah-langkah rasional dalam pemanfaatan sumber daya alam yang terbatas. Prinsip ini membuat pencemar harus menanggung biaya terhadap langkah-langkah pengendalian kualitas lingkungan hidup dan biaya tersebut harus tercermin dalam biaya barang dan jasa dari setiap aktivitas produksi dan/atau konsumsi yang menimbulkan pencemaran lingkungan. Dalam prinsip ini, yang dimaksud pencemar adalah seseorang baik secara langsung maupun tidak langsung merusak kondisi lingkungan atau menciptkan kondisi yg menyebabkan kerusakan lingkungan dalam bentuk atau tingkat apapun.

3) Prinsip Tanggung Bersama dengan Derajat Yang Berbeda, yang menekankan seluruh lapisan dalam masyarakat pihak berkewajiban menjaga kelestarian lingkungan hidup yang didiaminya dengan derajat masing-masing. Derajat masing-masing diartikan sebagai kemampuan yang dimiliki untuk menjaga lingkungan hidup, walau sekecil apapun.

4) Prinsip Pembangungan Berkelanjutan untuk Keadilan Antar Generasi, memiliki dasar pemikiran bahwa setiap generasi memiliki hak untuk menerima dan menempati bumi bukan dalam kondisi buruk akibat perbuatan generasi sebelumnya. atau generasi kini mempunyai kewajiban untuk mewariskan kondisi bumi, sumber daya alam, serta hal-hal lain di dalamnya sebagaimana yang mereka peroleh, nikmati sebelumnya.

5) Prinsip Partisipasi, berpandangan bahwa ikut sertanya partisipasi masyarakat termasuk di dalamnya pengakuan terhadap komunitas masyarakat adat sangat diperlukan dalam rangka pelestarian lingkungan.

Sejalan dengan kelima prinsip ini,peraturan perundang-undangan terkait reklamasi di Teluk Jakarta khususnya Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil kembali telah menentukan konsekuensi terkait permasalahan ekologis dalam pelaksanaan Reklamasi Teluk Jakarta. Dalam Pasal 3, ayat (1) mengamanatkan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan setiap orang yang akan melaksanakan reklamasi wajib membuat perencanaan reklamasi. 

Perencanaan Reklamasi yang dimaksud dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 5, jo. Pasal 6, dan Pasal 7, jo. Pasal 8, yakni perencanaan matang dengan penentuan lokasi reklamasi, meliputi penetuan lokasi pelaksanaan reklasmasi, dan lokasi sumber material reklamasi. Dalam penentuan lokasi, diwajibkan untuk mempertimbangkan aspek teknis, dan aspek lingkungan hidup.

Aspek teknis yang dimaksud meliputi:

1) Hidrooceanografi meliputi pasang surut, arus, gelombang, dan sedimen dasar laut;

2) Hidrologi meliputi curah hujan, air tanah, debit air sungai/saluran, dan air limpasan;

3) Batimetri meliputi kontur kedalaman dasar perairan;

4) Topografi meliputi kontur permukaan daratan;

5) Geomorfologi meliputi bentuk dan tipologi pantai;

6) Geoteknik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 meliputi sifat-sifat fisis dan mekanis lapisan tanah;

Aspek lingkungan hidup berupa kondisi lingkungan hidup yang meliputi kualitas air laut, kualitas air tanah,kualitas udara, kondisi ekosistem pesisir (mangrove, lamun, terumbu karang), flora dan fauna darat, serta biota perairan.

Dalam Pasal 13 ayat (2) dan ayat (4), dan Pasal 14 ayat (3), ditentukan pertimbangan aspek teknis dan aspek lingkungan hidup ini kemudian wajib dibuat menjadi suatu studi kelayakan dalam perencanaan kegiatan reklamasi. Selain itu, penyusunan rancangan detail juga wajib memasukkan mitigasi bencana.

Selanjutnya dalam Pasal 29 ditentukan  upaya menjaga keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil, pelaksana reklamasi wajib mengurangi dampak sebagai berikut:

1) perubahan hidro-oceanografi yang meliputi arus, gelombang, dan kualitas sedimen dasar laut;

2) perubahan sistem aliran air dan drainase;

3) peningkatan volume/frekuensi banjir dan/atau genangan;

4) perubahan batimetri;

5) perubahan morfologi dan tipologi pantai;

6) penurunan kualitas air dan pencemaran lingkungan hidup; dan

7) degradasi ekosistem pesisir.

Terkait dengan material reklamasi, baik dalam pengambilan, pengerukan, dan penimbunan, dalam Pasal 30, menentukan pelaksana reklamasi juga wajib memperhatikan pelestarian lingkungan. Material reklamasi merupakan tanah dominan pasir dan tidak mengandung bahan berbahaya dan beracun. Ditegaskan bahwa metode pengambilan, pengerukan, dan penimbunan material yang digunakan tidak mengakibatkan pencemaran lingkungan hidup, merusak ekosistem, semburan lumpur (mud explosion), gelombang lumpur (mud wave), bencana pesisir serta mematikan keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat.

Konsekuensi Permasalahan Ekonomis

Pembuatan 17 pulau buatan tentunya memerlukan biaya yang tidaklah sedikit. Terlebih, dalam pelaksanaan Reklamasi Teluk Jakarta pemerintah menggandeng pihak swasta dalam pembangunan pulau-pulau buatan tersebut. Kompleksita konsekuensi permasalahan ekonomis tidak hanya bersangkutan dengan presentasi keuntungan investasi semata, melainkan juga mencakup sejauh mana lahan hasil reklamasi mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 

Kesejahteraan masyarakat yang dimaksud adalah sejauh mana lahan yang dihasilkan proyek reklamasi dapat dinikmati oleh masyarakat, dan memberi nilai tambah dalam segala sendi kehidupan bermasyarakat. Nilai tambah tidak dapat diartikan secara harfiah dengan pertambahan Pendapatan Asli Daerah (PAD), namun bagaimana masyarakat merasakan adanya manfaat baik langsung maupun tidak langsung dengan hadirnya reklamasi yang dapat dinilai menambah kesejahteraannya.

Kembali mengacu pada Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisr dan Pulau-pulau Kecil beserta perubahannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 dalam Pasal 1 butir 23 menyebutkan Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh setiap orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.  Peraturan ini dalam Penjelasan Pasal 34 ayat (1) menentukan bahwa Reklamasi di wilayah pesisir hanya  boleh  dilakukan apabila manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh lebih besar daripada biaya sosial dan biaya ekonominya.

Perencanaan Reklamasi yang ditentukan Pasal 13 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 salah satunya tersusun oleh Studi Kelayakan. Studi Kelayakan ini diantaranya memuat analisis kelayakan ekonomi-finansial. Kelayakan ekonomi-finansial meliputi analisis mengenai:

1) rasio manfaat dan biaya [(Benefit Cost Ratio (B/C-R)];

2) nilai bersih perolehan sekarang [(Net Present Value (NPV)];

3) tingkat bunga pengembalian [(Internal Rate of Return (IRR)];

4) jangka waktu pengembalian investasi [(Return of Investment (ROI)]; dan

5) valuasi ekonomi lingkungan sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Hak Mutlak Masyarakat Yang Tidak Boleh Ditiadakan

Ketiga konsekuensi diatas harus dipenuhi oleh Pemerintah dan para Pengembang jika Reklamasi Teluk Jakarta tetap dilanjutkan. Kesemuanya adalah prestasi mutlak yang diamanatkan dan dijamin oleh Peraturan Perundang-undangan dalam melindungi masyarakat. Indonesia sebagai Negara Hukum, dimana hukum yang memerintah dan membatasi serta menjaga kekuasaan para pejabat guna melindungi seluruh lapisan masyarakat, dan membuat setiap orang melaksanakan kewajiban dan menerima haknya, maka sesungguhnya segala hal yang telah diutarakan diatas harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat dalam melakukan Reklamasi Teluk Jakarta.

Jika Reklamasi Teluk Jakarta tetap dilanjutkan, maka seluruh pihak yang terkena dampak berhak untuk meminta pertanggungjawaban pemenuhan prestasi diatas. Jika kewajiban-kewajiban tersebut terabaikan dan tidak dilaksanakan, maka sudah sepatutnya para pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan Class Action terhadap para pengembang Reklamasi Teluk Jakarta sebagai pelaksana reklamasi untuk memenuhi kewajibannya. Bahkan, terbuka peluang bagi masyrakat secara lebih luas dapat mengajukan gugatan Citizen Law Suit terhadap Pemerintah sebagai pemberi ijin untuk membuat para pengembang melaksanakan kewajibannya.

Gugatan diajukan jika seluruh prosedur terkait telah berjalan dengan benar. Namun, jika ternyata terdapat kesalahan berbentuk pelanggaran, terlebih kejahatan dalam segi apapun, maka terbuka peluang untuk menuntut pengembang dan pejabat terkait di muka hukum atas kesalahan yang dilakukannya. Pada intinya adalah, hukum telah berupaya sedemikian rupa memuat ketentuan yang melindungi masyarakat, dan tidak terdapat alasan apupun untuk mengorbankan masyarakat kecil dan miskin yang tidak melakukan kesalahan.

Konsekuensi Menghentikan Reklamasi

Secara kasat mata, jika menghentikan Reklamasi Teluk Jakarta saat ini konsekuensi yang diemban saat ini mungkin tidak serumit yang hadir jika tetap melanjutkan Reklamasi Teluk Jakarta. Namun, pilihan yang terlihat sederhana ini bukan tanpa konsekuensi. Perlu disadari kembali, bahwa saat ini kondisi Reklamasi Teluk Jakarta dalam keadaan tanggung. Banyak dari 17 pulau buatan yang sudah selesai dan dalam tahap pengembangan bangunan diatasnya. 

Pertimbangan yang matang mutlak diperlukan. Karena telah adanya sejumlah pulau yang telah selesai dibuat dan bahkan sudah terdapat bangunan diatasnya, maka diperlukan suatu studi yang mendalam mengenai dampak dihentikannya pembangunan pulau-pulau tersebut dalam kondisi seperti saat ini.  Studi tersebut harus mampu mengantisipasi dan mengatasi persoalan yang ada dan akan ada dengan hadirnya pulau-pulau buatan yang telah mengubah bentang alam Teluk Jakarta.

Studi tersebut seharusnya mengacu dan berpegang pada AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang telah dibuat sebelumnya sebagai salah satu prasyarat utama ketika akan melaksanakan suatu proyek pembangunan. Kembali melansir pendapat Bambang Prabowo Soedarso, dalam disertasinya “Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Dokumen Ilmiah, Dokumen Hukum, dan Piranti Pengelolaan Lingkungan)”, Disertasi Doktor Universitas Indonesia Tahun 2003, tentang kemungkinan yang dapat dilakukan jika terdapat beberapa masalah dalam suatu rencana pembangunan yang seharusnya diprakirakan dalam AMDAL: 

1) Jika terjadi suatu permasalahan dikemudian hari, maka adanya rencana mitigasi dengan membuat suatu re-design project dalam bentuk penyesuaian;

2) Jika nyatanya lokasi yang dipilih memiliki kompleksitas lebih dari yang diperkirakan, maka terdapat kemungkinan untuk melakukan pemindahan lokasi

3) Jika nyatanya terdapat dampak negatif yang lebih besar dari dampak positif yang diperkirakan sebelumnya, maka ada kemungkinan untuk membatalkan suatu rencana pembangunan

AMDAL yang disusun oleh para pengembang yang kemudian dinilai oleh Komisi Penilai Amdal seharusnya memuat tentang hal ini sebagaimana diatur dalam Lampiran II: Pedoman Penyusunan AMDAL, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 16 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Lingkungan Hidup. Karenanya, jika AMDAL pulau-pulau Reklamasi Teluk Jakarta tidak memuat adanya prakiraan tiga hal diatas, dapat dikatakan AMDAL yang dimiliki para pengembang tidak layak. Sehingga dapat dikatakan pula pembangunan yang selama ini berlangsung dapat cacat prosedural karena dimulai melalui AMDAL yang tidak layak. Oleh karena itu, tentunya terdapat konsekuensi hukum bagi para pihak yang menyusun dan menggunakan AMDAL yang tidak layak dalam melakukan pembangunan. 

Penyusunan AMDAL yang tidak layak dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk pidana lingkungan. Dapat dikatakan demikian karena secara sadar melakukan perusakan lingkungan dengan melanggar asas pelestarian lingkungan melalui AMDAL yang tidak layak. AMDAL merupakan salah satu instrumen utama dalam upaya menjaga keseimbangan kelestarian lingkungan hidup dan pemanfaatannya dalam melakukan pembangunan dengan upaya untuk mencegah dampak-dampak penting dan berbahaya bagi lingkungan. Sehingga dapat dikatakan tidak cermat dalam menyusun AMDAL sama saja dengan merusak lingkungan hidup.

Selain konsekuensi terhadap lingkungan, menghentikan Reklamasi Teluk Jakarta saat ini barang tentu memiliki implikasi ekonomi. Pemerintah harus juga mencermati tentang besarnya kerugian yang mungkin akan hadir dalam penghentian konsorsium Pemerintah dan Pengembang Swasta yang terlibat dalam Reklamasi Teluk Jakarta saat ini. Perhitungan mencakup dari besaran pinjaman yang diambil dalam melaksanakan proyek ini, dan siapa yang memiliki pertanggungjawaban dalam pengembalian pinjaman. Harus dicermati pula sejauh mana implikasi kerugian yang timbul dari besaran pinjaman tersebut, akankah berimbas langsung pada masyarakat atau tidak.

Tentunya dari suatu bentuk tindakan yang merugikan terdapat pihak yang melakukan kesalahan. Sehingga, rasanya perlu dibuat suatu tim investigasi yang menelaah persoalan ini secara mendalam, guna mencari pihak yang mengakibatkan kerugian baik bagi masyarakat, keuangan negara jika ternyata kewajiban pengembalian ada pada negara, atau mewajibkan para pihak yang mengemban tanggung jawab pengembalian pinjaman dalam proyek reklamasi di Teluk Jakarta.

Akhir kata, kembali ingin saya sampaikan, selesainya persoalan Reklamasi Teluk Jakarta tidak hanya berhenti pada dilanjutkan atau dihentikannya proyek ini. Terdapat konsekuensi-konsekuensi dalam tiap pilihan yang diambil, baik itu dilanjutkan maupun dihentikan. Yang terutama adalah pilihan yang dapat melindungi dan tidak mengorbankan masyarakat, semoga Pemerintah dapat mengambil kebijakan yang paling bijak. Besar harapan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Saya memohon maaf jika terdapat kesalahan kata dalam penulisan ini, maka dengan segala kerendahan hati membuka masukan dari segenap pembaca. Karena, tak ada gading yang tak retak, dan kesempurnaan hanyalah milik yang Maha Kuasa . Fiat justitia ruat caellum! Shaloom.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun