Sihir Hujan Yang Tak Terlawan
Sapardi Djoko Damono
Sihir Hujan
Hujan mengenal baik pohon, jalan,
dan selokan-swaranya bisa dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya meski sudah kau tutup pintu
dan jendela. Meskipun sudah kau matikan lampu.
Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh
di pohon, jalan, dan selokan-
menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh
waktu menangkap wahyu yang harus kau rahasiakan
Dalam wawasan estetika Sapardi, hujan tidak melulu
menjadi personifikasi dari peristiwa alam. Fenomena
fisika yang telah menjadi keseharian.
Sapardi telah bergerak demikian jauh, dan fleksibel,
dalam mengembangkan interpretasi imajinatif terhadap
hujan dan tautan tanda kosmologis yang melatari,
mengiringi, serta akibat magisnya bagi suasana batin
manusia. Maka puluhan sajak Sapardi yang bertema
atau berlatar hujan tidak pernah membosankan. Bahkan
makin memperluas misteri dan pesona hujan itu sendiri.
Sajak "Sihir Hujan" di atas terlihat begitu polos dan sahaja.
Kesahajaan yang tidak pernah benar-benar bersahaja. Tapi
kesahajaan yang merangkum sebuah gagasan yang sengaja
dibuat secara tak kentara, halus, dan sublim bagi batin manusia.
Semula kita disuguhi dengan perangai hujan yang telah akrab
dan mengenal pohon, jalan, serta selokan. Suara-suara anasir
alam ini rupanya telah mengalami internalisasi demikina rupa,
sehingga sugesti suasana yang ditimbulkannya tidak bisa
dicegah efek psikologisnya. Ia bisa menembus pintu dan jendela.
Hadirnya tak terpengaruh oleh lampu yang dimatikan.
Ia menjelma dimensi gaib yang tak kasat mata. Bermetamorsofa
dari peristiwa psikis menjadi kejadian psikologis.
Gradasi metamorfosa ini dialusikan dalam simbol-simbol
konotatif yang semula berlatar konteks alam, tiba-tiba
berubah ke latar konteks manusia. Hujan yang semula berada
di jalanan, tiba-tiba menerobos masuk ke rumah, tanpa
melalui pintu atau jendela. Peralihan konteks inilah yang
kemudian membuat hujan itu jadi bermakna bagi kita.
Ia telah menjelma menjadi sebuah wacana.
Setelah latar simbolik itu terbentuk, Sapardi mulai
menguraikan gagasan magisnya. Bahwa hujan yang sama,
yang telah mengenal akrab pohon, jalan, dan selokan,
akhirnya benar-benar tercurah turun. Menimpa pohon,
jalan, dan selokan, dengan intensitas keintiman yang
sulit digambarkan. Dengan bisik-bisik ricik yang
menggugah intim kebersamaan.
Selebihnya adalah sugesti suasana yang terasa sakral dan
menenangkan, sehingga bahkan kita tak sempat mengaduh,
ketika wahyu keakraban itu datang. Sentuhannya begitu
ringan dan personal. Tak bisa dibagi. Oleh sebab itu lebih baik
dirahasiakan. Hujan telah datang bertandang memberikan
inspirasi untuk kesekian kali.
Â
Sajak ini adalah tamsil dari hubungan spiritual manusia dengan
alam. Bahwa ketika suasana batin manusia mengalami katarsis,
lewat suasana hujan umpama, maka pesan (bahkan wahyu)
dari alam akan masuk menyusup tanpa bisa kita tahan-tahan.
Sapardi mengemas hubungan intim antara nurani alam
dan batin manusia ini lewat sorot imajinasi yang tajam.
Semula ia menyuguhkan latar hubungan antara hujan
dan alam yang begitu sublim dan dalam, lalu mengiaskannya
ke dalam bingkai kosmologi di mana batin manusia
menggantikan kedudukan alam sebagai obyek keintiman.
Lantas siapakah hujan?
Hujan pastilah gagasan dan misteri sugesti yang terus
menolak untuk terkunci dalam definisi-definisi.
Ia akan tetap meluah dan meluas dalam berbagai
genangan imajinasi kita tentang kerinduan, fantasi
keindahan, suara gaib alam, dan wahyu keintiman batin
yang sulit kita tolakkan. Hujan adalah mantra gaib alam
yang tak bisa kita lawan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H