Mohon tunggu...
Abdurrazzaq Zanky
Abdurrazzaq Zanky Mohon Tunggu... Petani - petani.

Senang membaca segala jenis buku, nulis diary, mengamati lingkungan alam dan sosial, menertawakan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Lelaki yang Berjualan Tengah Malam

17 November 2024   06:51 Diperbarui: 17 November 2024   08:09 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lelaki Yang Berjualan Tengah Malam

Sejak sore gerimis tipis membasahi kampung. Angin utara berhembus

membengkokkan daun-daun pisang. Katak-katak di sawah tak henti

memanggil-manggil hujan. Mereka sedang bertelur pada ceruk-ceruk kecil

area sawah yang mulai tergenang. Tak ada petani yang turun ke sawah

sore itu. Angin dingin di awal musim hujan bisa bikin meriang.

Kampung kami mulai berbenah menyambut musim tanam. Panen tahun ini

memang bagus. Hampir setiap rumah punya stok gabah yang memadai.

Paling tidak cukup buat makan hingga panen tahun depan.

Kami adalah petani padi lokal yang tergantung sepenuhnya pada kemurahan

musim. Kalau tidak terjadi anomali atau wabah besar, usaha pertanian

akan berjalan lancar. Sayang harga gabah tak kunjung meningkat,

karena pemerintah akan melakukan impor besar

dalam waktu dekat. Inilah dilema yang terus berulang.

Ketika panen bagus harga terbanting miring.

Ketika panen gagal harga beras setinggi langit.

Malam cepat menjadi sepi. Tak seperti biasa, anak-anak juga cepat tidur.

Saya tak bisa memicingkan mata. Pikiran saya tertuju ke sumur kecil di belakang

rumah yang penuh ikan. Kalau hujan jadi besar, sumur itu akan luber.

Saya mengambil selimut dan rebahan di ruang depan.

Bertekad begadang menunggu hujan. Saya sudah membeli tiga buah

bubu untuk mencegat ikan-ikan itu.

Hampir tengah malam gerimis belum menjadi hujan. Sayup di kejauhan saya seperti

mendengar bunyi ting ting ting. Seperti bunyi mangkok yang dipukul sendok. Saya

duduk untuk menyimak lebih seksama. Benar, bunyi itu makin lama makin jelas.

Itu adalah tukang bakso yang biasa lewat sehabis magrib. Saya menengok lewat kaca,

menunggu dia lewat. Persis memang dia. Lewat penerangan yang terletak dalam

kaca pajangan, saya lihat barang dagangannya masih ada separoh.

Orang ini memang pejalan rohani, pikir saya sambil tersenyum. Sudah jelas

jualannya tidak akan laku. Tapi tetap nekat. Pasti dia tidak bermaksud mencari duit.

Dia sedang berolah batin. Tapi bagaimana kalau tidak?

Saya teringat cerita Gadis Penjual Korek Api Hans Andersen. Pada malam

natal yang bersalju itu, si bocah berjalan kaki keliling kota menjajakan

dagangannya. Namun tidak laku-laku. Karena tidak tahan dengan cuaca beku,

 anak malang itu akhirnya meringkuk di suatu tempat. Ia menyalakan korek api

 jualannya itu satu persatu untuk menghangatkan badan agar tidak mati kedinginan.

Apa yang terjadi dengan abang bakso itu? Apakah istrinya baru saja melahirkan?

Apakah dia sedang dikejar-kejar pemilik kontrakan? Apakah anak-anaknya tidak

punya uang saku buat besok? Apakah dia punya beras? Apakah dia punya ibu

yang sedang sakit? Apakah dia tidak tega pulang sebelum mendapatkan uang?

Apakah bakso itu miliknya sendiri atau milik seorang juragan yang kejam?

Pertanyaan-pertanyaan saya makin berkepanjangan.

Saya sadar, kami punya sedikit uang di lemari yang cukup buat belanja empat

 hari ke depan. Ada tumpukan kecil karung gabah yang siap dilego bila situasi

 benar-benar darurat. Kami juga punya rumah sendiri. Kami jauh lebih

 berkecukupan dari abang bakso itu. Memikirkan segala kemungkinan itu

 membuat saya merasa beruntung seribu kali.

Mungkin abang bakso ini sempat ragu untuk turun berjualan, tersebab cuaca

yang tidak mendukung. Tapi akhirnya dia memutuskan untuk pergi karena

melihat pandangan kosong anak istrinya yang penuh arti. Mungkin dia berharap

ada pelanggan yang kebetulan masih berjaga di tengah malam ini. Mungkin dia

sangat percaya bahwa Tuhan pasti akan menolong bagaimanapun mustahil keadaannya.

Kalau kemungkinan yang terakhir ini yang berlaku, pastilah dia benar-benar

seorang pejalan rohani sejati. Manusia yang segenap daging dan

tulang-belulangnya telah dirasuki iman kepadaTuhan. Dia menolak menyerah

pada keadaan yang tak masuk akal ini. Situasi mustahil tak bisa mempengaruhi

kepercayannya pada kemurahan Tuhan. Boleh jadi kepada orang-orang semacam

inilah Tuhan menjatuhkan welas asih semestanya hingga kita selamat dari bencana.

Boleh jadi orang semacam inilah yang menyunggi dan memayungi kemaslahatan manusia.

Bunyi ting ting itu perlahan menghilang. Saya seperti mendengar himbauan

kesunyian alam. Himbauan yang mengisyaratkan bahwa jejaring kehidupan

adalah satu kesatuan yang saling terhubung mesra dan memperkuat satu sama lain.

 Boleh jadi segala kesenangan yang saya dapat hari ini adalah hasil jerih payah

 dan pengorbanan orang yang sama sekali tidak saya kenal. Para anonim rohani

 yang tak henti-henti melakukan pertobatan. Mereka yang pasang badan menerima

 penderitaan untuk mendapatkan welas asih Tuhan bagi kemaslahatan bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun