Lelaki Yang Berjualan Tengah Malam
Sejak sore gerimis tipis membasahi kampung. Angin utara berhembus
membengkokkan daun-daun pisang. Katak-katak di sawah tak henti
memanggil-manggil hujan. Mereka sedang bertelur pada ceruk-ceruk kecil
area sawah yang mulai tergenang. Tak ada petani yang turun ke sawah
sore itu. Angin dingin di awal musim hujan bisa bikin meriang.
Kampung kami mulai berbenah menyambut musim tanam. Panen tahun ini
memang bagus. Hampir setiap rumah punya stok gabah yang memadai.
Paling tidak cukup buat makan hingga panen tahun depan.
Kami adalah petani padi lokal yang tergantung sepenuhnya pada kemurahan
musim. Kalau tidak terjadi anomali atau wabah besar, usaha pertanian
akan berjalan lancar. Sayang harga gabah tak kunjung meningkat,
karena pemerintah akan melakukan impor besar
dalam waktu dekat. Inilah dilema yang terus berulang.
Ketika panen bagus harga terbanting miring.
Ketika panen gagal harga beras setinggi langit.
Malam cepat menjadi sepi. Tak seperti biasa, anak-anak juga cepat tidur.
Saya tak bisa memicingkan mata. Pikiran saya tertuju ke sumur kecil di belakang
rumah yang penuh ikan. Kalau hujan jadi besar, sumur itu akan luber.
Saya mengambil selimut dan rebahan di ruang depan.
Bertekad begadang menunggu hujan. Saya sudah membeli tiga buah
bubu untuk mencegat ikan-ikan itu.
Hampir tengah malam gerimis belum menjadi hujan. Sayup di kejauhan saya seperti
mendengar bunyi ting ting ting. Seperti bunyi mangkok yang dipukul sendok. Saya
duduk untuk menyimak lebih seksama. Benar, bunyi itu makin lama makin jelas.
Itu adalah tukang bakso yang biasa lewat sehabis magrib. Saya menengok lewat kaca,
menunggu dia lewat. Persis memang dia. Lewat penerangan yang terletak dalam
kaca pajangan, saya lihat barang dagangannya masih ada separoh.
Orang ini memang pejalan rohani, pikir saya sambil tersenyum. Sudah jelas
jualannya tidak akan laku. Tapi tetap nekat. Pasti dia tidak bermaksud mencari duit.
Dia sedang berolah batin. Tapi bagaimana kalau tidak?
Saya teringat cerita Gadis Penjual Korek Api Hans Andersen. Pada malam
natal yang bersalju itu, si bocah berjalan kaki keliling kota menjajakan
dagangannya. Namun tidak laku-laku. Karena tidak tahan dengan cuaca beku,
 anak malang itu akhirnya meringkuk di suatu tempat. Ia menyalakan korek api
 jualannya itu satu persatu untuk menghangatkan badan agar tidak mati kedinginan.
Apa yang terjadi dengan abang bakso itu? Apakah istrinya baru saja melahirkan?
Apakah dia sedang dikejar-kejar pemilik kontrakan? Apakah anak-anaknya tidak
punya uang saku buat besok? Apakah dia punya beras? Apakah dia punya ibu
yang sedang sakit? Apakah dia tidak tega pulang sebelum mendapatkan uang?
Apakah bakso itu miliknya sendiri atau milik seorang juragan yang kejam?
Pertanyaan-pertanyaan saya makin berkepanjangan.
Saya sadar, kami punya sedikit uang di lemari yang cukup buat belanja empat
 hari ke depan. Ada tumpukan kecil karung gabah yang siap dilego bila situasi
 benar-benar darurat. Kami juga punya rumah sendiri. Kami jauh lebih
 berkecukupan dari abang bakso itu. Memikirkan segala kemungkinan itu
 membuat saya merasa beruntung seribu kali.
Mungkin abang bakso ini sempat ragu untuk turun berjualan, tersebab cuaca
yang tidak mendukung. Tapi akhirnya dia memutuskan untuk pergi karena
melihat pandangan kosong anak istrinya yang penuh arti. Mungkin dia berharap
ada pelanggan yang kebetulan masih berjaga di tengah malam ini. Mungkin dia
sangat percaya bahwa Tuhan pasti akan menolong bagaimanapun mustahil keadaannya.
Kalau kemungkinan yang terakhir ini yang berlaku, pastilah dia benar-benar
seorang pejalan rohani sejati. Manusia yang segenap daging dan
tulang-belulangnya telah dirasuki iman kepadaTuhan. Dia menolak menyerah
pada keadaan yang tak masuk akal ini. Situasi mustahil tak bisa mempengaruhi
kepercayannya pada kemurahan Tuhan. Boleh jadi kepada orang-orang semacam
inilah Tuhan menjatuhkan welas asih semestanya hingga kita selamat dari bencana.
Boleh jadi orang semacam inilah yang menyunggi dan memayungi kemaslahatan manusia.
Bunyi ting ting itu perlahan menghilang. Saya seperti mendengar himbauan
kesunyian alam. Himbauan yang mengisyaratkan bahwa jejaring kehidupan
adalah satu kesatuan yang saling terhubung mesra dan memperkuat satu sama lain.
 Boleh jadi segala kesenangan yang saya dapat hari ini adalah hasil jerih payah
 dan pengorbanan orang yang sama sekali tidak saya kenal. Para anonim rohani
 yang tak henti-henti melakukan pertobatan. Mereka yang pasang badan menerima
 penderitaan untuk mendapatkan welas asih Tuhan bagi kemaslahatan bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H