Engkos mencongak sejenak. "Hitung-hitungnya jago. Satirenya tokcer, tetapi ada sedikit nila dungunya. Dalam bahasa Indonesia disebut bongak. Kata ini cocok bagi orang pintar yang tiba-tiba pilon demi membuai pendukung dan junjungan."
Mamat tertawa. "Mestinya ada Bang Jadi."
"Mau main catur?"
Mamat menggeleng. "Supaya diskusi lebih seru, sekalipun belakangan ini Bang Jadi sedikit bongak dan banyak pilon."
"Suatu ketika," kata Engkos, "Seno Gumira Ajidarma menulis begini. Lebih baik memiliki diri sendiri daripada memiliki semuanya, kecuali diri sendiri. Ini berlaku ketika cinta membutakan hati. Semua orang dari kubu sebelah dituding dungu atau pembohong, sementara dia juga sering berbuat dungu dan berbohong."
"Kok cinta?"
"Cinta pada golongan sendiri yang tiada terkira sehingga mata batinnya tersaput kabut benci." Engkos menatap Mamat. "Ketika seseorang menyebut bahwa jomlo dan menikah amat erat kaitannya dengan kemiskinan, lantas menyajikan data hasil riset, mengolah narasinya sedemikian rupa sehingga tampak mentereng, padahal dongok."
"Dongok?"
"Kakaknya dungu, adiknya bego." Engkos terkakak-kakak. "Tabiat dan perangai warga di suatu negara tidak bisa dipukul rata dengan perilaku penduduk negara lain. Pasti berbeda. Jadi, hasil penelitian di Amerika tidak serta-merta dianggap mewakili keadaan di negara lain."
"Siapa yang melakukan itu?"