"Ada kampret yang menyebut mustahil jalan desa sepanjang ratusan ribu kilometer dibangun dalam tempo empat tahun," ucap Engkos pelan sambil meletakkan gelas di tatakan, "kampret ini menuduh mustahil jalan desa sepanjang itu dibangun berbekal ajian simsalabim."
Mamat mencebik. "Diameter bumi juga tidak sepanjang jalan desa, kan?"
"Begini, Kang," kata Engkos pelan, "Ada dua belas dukuh di Desa Sukatawa. Setiap dukuh punya setidaknya tiga hingga lima jalan desa. Bayangkan puluhan ribu desa di seluruh Indonesia. Jika tiap desa punya sepuluh kilo jalan desa, bisa diterka panjang jalan desa di seantero Nusantara."
Mamat mencelangap. "Mmm...."
Bagi Engkos, ungkapan "mmm" sungguh memuaskan. Apalagi didesiskan dari mulut yang selama beberapa detik sebelumnya mencelangap. "Jalan-jalan desa itu tidak dibentang memanjang. Kadang berkelok, kadang memanjat bukit, kadang berjajar jika dilihat dari atas, kadang sambung-menyambung seperti urat-urat di dalam tubuh kita. Inilah perlunya kita membaca. Bukan sebatas membaca buku, melainkan juga membaca gejala semesta."
"Apa arti 'hemm' bagi Kang Mamat?"
"Sedang berpikir."
"Apa?"
"Rasa-rasanya enggak logis kalau jalan desa sepanjang itu kelar dalam empat tahun."
"Bisa jadi."