"Apa?"
"Mana yang baku antara nekat dan nekad?"
"Tidak bisa dimungkiri, kebiasaan pelafalan memantik kekeliruan penulisan," ujar Sabda menanggapi pertanyaan Willy. Ia berhenti sejenak, lalu berkata, "Kita lafalkan nekat dengan nekad. Maksudku, huruf 't' pada akhir kata itu kita ganti dengan konsonan 'd'. Begitu terus setiap saat. Lambat laun, kata nekad-lah yang lekat di dalam ingatan kita, merajak di alam bawah sadar, lantas kita mengira itulah kata yang baku."
Willy sudah duduk mencangkung di samping Sam yang mengorok.
"Akibat salah eja," kata Sabda, "kesalahan juga terjadi saat kita menulis bejat. Sebagian di antara kita menggunakan huruf 'd' di akhir kata alih-alih konsonan 't'. Alhasil, kita menyangka yang baku adalah bejad. Padahal bejat."Â
Ia menarik napas. "Kita juga bisa mengasah kepekaan gramatikal kita pada kata skuat. Di media daring, terutama media penyampai berita olahraga, kata tersebut acapkali dikira skuad. Sekali lagi, konsonan 'd' kita biarkan merambah lahan rezeki huruf 't'. Dan, kesalahan itu kita biarkan terus terjadi. Itu sebabnya disebut salah kaprah. Artinya 'kesalahan yang dilazimkan atau dilumrahkan'."
Willy menjawil lengan Sam. "Kasih tahu Riva, Sam, yang betul itu nekat!"
Sam sontak bangun dan memberengut. "Apaan sih!"
Willy terkakak-kakak. Gema tawanya membahana di sela batang-batang kopi.
Sabda sedang asyik memacari gawai. Jemarinya menari lincah. Sesekali ia mendongak, sesekali menunduk. Kadang mencelangap, kadang menganga. Willy tersenyum-senyum melihat sahabatnya. Lelaki kelahiran Jeneponto itu pasti sedang sibuk menulis puisi. Ia turun dari dangau dan duduk di sebelah Sabda. Ia terperangah membaca untaian kalimat.
Pada November, aku selalu ingin merayakan hari kelahiran bersama buku yang tiap-tiap halamannya selalu ingin dibaca. Bagiku, kamulah buku yang rahasianya tak pernah rampung kubaca.