Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Alumnus Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) di Universitas Negeri Nusa Cendana Kupang Tahun 2008 dan suka Trading. (1). Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat", (2). A Winner of Class Miting Content Competition for Teachers Period July-September 2022. (3). The 3rd Winner of Expat. Roasters Giveaway 2024. Hubungi: 081337701262.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mama Aleta Baun dari Mollo-NTT Memperjuangkan 5 Nilai Global untuk Transformasi Politik Indonesia yang Lebih Baik

10 November 2022   16:11 Diperbarui: 10 November 2022   16:15 1209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mama Aleta menerima The Goldman Environmental Prize Tahun 2013 di San Fransisco, AS (Sumber foto: The Goldman Environmental Prize)

Mama Aleta tidak menggunakan kekerasan dalam memperjuangkan kelestarian lingkungan hidup. Mama Aleta menggunakan cara-cara damai dan perjuangan berbudaya, seperti: demosntrai, menenun di lokasi sengketa, tidur di bawah tenda, dll. Para pelaku kekerasan akhirnya dikalahkan oleh kekuatan perjuangan damai dan cinta lingkungan hidup dari Mama Aleta. 

Pantang kekerasan harus menjadi komitment tiap pribadi untuk wajib dijalankan dalam hidup setiap hari. Pantang berarti menahan diri untuk tidak berbuat. Pantang kekerasan telah menjadi komitmen global berarti menahan diri untuk tidak melakukan kekerasan terhadap diri sendiri, sesama, alam dan hewan dan tumbuhan.

Untuk dapat menahan diri dari melakukan kekerasan terhadap alam, manusia, hewan dan tumbuhan, seseorang harus punya iman yang kuat sebagai daya tahan diri yang berasal dari dalam diri sendiri. Pantang kekerasan merupakan salah satu nilai global yang harus dihayati semua orang di dunia. Pantang kekeresan menjadi komitment tiap pribadi sehingga  setiap pribadi menjalankannya dengan iman, kerelaan, keihlasan hati, bahagia dan tanpa paksaan.

6.2. Solidaritas Dalam Keadilan

Solidaritas berarti berbela rasa, ikut serta merasakan penderitaan dan kegembiraan sesama. Biasanya solidaritas berarti ikut merasakan penderitaan sesama dan menolong mereka. Istilah solidaritas dalam keadilan, artinya ikut merasakan penderitaan dan menolong sesama yang ditindas karena ketidakadilan. Mama Aleta ikut serta merasakan penderitaan sesama di Mollo yang menderita akibat perusakan lingkungan. Ia menolong mereka dengan memimpin mereka melakukan kerja sama dan berbagai demonstrasi menuntut penolakan tambang marmer.

6.3. Kesetaraan Antara Pria dan Wanita

Dominasi pria menciptakan hambatan kultural dan struktural bagi perjuangan wanita. Kesetaraan pria dan wanita memang saat ini sudah lebih membaik jika dibandingkan dengan zamannya R.A. Kartini dahulu. Tetapi hingga saat ini kesetaraan pria-wanita tetap masih terus diperjuangkan oleh tokoh-tokoh wanita Indonesia moderen, salah satunya Mama Aleta Baun. Menurut Bendiktus Dalupe (2020), dalam perjuangannya, Mama Aleta berhasil mengesampingkan dominasi pria dalam budaya Mollo yang memberi ruang bagi 2 penindasan sekaligus yakni penindasan terhadap alam dan terhadap wanita. Mama Aleta berhasil membuat laki-laki dan perempuan bersatu dan berbagai peran dengan laki-laki.

Menurut pengakuan Mama Aleta kepada Siti Maemunah (2016), laki-laki urus rumah, urus anak, bergantian. Kerja bersama pria dan wanita di berbagai komunitas-komunitas yang dibentuk Mama Aleta memberi harapan yang menjanjikan melalui kerja- kerja kolaboratif antara perempuan dan laki-laki bagi terciptanya kesetaraan, keadilan, dan perubahan sosial-ekologis di masa depan. Kekuatan Mama Aleta adalah kelompok-kelompok masyarakat adat dan wanita-wanita Mollo di tingkat akar rumput.

Menurut Benediktus Dalupe (2020), perempuan Mollo-NTT  membutuhkan strategi untuk  mencapai keberhasilan.  Dua tantangan  yang mereka lewati: (1) membebaskan diri dari penjara 'patriarki' dengan mendapat dukungan dari kaum laki-laki (para suami), (2) merumuskan landasan etik-kultural untuk berjuang secara konsisten. Narasi untuk dua hal ini berhasil dibangun Aleta. Sebagaimana diuraikan Mangilio (2015), seperti dikutip Benediktus Dalupe (2020), mereka sebenarnya membalikkan keadaan dari posisi gender yang tak berdaya menjadi sangat berdaya untuk dapat menciptakan emosi dan soliditas perlawanan.

Menurut Mangilio (2015) yang dikutip Benediktus Dalupe (2020), Perempuan Mollo-NTT secara aktif menggunakan peran-peran gender yang sering digunakan oleh kaum laki-laki untuk mendiskriminasi dan menempatkan mereka pada posisi subordinat. Peran gender yang dimaksud berkenaan dengan peranan dan sifat perempuan Mollo sebagai kaum yang dekat dengan alam, pemelihara dan perawat. Menurutnya, peran semacam ini sesungguhnya sangat membatasi ruang gerak perempuan Mollo berkisar hanya di ruang domestik saja. Namun dengan menjunjung tinggi peran-peran gender tersebut, para perempuan Mollo menggunakannya bahkan memelintirnya untuk kepentingan perjuangan mereka. Dengan argumen bahwa merekalah pemelihara alam, maka mereka meminta kaum laki-laki untuk membiarkan mereka berjuang di ranah publik

6.4. Kejujuran

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun