Di Mollo-NTT, Mama Aleta Baun menggunakan pendekatan kekeluargaan. Mama Aleta tahu bahwa adat budaya berkiblat kepada kekeluargaan. Karakter adat budaya di Mollo bercorak gotong royong sehingga pendekatan kekeluargaan adalah metode pendekatan yang menjawabi kebutuhan nyata untuk meraih dukungan warga adat. Mama Aleta menggunakan 4 cara sederhana yang dikenal dengan rumus 4D untuk mendapatkan dukungan orang-orang Mollo, yaitu:
4.1. Dekat
Mama Aleta membangun keyakinan atau kepercayaan tentang kedekatan kodrati dan non kodrati orang Mollo dengan alam yang dirusakan oleh penambang dan juga membangun kedekatan dengan orang-orang yang dikorbankan penambang Marmer. Mama Aleta adalah bagian orang yang melakukan aksi nyata penolakan tambang. Ia juga adalah bagian dai rakyat yang merasakan kekerasan fisik dan intimidasi berupa: ancaman, penderitaan, penganiayaan, ditangkap polisi dan dipenjarakan selama 20 hari.
4.2. Dukung
Untuk mendukung warga yang menderita akibat penambangan marmer, Mama Aleta harus mendengarkan sebanyak mungkin keluhan-keluhan mereka. Keluhan-keluhan para korban berisi seputar kesulitan-kesulitan hidup dan cara- cara agar dapat keluar dari penderitaan. Sejauh jalan keluar itu adalah kebaikan, maka ide dan kegiatan itu harus didukung. Pada intinya Mama Aleta membiarkan anggota masyarakat adat menyalurkan pekerjaan, bakat dan kemampuan mereka secara positif. Hal-hal itu harus didukung. Agar masyarakat tidak merasa sendiri memperjuangkan kebaikan-kebaikan bagi hidup dan kesejahteraan mereka.Upaya dukungan itu dilakukan Mama Aleta  antara lain melalui aksi nyata bersama sesame warga yang menderita.
4.3. Dampingi
Mama Aleta adalah wanita pejuang lingkungan hidup asal Mollo-NTT yang mengalami kesadaran akan ketertindasan lebih dahulu. Lalu dia berjuang untuk menumbuhkan kesadaran kepada sesamanya terhadap posisi ketertindasan yang mereka alami dan mengemukakan cara-cara mengatasi ketertindasan. Menurut pengakuan Mama Aleta kepada Siti Maemunah (2016), untuk mendampingi, warga harus dibentuk kelompok-kelompok atau  komunitas adat., seperti: Kelompok Menenun, Kelompok AMAN (Aliansia Masyarakat Adat Nusantara), Yayasan Taim Hine Aleta Baun, kelompok ternak, kelompok pertanian organic,  dan kelompok Organisasi Attaemamus (OAT) yang punya 640 petani di mana Mama Aleta berfungsi sebagai pendamping kegiatan mereka dengan para anggotanya berasal dari para tokoh adat dan anak-anak muda. Pada intinya pendampingan diperlukan agar gerakan masyarakat adat dapat berkontribusi positif dan bermanfaat serta mengindarkan kegiatan-kegiatan negative yang merugikan tujuan pembentukkan komunitas adat. Topik-topik yang dibicarakan adalah kedaulatan dan kemandirian.Â
Salah satu hasil diskusi di komunitas adat menjadi bahan pidato  terkenal Mama Aleta di Forum World Culture Forum (WCF) berjudul: Kami Tidak Jual yang Tak Bisa Kami Buat" di Bali pada 11 Oktober 2016 yang dhadiri 65 orang utusan dari 65 negara,  Di Forum WCF, Mama Aleta mengatakan, "Kami hanya akan menjual apa yang bisa kami buat, kami tak akan menjual apa yang tidak bisa kami buat. Kami tak akan menjual lahan, sungai, hutan gunung dan air.  Kami harus menata produksi dan konsumsi kami".Â
Menurut pengakuan Mama Aleta kepada Siti Maemunah (2016), komunitas adat yang dbentuk Mama Aleta terdiri dari orang-orang Mollo, Amanuban dan Amanatun. Setelah para penambang Marmer menarik diri dari Mollo, TTS, setiap dua tahun para anggota komunitas adat berkumpul untuk mengadakan  Festival  Ningkam  Haumeni setiap 2 tahun untuk  terus  merayakan  hasil-hasil perjuangan.
Dapat dibuat kesimpulan bahwa Mama Aleta berhasil membangun persahabatan dengan orang-orang dekatnya dan membangun komunikasi efektif yang menyenangkan. Dengan terciptanya komunikasi menyenangkan maka akan mudah bagi Mama Aleta memasukkan nilai-nilai positif dalam aktivitas harian seputar pembelaan terhadap lingkungan hidup. Pada intinya komunitas-komunitas adat yang dibentuk Mama Aleta bertujuan untuk menggalakkan kerja-kerja kolabaratif agar tercipta kesetaraan antara pria dan wanita.
4.4. Diskusi