1. Pendahuluan
Seluruh pembaca yang pernah membaca di Media-Media dan pernah menonton di TV atau Youtube tentang Mama Aleta pasti mengenal Mama Aleta sebagai ikon pejuang lingkungan hidup asal Mollo-NTT. Popularitas Mama Aleta Baun tinggi setelah menerima anugerah The Goldman Environmental Prize di San Fransisco, AS pada bulan April 2013. Penghargaan itu telah "mentahbiskan" Mama Aleta sebagai ikon pejuang lingkungan hidup dari Mollo-NTT.
Dalam tulisan ini, saya menyelesaikan model ethos global yang menggerakkan Mama Aleta. Ethos global berwujud nilai-nilai global yang diusung Mama Aleta. Predikat ikon pejuang lingkungan hidup yang disandang Mama Aleta selama ini sering dilihat dalam prespektif nilai tanggung jawab ekologis saja. Mama Aleta menerima Goldman Enviromental Prise Award sebagai salah satu warga dunia yang benar-benar komit melakukan perjuangan tanpa pamrih terhadap perlindungan lingkungan hidup dari ulah para penambang marmer di Mollo-NTT selama 13 tahun.
Akan terasa kurang seimbang jika Mama Aleta hanya dipahami sebagai pejuang lingkungan hidup saja tanpa melihat nilai-nilai global lain dalam diri Mama Aleta. Berdasarkan hasil riset, saya menemukan bahwa Mama Aleta Baun memperjuangkan secara keseluruhan 5 nilai global. Tetapi berapa publikasi tentang Mama Aleta mungkin telah sedemikian menonjolkan hanya satu nilai global saja yaitu sebagai pejuang lingkungan hidup. Jika hal itu terjadi maka wacana pemberitaan tentang Mama Aleta memang sudah benar tetapi terasa kurang seimbang. Tanpa 4 nilai global lainnya, maka nilai tanggung jawab ekologis yang diperjuangkan Mama Aleta belum benar-benar berdaya transformatif.
Dalam tulisan ini, saya ingin menekankan bahwa terdapat 5 nilai global sebagai ethos global yang secara serempak telah diperjuangkan Mama Aleta Baun dalam dedikasinya sebagai wanita pejuang lingkungan hidup di Kabupaten TTS. Â Perempuan pejuang asal Mollo yang pernah tinggal di hutan dengan membawa anak bayinya yang baru berumur 2 bulan itu memberikan pesan perdamaian yang sangat kuat bagi dunia. Kondisi ini terasa cocok bagi Indonesia yang sedang mencita-citakan demokrasi damai.
Demokrasi damai bukan hanya menonjolkan nilai tanggung jawab ekologis secara nyata saja oleh tiap-tiap warga negara. Lebih penting adalah menghayati 5 nilai global secara seimbang, yaitu: pantang kekerasan, solidaritas dalam keadilan, kejujuran, kesetaraan antara pria dan wanita dan tanggung jawab ekologis.
Dalam perjuangan Mama Aleta, empat nilai global  lain berpijak pada nilai tanggung jawab ekologis. Dengan pijakan pada nilai tanggung jawab ekologis, 4 nilai lainnya berkaitan dan memiliki pendasaran yang sangat kokoh. Tetapi bukan berarti nilai tanggung jawab ekologis lebih penting dari nilai-nilai global lain. Ke-5 nilai global itu setara dan seimbang dijalankan oleh Mama Aleta Baun dengan bertitik tolak pada nilai tanggung jawab ekologis.
2. Tentang 3 Sumber Primer dari Tulisan Ini
Penulis menggunakan 3 sumber utama dalam menyelesaian tulisan ini yaitu: Pertama, tulisan ilmiah Benediktus Dalupe berjudul Dari Hutan ke Politik: Study Terhadap Ekofeminisme Aleta Baun di Mollo-NTT di Jurnal Polinter Prodi Ilmu Politik FISIP UTA'45 Jakarta, Vol.5 No.2 (September-Februari 2020) menjadi sumber primer pertama. Dengan mengguanakan banyak sumber, Dalupe membuat kesimpulan penting, sebagai berikut: "Gerakan ekofeminisme di Mollo yang dipimpin Aleta Baun memberi pesan penting bagi gerakan perempuan (feminisme) dan lingkungan (ekologi). Keterancaman global soal kerusakan lingkungan dapat diatasi dimulai dari tingkat lokal. Perpaduan antara perempuan, alam dan kearifan lokal (masyarakat adat) dan pengorganisaian yang bertahap menjadi model yang menjanjikan bagi gerakan ekofeminisme dimana pun. Isu-isu lingkungan memang harus ditarik untuk tidak saja menjadi kepedulian yang khas perempuan, tetapi menjadi kepedulian universal. Kebijakan publik ekologis akan lebih mudah tercapai bila diperjuangan secara universal. Kisah Aleta memberi pesan, bahwa perempuan menjadi pihak yang paling strategis dan tepat untuk memulainya. Perubahan sosial bervisi ekologis sebagaimana diharapkan tetap harus dimulai dari mengeluarkan perempuan dari penjara kultural bernama patriarki. Aleta telah melakukannya dengan membalikkan ketakberdayaan akibat peran minimal gender dalam kultur patriarki menjadi modal dalam pergerakan. Membangun narasi, mengembangkan komunitas adat, dan perlunya jalur politik memberi arah yang jelas bagi perubahan sosial yang diharapkan".
Kedua, karya tulis Siti Maemunah berjudul Perempuan Pejuang Tanah Air dalam buku berjudul Merayakan Ibu Bangsa yang diterbitkan di Jakarta oleh Direktorat Sejarah Direktorat Jenderal Kebudayaan-Kemendikbudnas RI tahun 2016. Tulisan Siti Maemunah merupakan hasil wawancara langsung  antara Siti Maemunah dengan Mama Aleta Baun yang berisi pengetahuan, pengalaman dan pesan dari Mama Aleta Baun dalam memperjuangkan tanah air.