''He, bangsat, ... pergi dari sini!''
Byurrrr! ... satu ember air disiramkan.
Gubraaak! Terdengar gerobak sampah terguling, isinya tumpah ruah dan sebagian jatuh masuk selokan.
''Awas, coba kembali kutangkap kalian!''
Bertiga mereka berlari sekuat tenaga. Pada persimpangan jalan setelah melewati warung penjual pisang, mereka mengaso. Nafas mereka tersengal-sengal.
''Knapa lagi, kena disambit orang?'' sapa pemain ukulele.
Anto, Ari dan Arwan, tiga sekawan, menjawab hanya dengan anggukan kepala. Mata mereka terbiasa liar, karena memang tak terbiasa belajar bagaimana santun memandang.
Nama mereka terkenal, persis seperti nama grup band. Cukup tanya ''di mana A?'' maka jari telunjuk dan tips akan menjelaskan.
Sebut saja ''A,'' dan itu sudah cukup mewakili nama Anto, Ari dan Arwan, persis seperti The Three Musketeers.
A memiliki ketangkasan masing-masing. Mereka namakan rezeki. Selayak restoran, ada tukang masak, pelayan dan tukang cuci.
A tak pernah mau menerima anggota baru. Mereka anggap tiga sudah  cukup, tak perlu empat atau lima atau pemimpin.
Bertiga mereka mengurus hidup mereka. Tak usah hidup untuk hari esok, cukup hari ini. Dan mereka merasa bahagia.
Nasib mempertemukan A. Dan Mbo Mirah mereka anggap sebagai orang tuanya. Wanita penyandang lepra yang mati enam bulan yang lalu itulah yang memberi nama bagi Anto, Ari dan Arwan.
Kata si Mbo, Anto itu nama adik lelakinya yang mati tertindas truk sampah. Ari itu nama penambal ban sepeda di pasar Kunir. Dan, Arwan itu nama pria pujaan hati si Mbo dalam angan-angan. Si Mbo sendiri belum pernah melihatnya.
A tidak pernah bisa menulis, karena memang Mbo Mirah tidak pernah bisa membaca apalagi menulis. Tak ada biaya untuk itu, karena sesuap nasi penyambung hidup satu hari harus melalui pergulatan kerja keras.
Hanya satu hal yang A bisa. Yang mereka terapkan dalam mempertahankan hidup bertiga di dunia ini, yaitu saling mengasihi dan melindungi.
''Buat apa sekolah sampe pinter kalo gak pernah bisa mengasihi dan melindungi, percuma!'' Kata si Mbo.
Nasihat ini, A camkan dengan baik. Simpan dalam pikiran mereka dan terapkan bertiga dalam kehidupan. Sederhana.
A tidak perlu ibu atau ayah, sebab orang tua mereka tidak pernah mengaku keberadaan mereka. Katakanlah, mereka adalah produk sperma yang dibuang dalam rahim dan ditangkap secara kebetulan oleh sel telur. Sisanya, manusia pelaku itu berusaha memusnahkan mereka.
-
Meski tangan mereka hitam kumal karena kotoran dan kuku mereka penuh bakteri , nikmat A berbagi santap malam mereka.
Nasi, lengkap dengan lauk pauknya. Hasil kesabaran menunggu makanan sisa di belakang pintu restoran terminal bus luar kota.
Pemilik restoran cukup senang memberikan sisa makanan ini kepada mereka, daripada melemparnya masuk ke bak sampah. Karena mengosongkan bak sampah juga membutuhkan biaya.
Dengan penuh kasih Ari membagikan lauk pauk. Setiap orang berhak akan jatahnya.
Santapan yang membahagiakan perut mereka. Tak usah bermimpi air mineral yang bersih sebagai air minum, cukup air sungai sebagai penggantinya.
A telah terbiasa. A telah terlatih dan A memang sudah menerima takdir, bahwa inilah hidup mereka. Hidup adalah kerja keras.
''Nanti kita ke sana yuk, di seberang sana,'' bisik Anto sambil mengunyah sepotong tempe mendoan.
''Ya, tapi kita mesti super hati-hati.'' Jawab Arwan.
Hujan sepanjang hari siang, menghantarkan udara begitu dingin malam ini. Tak ada bintang, yang ada hanyalah semilir angin yang sesekali memercikkan air hujan yang masih tersimpan pada dedaunan pohon.
Di atas sana, suasana tetap ramai. Lampu jalanan, warna-warni cahaya dari pelbagai rumah menghiasi suasana malam. Sesekali terdengar klakson kendaraan. Sesekali terdengar suara manusia berbicara lantang menawarkan sesuatu. Gerobak dorong penjual martabak manis masih juga belum sepi dari pengunjungnya.
Keramaian dan cahaya di sana sangat berbeda dengan tempat A yang gelap dan lembab. Atap beton jembatan di atas cukup aman melindungi mereka.
Menyalakan api, sangat terlarang. Begitu api menyala, berdatangan manusia malam lainnya yang siap mengusir dan merebut tempat mereka.
Selesai santap malam yang mewah, bertiga A melintasi jalan setapak. Tempat yang mereka tuju kini terlihat.
-
A berjongkok, berlindung diri di bawah rindang pohon yang besar, pas persis dekat pagar rumah.
Enam mata menikmati pemandangan ini, selayak film yang diputar pada layar tancap di alam terbuka.
Di sana, dalam ruang yang terang bermandi cahaya, terlihat pentas adegan. Empat orang duduk mengitari meja makan yang megah dan besar. Sesekali dua orang muncul melayani mereka.
Adegan  demikian hangat, harmonis dan penuh kasih. Persis nasihat Mbo Mirah.
Terlihat pria mengusap kepala anak lelaki di sebelahnya. Sementara wanita menyuapkan sesuatu ke mulut anak bayi yang duduk pada pangkuannya.
Sayup terdengar musik mengiringi acara makan malam keluarga ini. Piring dan gelas ikut memeriahkan memantulkan cahaya lampu.
Gorden jendela ruang makan terlihat belum lagi ditutup. A menikmati pemandangan ini dari balik persembunyian mereka.
A merasakan gelak tawa mereka yang penuh kehangatan dan kebahagiaan.
Sesekali Ari tersenyum. Sementara Arwan menyaksikannya dengan kedua tangan memegang kedua pipinya. Anto menikmati seraya matanya berkaca-kaca tanpa ia tau apa sebabnya.
Saat itu, A tak memerlukan sisa makanan mereka. A hanya ingin menikmati kehangatan antar mereka di sana.
Ketika gorden ditutup oleh salah satu pelayan, maka berakhirlah adegan film layar tancap bagi A.
A bertukar pandang satu sama lain. Mereka merasakan kebahagiaan di sana pada diri mereka.
Bergegas A kembali menuju tempat mereka.
-
''Wah, kardusnya besar, ... kuat lagi!'' tanya Anto.
''Ya, dari pembungkus mesin cuci,'' timpal Arwan.
Ari tangkas membereskan kotak-kotak karton. Sementara Arwan mengatur beberapa pilah karton sebagai alas. Anto menghubungkan sisi karton dengan karton lainnya serta mengganjalnya dengan batu.
Gulita malam beranjak menyelimuti setiap insan. Nun jauh di sana terlihat kerlip lampu pesawat di udara. Tak ada bintang, tak ada bulan.
A merebahkan diri mereka. Kardus-kardus itu mereka sulap menjadi ruang tempat tidur mereka. Agar tetap hangat dan selamat menjalani udara malam yang dingin, bertiga mereka tidur sambil berpelukan.
Kebahagiaan dan kehangatan yang baru saja A saksikan masih mereka rasakan.
Sambil berbisik, mereka mengulang kisah film layar tancap yang baru saja mereka nonton bersama.
''Pasti ada tempe mendoan-nya ya,'' kata Anto.
''Mungkin ada kepala ikan juga,'' sambung Ari.
Arwan merenung, lalu berkata, ''bapak ibunya sangat sayang sama anak-anaknya.''
Bertiga mereka asyik menduga kisah selanjutnya, bila mereka ada di dalam rumah yang hangat itu.
''Kita pasti bisa baca dan menulis.'' Bisik Arwan.
''Kita pasti pakai baju yang bagus,'' tambah Anto.
''Makanan kita pasti enak, dan tempat tidur kita pasti empuk,'' bisik Ari.
Keheningan merasuk ketiganya. Â A terlelap dalam kelelahan mereka. Bertiga mereka berkelana dalam dunia pentas yang acap hadir dalam angan mereka.
Dan, tiba-tiba saja A berada dalam ruangan sangat besar dan indah. Cahaya lampu yang hangat menyambut mereka. Terdengar tepuk riuh para tamu menyambut kedatangan A.
''Selamat datang, ayo masuk jangan malu-malu!'' terdengar seruan suara yang entah datang darimana.
Ari tersipu tersenyum. Sedangkan Arwan berusaha melangkah dengan gagah sambil tangannya menggandeng lengan Anto.
Kepala mereka bertiga berputar mengikuti gerakan cahaya yang menakjubkan.
Belum pernah A melihat warna cahaya seindah seperti itu. Belum pernah mereka merasa bahagia seperti  saat ini.
Bertiga mereka tercengang gembira melihat pakaian dan sepatu yang mereka kenakan. Belum pernah kaki mereka memakai benda seperti ini.
Terlihat di tengah ruangan meja yang megah dan besar, penuh dengan pelbagai menu makanan.
''Silahkan duduk, mau makan apa?'' tiba-tiba dua pelayan wanita datang menghampiri A dengan ramah. Senyum mereka sangat menyejukan hati.
Seseorang menuangkan sayur dan lauk pauk untuk A.
Ketiga mata sekawan ini mengikuti gerakan tangan pelayan dengan takjub. Ketika A nikmat bersantap, terasa seseorang mengusap kepala Ari dengan penuh kasih sayang.
Untuk pertamakali dalam hidupnya, Ari berani menatap mata wanita pelayan itu. Mata itu begitu syahdu penuh cinta. Indah seperti mata miliknya. Ajaib!
Arwan, Ari dan Anto sejenak berpegangan tangan, mata mereka penuh cinta dan kasih berpandangan satu sama lain.
''Inilah rumah kita.'' Bertiga mereka berbisik bersamaan penuh harapan.
-------
Dari waktu ke waktu, jumlah anak- anak seperti A di bumi ini makin bertambah. Mereka mendapatkan nama yang miris, anak-anak bawah tanah yang menempati lorong gelap bawah jembatan, saluran air, pinggir jalan pelosok kota dan terminal angkutan umum.
Anak-anak yang terbuang dari kehidupan sosial karena faktor kemanusiaan.
Pintu rumah yatim piatu tertutup bagi mereka dengan alasan. Â
Perjuangan hidup mereka sangat keras. Mempertahankan nafas dari kehidupan yang mereka sendiri tak mengerti, mengapa mereka harus menerimanya.
Tamat.
(da161217nl)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H