Mohon tunggu...
Ade Surya
Ade Surya Mohon Tunggu... Guru - Saya Kuliah di IAIN CURUP

Jurusan Pendidikan Agama Islam

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pendidikan Islam Tradisional Konservatif

2 Januari 2020   10:19 Diperbarui: 2 Januari 2020   10:26 3358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PENDIDIKAN ISLAM YANG TRADISIONAL DAN KONSERVATIF AKIBAT LEMAHNYA PENGGUNAAN METODOLOGI PENGAJARAN YANG MENARIK 

Oleh 

Ade Surya, Aisatul Hasanah, Anisa Nur Aziz

Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam, Kelas PAI 5A

Prodi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah, IAIN Curup

Tahun 2019 

Dosen Pengampu : Dr. Fakhruddin, M.Pd.I

 

PENDAHULUAN

Hakekat dari sebuah pendidikan adalah sebuah upaya atau proses pengubahan bentuk sikap atau tata laku seseorang atau kelompok dalam upaya untuk mendewasakan manusia melalui upaya pelaksanaan kegiatan pendidikan dan pengajaran dengan cara berpegang teguh kepada norma atau kebiasaan yang sudah berlangsung sejak lama yang terjadi secara turun temurun. 

Terdapat beberapa pola yang telah disajikan oleh sejarah pendidikan, yaitu pola pendidikan yang menggunakan system tradisional yang menurut sebagian orang diidentikkan dengan pesantren yang secara nonformal dilakukan melalui pendekatan takhassus, kaderisasi, Ijazah dan lain sebagainya.[1]

Pengetahuan yang merupakan produk kegiatan berpikir merupakan obor pencerahan peradaban di mana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup dengan lebih sempurna. Berbagai peralatan dikembangkan manusia untuk meningktkan kualitas hidupnya dengan menerapkan pengetahuan yang diperolehnya. Proses penemuan dan penerapan itulah yang menghasilan kapak dan batu zaman dulu sampai komputer zaman ini.[2]

Pengetahuan yang merupakan produk kegiatan berpikir merupakan obor pencerahan peradaban di mana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup dengan lebih sempurna. Filsafat merupakan ilmu yang berusaha untuk memahami semua hal yang timbul di dalam keseluruhan lingkup pengalaman manusia. 

Berfilsafat adalah berpikir, dan malahan sampai kepada berspekulasi. Filsafat menghendaki olah pikir yang sadar, yang berarti teliti dan teratur. Epistemologi filsafat pendidikan Islam adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang prosedur, proses memperoleh filsafat pendidikan Islam dengan cara mengkaji pada wahyu dan fenomena alam semesta. 

Epistemologi beorientasi pada bagaimana membangun paradigma pendidikan Islam yang tetap sesuai dengan alqur'an dan hadis. Berlandaskan kerangka filsafat pendidikan Islam ini maka diharapkan potensi intelektual dan spritual manusia itu tumbuh dengan baik sehingga tercipta manusia super yang mempunyai kecerdasan spritual sekaligus emosional-spritual. Epistemologi filsafat pendidikan Islam ini digunakan untuk memperoleh pengetahuan pendidikan Islam.[3]

 System yang digunakan dalam pendidikan tradisional ini adalah dengan cara melihat sejarah masa lalu sebagai inspirasi atau sesuatu yang harus dipertahankan. Akar teologis pemikiran tradisonalis tersebut adalah manusia itu harus menerima segala ketentuan dan rencana Tuhan yang telah dibentuk sebelumnya. 

Pada masa Islam Klasik pendidikan dikelompokkan dalam dua kategori yaitu lembaga formal yang bercirikan eksklusif dan lembaga sampingan (informal) (kuttab, shuffauh, halaqoh, qushur, majlis dan masjid serta rumah ulama) dan mereka mempunyai ciri yang masing-masing. Orientasi pendidikan tradisional adalah mengemban tugas suci, menyebarkan agama. 

Melestarikan ajaran Islam, Penguatan ke-tauhidan, Terfokus pada Pendidikan Keilmuan Islam, Pendidikan terpusat pada guru, Sistem pembelajaran pendidikan tradisional, mereka masih memakai sistem halaqoh, bekumpul, mengelompok setelah itu maju satu persatu.[4]

 PEMBAHASAN

Pengertian Pendidikan

Pendidikan adalah sebuah proses pengubahan sikap atau tata laku seseorang untuk mendewasakan manusia melalui upaya pelaksanaan pengajaran dengan cara berpegang teguh kepada norma yang sudah lama terjadi secara turun temurun. Pendidikan tradisional di identikkan dengan pendidikan pesantren yang pelaksanaannya dilaksanakan secara nonformal melalui pendekatan takhassus, kaderisasi. 

Ilmu pengetahuan dalam presfektif Islam berasal dari Tuhan. Jika terdapat perbedaan antara penginderaan dengan wahyu, maka pemikir Islam akan lebih mempercayai dan mandahulukan otoritas kebenaran wahyu daripada hasil penginderaan, karena kebenaran wahyu dianggap sebagai kebenaran sejati dan mutlak. 

Pada masa Islam Klasik pendidikan dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu lembaga formal dan lembaga sampingan (informal) (kuttab, shuffauh, halaqoh, qushur, majlis dan masjid serta rumah ulama) dan mereka mempunyai ciri yang masing-masing. Orientasi pendidikan tradisional adalah mengemban tugas suci, yaitu menyebarkan agama. 

Melestarikan ajaran Islam, Penguatan ke-tauhidan, Terfokus pada Pendidikan Keilmuan Islam, Pendidikan terpusat pada guru, Sistem pembelajaran pendidikan tradisional, mereka masih memakai sistem halaqoh, bekumpul, mengelompok setelah itu maju satu persatu. Model pendidikan seperti inilah yang kemudian dijadikan modal untuk melakukan transformasi pendidikan sehingga pendidikan menjadi lebih baik.[5]

ISLAM

Islam predikat sebagai sebaik-baik umat (khaira ummah) sejatinya termanifestasikan dalam tiga hal; pertama, umat muslim dapat hidup berdampingan dengan umat lain yang berbeda dengan dirinya, bukan hidup terpisah dan menutup diri dari kehidupan global yang menjadi keniscayaan; kedua, persatuan kaum muslimin dan solidaritas Islam tidak boleh mengarah kepada tindakan etnosentris atau eksploitasi materi maupun tindakan agresi, sebaliknya umat muslim harus kooperatif dalam menjaga perdamaian, serta mengedepankan moralitas; ketiga, umat muslim seharusnya mau mendengar dan belajar dari pengalaman orang lain dan kemudian mengambil hal-hal yang baik.[6]

Sedikitnya terdapat tiga tipologi para pemikir Islam kontemporer dalam merespon tradisi dan modernitas. Pertama, pemikir Islam konservatif. Kelompok ini memiliki paradigma pemikiran yang ideal-totalistik. 

Dalam memandang peradaban Islam menjadi idiologi yang paling ideal, dan karenanya menolak unsur-unsur asing yang datang dari Barat. Islam dipandang sudah final dan tidak memerlukan metode atau teori-teori import dari Barat. Hukum Islam dipahami sebagai hukum yang tertulis sebagaimana termaktub dalam Al-Qur'an dan hadits. Nalar yang dikendalikan oleh kelompok ini tidak lain adalah nalar tekstualis.[7]

Pengertian Pendidikan Islam 

Paling tidak ada dua makna yang dapat disari dari terminologi Pendidikan Islam. Pertama, pendidikan tentang Islam, kedua pendidikan menurut Islam. Terminologi pertama lebih memandang Islam sebagai subjec matter dalam pendidikan, sedangkan terminologi kedua lebih menempatkan Islam sebagai perspektif dalam Pendidikan Islam.[8]

 Muhammad Hamid An-Nashir dan Qullah Abdul Qadir Darwis mendefinisikan pendidikan Islam sebagai proses pengarahan perkembangan manusia pada sisi jasmani, akal, bahasa, tingkah laku, dan kehidupan sosial keagamaan yang diarahkan pada kebaikan menuju kesempurnaan.4 Sementara itu Omar Muhammad At-Taumi Asy-Syaibani sebagaimana dikutip oleh M. Arifin, menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadi atau kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan di alam sekitarnya.[9]

Pendidikan Islam seringkali dikesankan sebagai pendidikan yang tradisional dan konservatif. Menurut pengamatan Amin Abdullah, bahwa kebanyakan pendidikan Islam masih menggunakan pola konvensional-tradisional, tidak saja yang terjadi di lembaga pendidikan non formal seperti pondok pesantren dan madrasah diniyah, akan tetapi juga di sekolah Islam, madrasah dan perguruan tinggi. 

Pandangan tersebut lumrah dan wajar karena orang memandang bahwa kegiatan pendidikan Islam dihinggapi oleh lemahnya penggunaan metodelogis pembelajaran yang cenderung tidak menarik perhatian dan memberdayakan. Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikan Islam akan relevan serta harus dicari terobosan baru dan inovasi yang relevan dengan zaman, sehingga isi dan metodologi pendidikan Islam menjadi aktual-kontekstual.[10]

Pendidikan Islam kini sedang menghadapi tantangan yang semakin hari semakin berat dan nyata, terutama sejak berhadapan dengan berbagai fenomena yang muncul di kehidupan masyarakat. 

Dunia ini menyaksikan perubahan global yang hampir terjadi setiap detik. Pola-pola interaksi manusia telah dipengaruhi berbagai faktor yang secara tiba-tiba menghampiri dan mempengaruhi kehidupan masyarakat dan melakukan perubahan di dalam struktur kehidupan mereka. 

Terlebih lagi, ketika peran teknologi komunikasi dan media masa menjadi semakin vital, maka perubahan itu semakin terlihat nyata di depan mata dan tidak bisa dihindarkan lagi dampaknya. 

Berbagai peristiwa dengan mudah memasuki melalui media komunikasi, sadar atau tidak, kesemuanya telah membawa nilai tertentu pada suatu sistem yang berlaku yang sudah dianggap mapan, yang akibatnya kita akan menyaksikan akan terjadi benturan dan gesekan di antara sistem-sistem tersebut. Sebagai contoh, sebutlah ilmu pengetahuan, budaya, politik, agama, keluarga, anak, profesi dan sistem nilai yang berlaku.[11]

Kondisi Pendidikan Islam

Ada dua model pendidikan sebagai representasi pendidikan Islam yang berkembang di Indonesia sejak masuknya Islam hingga memasuki abad ke-20, yaitu, yaitu model pesantren dan surau. Model pesantren tumbuh dan berkembang di Jawa, sedangkan surau di Sumatera.Kedua model pendidikan ini masih sangat tradisioal, konsevatif, kolot dan tidak memenuhi standar pendidikan Eropa.

Dari aspek manajemen, pesantren ataupun surau dipimpin oleh seorang Kiyai. Kiyai adalah figur tunggal dan sentral yang memiliki otoritas penuh dalam segala hal terhadap murid atau santrinya, bahkan masyarakat luas. 

Dalam pandangan kiyai, seperti disebut Dhofier, pesantren yang dipimpinnya seperti kerajaan kecil dan dirinya sebagai sumber mutlak atas seluruh kewenangan atau kekuasaan dalam kehidupan pesantren. Selain sebagai guru, kiyai adalah sosok yang sangat dihormati dan disegani serta dipercaya mampu memberikanberkah dan celaka, bahkan dianggap ma'shum (tanpa salah dan dosa). Selain itu, telah menjadi kebiasaan kiyai dijadikan sebagai tabib, hakim, konsultan magis dan sebagai tempat menggantungkan hidup dan masa depan para santri.[12]

Bagi santri, kehinaan dan ketundukannya kepada kiyai adalah sebuah kebanggaan, dan kerendahan hati terhadapnya adalah keluhuran. Itu sebabnya, seorang santri akan sangat bahagia dan bangga sekaligus dengan etos kerja tinggi bila dapat membantu kiyai menyelesaikan pekerjaan rumah tangga kiyaimisalnya. 

Dari aspek proses pendidikan, hampir dipastikan metode pembelajaran dengan menggunakan metode ceramah yang monoton, tanpa dialog. Materi yang diajarkan hanya terfokus pada pelajaran agama seperti tertuang dalam kitab Islam klasik, misalanya terkait dengan praktik salat lima waktu, khutbah, salat jumat dan lainnya. 

Jika diklasifikasikan, kitab yang dipelajari di pesantren dapat dibagi menjadi 8, yaitu: nahwu, sharaf, fikih, usul fikih, hadis, tafsir, tauhid, tasawuf dan etika, serta cabang-cabang yang lain seperti tarikh, dan balaghah Dari 8 jenis kitab tersebut, pengajaran fikih, nahwu, sharaf dan akidah menjadi prioritas. Sedangkan pengajaran tasauf, tafsir al-Qur'an, dan juga hadis sebagai ilmu yang bersifat sophisticated, yang hanya dapat dipelajari oleh orang-rang tertentu. Tidak ditemukan kitab/buku umum sebagai bahan ajarnya.[13]

Dalam studi kependidikan, sebutan "Pendidikan Islam" pada umumnya dipahami sebagai suatu ciri khas, yaitu jenis pendidikan yang berlatar belakang keagamaan. Dapat juga digambarkan bahwa pendidikan yang mampu membentuk "manusia yang unggul secara intelektual, kaya dalam amal, dan anggun dalam moral". Hal ini berarti menurut cita-citanya pendidikan Islam memproyeksi diri untuk memproduk "insan kamil", yaitu manusia yang sempurna dalam segala hal, sekalipun diyakini baru (hanya) Nabi Muhammad SAW yang telah mencapai kualitasnya.[14]

Pendidikan Islam adalah suatu wacana yang mengandalkan ideologi Islam sendiri sebagai pegangan pendidikan tersebut. Maka konstruksi pendidikan Islam merupakan upaya untuk mencocokkan kembali kiranya hal yang perlu diperbaiki atau menaruh pendidikan islam itu sendiri di dalam kebutuhan teoriteori tertentu.[15]

Jika berbicara mengenai pendidikan salah satu yang terpenting adalah tujuan' yang ingin dicapai oleh pendidikan tersebut. Syamsul Arifin menyebutkan bahwa tujuan merupakan salah satu komponen pendidikan yang terpenting Seluruh aktivitas pendidikan sangat tergantung pada rumusan tujuan pendidikan. Atau dengan kata lain, aktivitas pendidikan terutama yang berbentuk aktivitas belajar mengajar dimaksudkan untuk merealisasikan tujuan pendidikan. Dalam tujuan pendidikan terdapat rumusan gambaran nilai-nilai ideal pribadi manusia yang ingin dilahirkan dari lembaga pendidikan. Jika tekanan tujuan pendidikan pada kualitas pribadi manusia, tidak berarti cakupan pendidikan menyempit pada manusia sebagai individu.[16]

Maka di dalam pendidikan Islam tujuan yang dapat digambarkan adalah pendidikan yang bertujuan untuk memberikan suplai pengetahuan yang berbasis pada ilmu Islam itu sendiri, yang kemudian mampu diaktualisasikan ke dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Dengan itu ilmu bisa dikatakan sebagai alat yang mampu memberikan nilai-nilai praktis bagi manusia itu sendiri.

Pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan oleh manusia untuk mengembangkan potensi manusia lain atau memindahkan nilai-nilai yang dimilikinya kepada orang lain dalam masyarakat. 

Proses pemindahan nilai ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya adalah: pertama, melalui pengajaran yaitu proses pemindahan nilai berupa (ilmu) pengetahuan dari seorang guru kepada murid-muridnya dari satu generasi ke generasi berikutnya. 

Kedua, melalui pelatihan yang dilaksanakan dengan jalan membiasakan seseorang melakukan pekerjaan tertentu untuk memperoleh keterampilan mengerjakan pekerjaan tersebut. 

Ketiga, melalui indoktrinasi yang diselenggarakan agar orang meniru atau mengikuti apa saja yang diajarkan orang lain tanpa mengizinkan si penerima tersebut mempertanyakan nilai-nilai yang diajarkan  Begitu pula dengan pendidikan Islam dalam kacamata feminisme, di bagian tertentu dalam hal ini pendidikan islam sebagai sebuah perlawanan.[17] 

Kuntowijoyo menyebutkan bahwa pemikiran paradigmatik yang coba mengawali pembinaan konstruksi teologis dan struktur pendidikan Islam, yang semestinya harus kembangkan, merupakan resultante dari berbagai kutub pemikiran teologis, meliputi kutub-kutub pemikiran yang inklusif, pluralis, liberalis, dan progresif. 

Di mana esensi substansialnya diturunkan secara interpretatif dan refleksi-historis dari integralisme ajaran dan nilai-nilai Islam, yang diyakini menjadi esensi terpenting yang kini amat dibutuhkan dalam rangka membangun sebuah pola pikir dalam gerakan perlawanan baru terhadap pola keberagaman normatif simbolis, konservatif, dan seremonial yang sekedar hanya pintar meniru, mewarisi, dan mengikuti apa-apa yang telah ada pada masa lalu.[18]

Ideologi Pendidikan Konservatif 

Faham Ideologi konservatif memandang bahwa tidak adanya kesederajatan masyarakat merupakan sesuatu yang alami, sesuatu hal yang sangat mustahil untuk kita hindari. Perubahan dalam faham ini merupakan sesuatu hal yang tidak perlu diperjuangkan karena perubahan akan menciptakan sebuah kesengsaraan baru bagi manusia. Tokoh aliran konservatif yang terkenal adalah George Washington, Abraham Lincoln, Emile Durkheim, Arthur Bestor dan Hyman Rickover. 

Menurutnya, orang-orang yang miskin, buta huruf dan menderita merupakan kodrat Ilahi dan kesalahan mereka sendiri karena tidak bisa merubah dirinya sendiri. Orang miskin harus bersabar dan belajar menunggu nasib sampai giliran mereka datang, karena pada akhirnya semua orang akan mencapai kebebasan dan kebahagian.[19] Dalam perkembangannya, Ideologi pendidikan konservatif mempunyai tiga tradisi pokok, yaitu fundamentalisme pendidikan, intelektualisme pendidikan dan konservatisme pendidikan.

Konservatisme Pendidikan               

Ideologi Pendidikan Konservatif yaitu sistem pendidikan yang bersifat ortodok (lama) yang diterapkan di lembaga-lembaga sekolah. John Dewey menyatakan bahwa pendidikan konservatif merupakan suatu pembentukan pada diri anak dari luar. Mereka beranggapan bahwasanya kemampuan atau perkembangan diri anak tergantung gemblengan dari luar bukan dari dalam diri anak. Tujuan utama penganut konservatisme adalah untuk melestarikan dan menyalurkan pola-pola perilaku sosial konvensional. 

Bagi penganut konservatif, tujuan atau sasaran pendidikan adalah sebagai sarana pelestarian dan penerusan pola-pola kemapanan sosial serta tradisi-tradisi berciri "orientasi ke masa kini". Konservatisme menaruh hormat terhadap hukum dan tatanan sebagai landasan perubahan sosial yang konstruktif. Hal ini sejalan dengan dinyatakan oleh Freire bahwa "penganut konservatif tidak menyangkal bahwa teknologi menyuguhkan beragam persoalan, mereka hanya mengatakan sesuatu yang dapat menciptakan problema-problema yang lebih parah".[20] 

Penganut konservatisme, memandang pendidikan sebagai sebuah pembelajaran (sosialisasi) nilai-nilai sistem yang sudah mapan, sehingga manusia sebagai obyek pendidikan harus dibimbing secara ketat serta harus diarahkan sebelum ia menjadi orang yang berpendidikan (tersosialisasikan secara efektif sebagai warga Negara yang bertanggung jawab). 

Dengan demikian, konservatisme pendidikan Lebih menekankan pada kesamaan-kesamaan yang ada pada individu bukan perbedaan-perbedaannya, sehingga guru dapat dengan mudah mendidik mereka dan mengkondisikan mereka di kelas. Namun guru harus menekankan bahwa keberhasilan ditentukan oleh prestasi mereka, sehingga mereka harus berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik. [21]

Konsep kurikulum konservatif cenderung memusatkan perhatiannya kepada disiplin ilmu yang lebih praktis dan lebih baru seperti sejarah, biologi, fisika, yang dianggap sebagai bidang-bidang yang secara langsung relevan dengan berbagai problema masyarakat kontemporer yang paling mendesak dan harus segera diselesaikan. Materi pembelajaran lebih dipusatkan untuk mengajarkan peserta didik menjadi warga negara yang baik, mengajarkan juga budaya yang konvensional, pembentukan watak dan karakter, ilmu alam, ilmu kesehatan, sejarah, dan keterampilan dasar.[22]

Sedangkan metode yang digunakan juga tidak jauh beda dengan dua varian ideologi konservatif sebelumnya. Guru bebas memilih metode yang di gunakan untuk mengefektifkan pembelajaran di kelas. Namun, ia harus cenderung menggunakan tata cara yang konvensional seperti peragaan, studi lapangan, penulisan di laboratorium, dan lain-lain. 

Selain itu Metode pendisiplinan jasmani dan mental seperti metode baris berbaris, berhitung di luar kepala, menghafal, dan lain sebagainya juga tetap digunakan untuk pembentukan karakter siswa. Khusus bagi para siswa yang menggali problem-problem dalam kehidupan dan belajarnya, maka digunakan metode bimbingan dan penyuluhan personal serta terapi kejiwaan.[23]

Metode Pendidikan  

Dalam Islam, banyak sekali metode-metode yang dicetuskan oleh pakar pendidikan baik metode konvensional maupun metode yang sudah modern. Penulis memandang bahwa konsep metode pendidikan Islam yang sudah dipaparkan oleh penulis pada pembahasan sebelumnya sudah mewakili terhadap metode-metode yang digunakan oleh kaum konservatif dan kaum liberal.[24]

Kaum konservatif memandang bahwa metode pengajaran harus cenderung ke arah yang tradisional seperti ceramah, hafalan, diskusi, dan Tanya jawab. Mereka juga memandang bahwa guru adalah panutan, sehingga guru lah yang harus menentukan metodenya. 

Ketika ada siswa yang mengalami kesulitan belajar ataupun menghadapi masalah-masalah dalam kehidupannya maka guru memberikan bimbingan dan penyuluhan, serta memberikan terapi kejiwaan bagi siswa yang membutuhkan. Lain halnya dengan metode yang digunakan oleh kaum liberal. Mereka menghindari adanya metode hafalan dan kedisiplinan. Mereka menyerahkan hal itu kepada individu, jadi bukan tugas seorang guru untuk menyuruh peserta didik hafalan. 

Guru hanyalah fasilitator dan motivator, sehingga peserta didik bebas menentukan metode apa yang akan digunakan dalam proses pembelajaranya. Namun, ketika ada siswa yang mengalami kesulitan belajar ataupun mengalami masalah--masalah dalam kehidupannya, pendidik akan megarahkan dan memberikan penyuluhan kepada siswa tersebut, serta melakukan terapi kejiwaan bagi yang membutuhkan.

Untuk titik temu dari metode pendidikan yang digunakan adalah metode bimbingan dan penyuluhan yang saat ini dikenal dengan istilah bimbingan konseling (BK). Masing-masing ideologi memiliki konsep yang sama tentang penggunaan metode ini bahwa ketika ada permasalahan yang dialami oleh peserta didik maka guru harus memberikan layanan BK terhadap siswa tersebut. 

Pepatah arab mengatakan, "Metodologi lebih penting dari pada materi" karena dalam anggapan semua orang, barang siapa yang sudah mampu menguasai metodologi, maka dapat dipastikan bahwa beliau mampu meyakinkan dan mampu mengkondisikan audien/ Mahasiswa.

Namun kemudian, menguasai metodologi bukanlah suatu hal yang final, karena bagaimanapun kita sebagai Dosen atau guru harus mampu memahami dan menguasai materi yang menjadi topik bahasan dalam rangka meningkatkan kompetensi profesional. 

Selanjutnya, disamping penguasaan metodologi dan penguasaan materi yang baik, suatu hal yang tak kalah pentingnya juga adalah bagaimana seorang Dosen atau guru mampu menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Yang di dalamnya meliputi pengelolaan kelas, serta permasalahan lingkungan belajar. Dengan harapan, seluruh materi yang disampaikan mampu dicerna dan dipahami oleh peserta didik. Hal ini kemudian tidak jarang terjadi dalam dunia pendidikan kita, ada diantara Dosen belum sepenuhnya memahami urgensi tentang materi ajar yang berbeda dengan basic keilmuan Mahasiswa, seperti Ilmu Pendidikan Islam. 

Atas dasar inilah, maka penulis berinisiatif mengupas serta berusaha untuk sedikit mencoba dan berikhtiar dalam rangka memperbaiki tradisi dan budaya negatif yang terjadi dikalangan Dosen dan Mahasiswa.

AKAR PEMIKIRAN PEMBARUAN DALAM ISLAM

Dengan adanya berbagai macam problematika metodologi pengajaran PAI maka seharusnya diperlukan adanya pembaharuan terutama dalam ilmu pendidikan Islam itu sendiri. Yaitu terkait dengan cara atau metode yang seharusnya digunakan oleh guru/dosen maka haruslah diperbarui. 

Tradisi kenabian kuat mengisyaratkan bahwa pada setiap abad Tuhan akan mengirim seorang mujaddid atau pembaru kepada masyarakat Muslim, untuk memperbarui keyakinan mereka yang dikenal sebagai tajdid atau pembaruan. Konsep lain dari pembaruan ialah islah atau reform, dalam pengertian menghilangkan faktor-faktor luar yang merusak, yang memengaruhi keberagamaan Muslim dan nilai-nilai etis serta praktik-praktik yang menyebabkan kehancuran moral masyarakat. 

Akibatnya, Muslim kadang-kadang jauh dari sirath al-mustaqim atau jalan lurus, yang pada gilirannya justru menjadikan mereka mundur, tidak bersatu, dan rentan terhadap faktor-faktor luar yang menghancurkan. Namun, Muslim tidak pernah sepakat tentang siapa sesungguhnya sosok pembaru tersebut.[25]

Sejarah mencatat dua bentuk wacana yang menentukan perkembangan masyarakat Muslim, yaitu wacana reformis yang seringkali dianggap sebagai Islam liberal dan wacana yang secara beragam dikelompokkan sebagai konservatif, tradisionalis dan literalis. Keduanya berbeda dalam hal falsafahnya, metodologi dan bentuk tindakan. Apa yang dianggap sebagai 'pembaruan' oleh golongan reformis justeru diyakini sebagai bid'ah, yaitu inovasi dan perubahan dari praktik ibadah yang sudah mapan, oleh kelompok konservatif. Secara filosofis para pemikir konservatif/ tradisionalis/ literalis melawan perubahan hukum dan penerapan hukum melalui interpretasi yang lebih liberal.[26]

Pembaruan diartikan sebagai (i) penafsiran kembali sumber-sumber fundamental yang menyebabkan perubahan dalam mengeksistensikan hukum dan membuat Islam lebih sesuai dengan tuntutan modernitas. (ii) Pembaruan juga diartikan sebagai penghilangan pengaruh luar terhadap Islam dan perbaikan serta pemeliharaan hukum dan pengamalannya seperti pada masa awal Islam. 

Golongan pembaru menyangkal pandangan bahwa sebagian isi dari kedua sumber tersebut dikhususkan bagi waktu tertentu dan tempat dari kenabian, yaitu Arab pada masa kenabian. Karenanya, ia dapat ditafsirkan sesuai perubahan waktu dan keadaan sebagai tindakan ijtihad, yaitu penafsiran independen terhadap sumber-sumber kitab dan hukum. Pada pertengahan abad ke-19, gerakan pembaruan dalam artian islah dilakukan oleh Shekh Muhammad Abduh dan muridnya, Syekh Muhammad Rashid Ridha, di Mesir. Abduh, setidaknya bagi dunia Arab, dipandang sebagai pendiri aliran pemikiran Islam modernis.[27]

Dalam melakukan pembaruan, golongan reformis lebih menekankan perbaikan tentang dimensi spirituallitas Islam daripada dimensi ritualnya yang menjadi fokus perhatian golongan konservatif untuk menegakkan keadilan, kebaikan, dan penghormatan akan martabat manusia. Sekalipun berbeda, kelompok reformis dan konservatif sama-sama bertujuan untuk (i) kembali ke sumber dasar Islam, yaitu Al-Quran dan Sunnah, (ii) perbaikan keyakinan dan moralitas Islam, (iii) revitalisasi dunia Islam secara intelektual, ekonomi, dan politik, (iv) penguatan komunitas Islam dan membentengi mereka dari serangan musuh internal dan ekternal, dan (v) memastikan relevansi Islam dalam kehidupan Muslim pada semua dimensi.[28]

 Solusi Permasalahan

Pengembangan kurikulum PAI ditekankan pada penggalian problem-problem yang tumbuh dan berkembang di lingkungannya atau yang dialami oleh peserta didik, untuk selanjutnya ia dilatih atau diberi pengalaman untuk memecahkannya dalam perspektif ajaran dan nilai-nilai agama Islam. 

Dalam pengembangan kurikulum PAI misalnya, peserta didik diajak untuk menggali, menemukan dan mengidentifikasi masalah-masalah kerusakan lingkungan, dekadensi moral, kenakalan remaja, narkoba, dan lain-lain. Masalah-masalah yang telah diidentifikasi oleh peserta didik tersebut akan menjadi tema-tema pembelajaran PAI. Tema-tema tersebut bersifat tentatif, sehingga bagi peserta didik di kelas atau sekolah lainnya bisa jadi berbeda sesuai dengan kebutuhan dan pengalaman mereka masing-masing.[29]

Haruslah guru atau dosen juga tenaga kependidikan lainnya banyak Berdiskusi tentang masalah pendidikan di Indonesia, lembaga pendidikan yang konservatif dan tradional itu yang seperti apa, bagaimana mencontoh pendidikan pesantren yang baik karena memang pesantren merupakan lembaga yang unik dan khas Njawani. Oleh karena itu, pesantren harus mendapat tempat yang layak dalam bingkai pendidikan nasional. 

Sangat disayangkan selama ini pemerintah masih merasa malu-malu untuk mengakui pendidikan pesantren sebagai pendidikan formal, berbagai ragam argumen dijadikan alasan untuk menolak dan meminggirkan pesantren dalam kancah pendidikan formal. 

Tentunya, hal ini sangat memprihatinkan di tengah kondisi bangsa yang morat-marit diperlukan lembaga pendidikan yang mampu membentengi moral bangsa. Pesantren sebagai jawaban yang paling ideal mengembangkan kualitas sumber manusia Indonesia.[30]

Selanjutnya, Pengelolaan kelas haruslah diperhatikan secara jelas oleh pendidik, sebagaimana Edmund dan Emmer sebagaimana yang dikutip oleh Sri Esti Wuryani, beliau mendefinisikan pengelolaan kelas adalah, tingkah laku Dosen yang dapat menghasilkan prestasi Mahasiswa yang tinggi karena keterlibatan Mahasiswa di kelas, serta tingkah laku Mahasiswa yang tidak banyak mengganggu kegiatan Dosen dan Mahasiswa lain dan dapat menggunakan waktu belajar yang efektif. Dapat disimpukan bahwa pengelolaan kelas meliputi antara lain:Keterlibatan Mahasiswa di kelas, Sedikit gangguan dan Penggunaan waktu belajar yang efektif.

Pengelolaan kelas dalam perspektif sejarah, cenderung menitik beratkan pada person dan karakter serta sifat yang harus di miliki seorang Dosen/ Dosen sebagai kendali dan nahkoda dalam mengatur serta mendesain kelas. Adapun sifat-sifat yang senantiasa dimiliki seorang Dosen antara lain sebagai berikut:Sikap tenang, Teguh dan tegas, Rajin,Simpati,Terbuka dan adil,Aturan, sistem dan aturan,Kompeten danKesarjanaan. 

Pengelolaan kelas dalam perspektif psikologis, Perkembangan teori-teori tentang pengelolaan kelas berasal dari bagian bidang psikologi.Terdapat dua teori psikologis yang paling umum berhubungan dengan pengaturan kelas berdasarkan teori Skinner dan Roger.

Model pengaturan kelas ini dikenal dengan istilah Reinforcement, yang berarti bahwa menggambarkan tingkah laku manusia sebagai hasil dari lingkungan, jika lingkungan dapat dikontrol melalui Reinforcement, maka tingkah laku manusia dapat pula dibentuk dan diubah. Contoh, seorang Dosen yang menanyakan suatu pertanyaan di kelas, ada beberapa Mahasiswa yang mengacungkan tangan mereka, sedangkan Mahasiswa yang lain menjawab sambil berteriak. Maka, dengan dengan menggunakan prinsip-prinsip Reinforcement, maka seorang Dosen hanya memberikan kesempatan kepada Mahasiswa yang menjawab dengan mengacungkan tangan terlebih dahulu. 

Beberapa pendekatan dalam pengelolaan kelas, Seorang Dosen harus mampu menetapkan pilihan yang tepat dalam melakukan pendekatan untuk mewujudkan pengelolaan kelas yang efektif. Untuk memperjelas masalah pendekatan yang akan dipergunakan itu, di bawah ini akan diketengahkan beberapa alternatif yang dapat dipilih diantaranya: pertama, Pendekatan berdasarkan perubahan tingkah laku Mahasiswa, kedua, Pendekatan berdasarkan suasana emosi Mahasiswa dan hubungan sosial.

Merubah pola pendidikan Islam indoktrinasi menjadi pola partisipatif antara Dosen dan murid. Pola ini memberikan ruang bagi Mahasiswa untuk berpikir kritis, optimis, dinamis, inovatif, memberikan alasan-alasan yang logis, bahkan Mahasiswa dapat pula mengkritisi pendapat Dosen jika terdapat kesalahan. Intinya, pendekatan epistemologi ini menuntut pada Dosen dan Mahasiswa untuk sama-sama aktif dalam proses belajar mengajar. 

Ilmu-ilmu yang berbasis pada realitas pengalaman empiris, seperti sosiologi, spikologi, filsafat kritis yang sifatnya membumi perlu dijadikan dasar pembelajaran, sehingga ilmu betul-betul menyentuh persoalan-persoalan dan pengalaman empiris. 

Adanya peningkatan profesionalisme tenaga pendidik yang meliputi kompetensi personal, kompetensi pedagogik, kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Sehingga dengan pemenuhan kompetensi inilah, seorang tenaga pendidik mampu menemukan metode yang diharapkan sebaimana harapan dalam kajian epistemologis.

SIMPULAN

Istilah konservatif berasal dari bahasa latin yaitu conservare yang artinya melestarikan, menjaga, memelihara, mengamalkan. Konservatisme diartikan sebagai ideologi dan filsafat yang menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional. Konservatisme sosial menurut Wiliam merupakan posisi yang mengembangkan ketaatan terhadap lembaga-lembaga serta budaya yang teruji oleh waktu, diiringi bentuk rasa hormat yang mendalam terhadap hukum dan tatanan sebagai landasan setiap jenis perubahan sosial yang konstruktif.[31]

Pendidikan tradisional (konsep lama) sangat menekankan pentingnya penguasaan bahan pelajaran. Menurut konsep ini rasio ingatanlah yang memegang peranan penting dalam proses belajar di sekolah. dan menengah sejak paruh kedua abak ke-19, dan mewakili puncak pencarian elektik atas 'satu sistem terbaik'. Ciri utama pendidikan tradisional termasuk:

(1) anak-anak biasanya dikirim ke sekolah di dalam wilayah geografis distrik tertentu, (2) mereka kemudian dimasukkan ke kelas-kelas yang biasanya dibeda-bedakan berdasarkan umur, (3) anak-anak masuk sekolah di tiap tingkat menurut berapa usia mereka pada waktu itu, (4) mereka naik kelas setiap habis satu tahun ajaran, (5) prinsip sekolah otoritarian, anak-anak diharap menyesuaikan diri dengan tolok ukur perilaku yang sudah ada, (6) guru memikul tanggung jawab pengajaran, berpegang pada kurikulum yang sudah ditetapkan, (7) sebagian besar pelajaran diarahkan oleh guru dan berorientasi pada teks, (8) promosi tergantung pada penilaian guru, (9) kurikulum berpusat pada subjek pendidik, (10) bahan ajar yang paling umum tertera dalam kurikulum adalah buku-buku teks.

Kebutuhan akan ulama yang intelek dewasa ini sangatlah besar. Pasalnya, mayoritas cendekiawan muslim saat ini bukanlah ulama yang intelek, melainkan intelek yang mengerti tentang agama. Maksudnya, banyak umat Islam yang menjadi doktor, bahkan profesor di berbagai bidang ilmu pasti, menjadi peneliti di berbagai lembaga penelitian, menjadi dosen di perguruan tinggi terkemuka, dan lain sebagainya. 

Mereka mempunyai tingkat intelektualitas yang tinggi, tetapi di sisi lain tidak banyak menguasai ilmu agama. Akibatnya, agama bagi mereka terkesan hanya menjadi formalitas belaka, bukan menjadi petunjuk (hudan) bagi orang-orang yang berpegang teguh kepada agamanya.

Pesantren didukung oleh metode-metode pendidikan yang tidak hanya bertujuan untuk transformasi ilmu pengetahuan saja, tetapi juga meningkatkan dan meninggikan moral (budi pekerti), melatih dan mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, serta menyiapkan anak didik untuk hidup sederhana dan bersih hati.[32] Keadaan semacam ini belum bisa disamai oleh lembaga pendidikan di luar pesantren. Djubaidi juga melakukan penelitian tentang madrasah dan pesantren. 

Dalam hal ini dia menemukan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang inklusif sehingga memungkinkan dirinya untuk membuka madrasah atau sekolah-sekolah lainnya. Dengan demikian dunia pesantren sudah tidak lagi ekslusif dan dianggap pinggiran, tetapi justru dianggap sebagai salah satu alternatif bagi pengembangan perguruan tinggi di masa mendatang.[33] Banyak lulusan pesantren yang telah memberikan kontribusi terhadap kemajuan bangsa dan negara dari segala bidang yang ditekuninya. Mulai dari bidang politik, ekonomi, kebudayaan hingga teknologi.

Contoh Pendidikan Islam yang tradisonal yaitu pesantren. Pesantren yang pada umumnya diidentikkan dengan tradisionalitas dan hanya fokus pada dimensi keagamaan. Namun, dalam perkembangannya, pondok pesantren mulai merespons dan mengapresiasi pendidikan formal, sehingga berdiri madrasah dan sekolah. Bahkan, sekitar satu dasawarsa terakhir telah dijumpai potret integrasi antara perguruan tinggi dan pesantren. Model yang paling awal dari integrasi pondok pesantren dan perguruan tinggi ini adalah model pesantren guna merespon pendidikan tinggi.[34] 

Jadi, Pendidikan Islam yang sering dianggap tradisional dan konservatif adalah terjadi oleh bberapa faktor yaitu, faktor yang berasal dari pendidik, tenaga kependidikan dan peserta didik itu sendiri. 

Jika dari guru, biasanya guru kurang memiliki kompetensi yang profesional dalam hal mengajar biasanya mereka ini mengajar tidak sesuai dengan bidang keprofesionalannya. Selanjutnya tenaga kependidikan memiliki peran yang sangat penting sebagai penunjang proses keberhasilan guru dalam mengajar, seperti diperlukan sarana dan prasarana, teknologi yang memadai dan mencukupi, dan lain-lainnya. 

Terakhir berasal dari dari siswa itu sendiri, hal yang biasa disebut oleh guru adalah titik jenuh siswa dalam belajar. Terkadang, walaupun banyak metode yang digunakan guru tapi siswanya tidak ingin belajar pastilah akan menjadi penghambat ini semua. Terkhusus dalam belajar pendidikan Islam. Sehingga, seorang guru banyak memiliki tugas dan PR penting untuk menghadapai suasana dan kondisi seperti ini untuk kedepannya.

 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Aini, Rofiqotul. "Titik Temu Ideologi Pendidikan Islam Konservatif Dan Liberal." Edukasia Islamika, 8 Desember 2017, 230.
  2. Al Idrus, S. Ali Jadid. "Model Strategi Kemitraan Pada Lembaga Pendidikan Islam (Studi Kasus Di Man 2 Mataram)." Palapa 5, No. 2 (30 November 2017): 20--37.
  3. Amrulloh, Zaenudin. "Konstruksi Pendidikan Islam" 12, No. 2 (2018): 15.
  4. Djollong, Andi Fitriani. "Epistemologi Filsafat Pendidikan Islam," 2015, 10.
  5. El Iq Bali, Muhammad Mushfi. "Perguruan Tinggi Islam Berbasis Pondok Pesantren." Al-Tanzim: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam 1, No. 2 (17 Agustus 2017): 1--14.
  6. Faizin, Imam. "Lembaga Pendidikan Pesantren Dan Tantangan Global" 3, No. 2 (2019): 18.
  7. Hafidhoh, Noor. "Pendidikan Islam Di Pesantren Antara Tradisi Tuntutan Perubahan" 6, No. 1 (Juni 2016): 88--106.
  8. Haris, Abd. "Eksistensi Pendidikan Tradisional Dalam Pelaksanaan Tugas Dan Layanan Kependidikan Di Era Modern," 2016, 10.
  9. Irawati, Sri. "Problematika Pembelajaran Statistik Di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (Ptki)." Kabilah: Journal Of Social Community 2, No. 1 (29 November 2017): 202--17. Https://Doi.Org/10.35127/Kbl.V2i1.3113.
  10. "Jurnal Ilmiah Peuradeun." Jurnal Ilmiah Peuradeun, No. 02 (2014): 27.
  11. Manan, M Azzam. "Pemikiran Pembaruan Dalam Islam: Pertarungan Antara Mazhab Konservatif Dan Aliran Reformis," T.T., 22.
  12. Muqoyyidin, Andik Wahyun. "Tipologi Pemikiran Modernis Pendidikan Islam," T.T., 16.
  13. Palahuddin, Palahuddin. "Modernisasi Pendidikan Islam Di Indonesia Awal Abad Ke-Xx: Kasus Muhammadiyah." Sangkp: Jurnal Kajian Sosial Keagamaan 1, No. 1 (20 Januari 2018): 61--83.
  14. "Pendidikan Konservatif | Tarbiyah Iain Ska." Diakses 1 Januari 2020. Https://Hhakiman.Wordpress.Com/2015/11/09/Pendidikan-Konservatif/.
  15. Priatmoko, Sigit. "Memperkuat Eksistensi Pendidikan Islam Di Era 4.0," 2018, 19.
  16. Riyadi, Ali. "Pesantren Dalam Bingkai Politik Birokrasi Pendidikan Islam Di Indonesia." Jurnal Pemikiran Keislaman 23, No. 1 (28 Februari 2013).
  17. Rohmadi, Syamsul Huda. "Pendidikan Islam Inklusif Pesantren ( Kajian Historis - Sosiologis Di Indonesia )." Fikrotuna 5, No. 1 (1 Juli 2017).
  18. Syafrawi, "Paradigma Pendidikan Tradisional Sebagai Modal Pendidikan Transformasional." Al-Ulum: Jurnal Penelitian Dan Pemikiran Ke Islaman 5, No. 1 (22 Februari 2018): 92--100.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun