MEMBANGUN MAHASISWA MODEL “ELANG-ELANG LAUT GEOGRAFI”
Oleh Abd. Hallaf Hanafie Prasad (Januari 2005)
(Kecerdasan Perilaku Belajar)
Pemuda adalah bagian terpenting dari masyarakat bangsa; karena pemuda adalah harapan bangsa.
Mahasiswa adalah bagian terpenting dari golongan pemuda. Mahasiswa adalah gelar bagi segolongan masyarakat pemuda yang dalam perkembangan secara biologis berada pada kurun usia matang untuk siap melakukan “gerilya” mencari, menemukan dan menguasai ilmu pengetahuan dan terampil berteknologi.
Karena itu masyarakat menempatkan mahasiswa sebagai tumpuan harapan. Masyarakat menanam investasi (korbanan modal) pada kehidupan mahasiswa. Masyarakat memberi kebebasan kepada mahasiswa untuk bergerak mencari, menemukan dan menguasai iptek. Karena demikianlah pentingnya iptek bagi kehidupan masa depan masyarakat bangsa.
Lalu bagaimana sikap dan gerak langkah mahasiswa itu sendiri dalam menanggapi, menyikapi dan memenuhi harapan masyarakat tersebut, juga harapan dirinya? Bagaimana seharusnya ia bersikap dan berbuat? Di atas semua itu, bagaimana membangun diri, di kurun usia kemahasiswaannya, menjadikan dirinya manusia yang berdayaguna dan berhasilguna, hingga berharga dan dihargai.
I. BELAJAR PADA ALAM
1. Elang Kelaparan
Lihatlah burung-burung yang berangkat pagi meninggalkan sarangnya dengan perut yang kosong, kemudian pulang di sore hari dengan perut yang kenyang. Lihatlah burung-burung elang yang terbang tinggi atau merendah dengan pandangan penuh perhatian mencari mangsa; sementara mangsanya adalah hewan-hewan yang bergerak; bermain-main di padang terbuka atau dipermukaan laut, atau liar bergerak lari dan bersembunyi.
Jadilah burung elang yang lapar iptek di semester pagi (awal) kemudian pulang di semester sore (akhir) dengan “perut” yang kekenyangan iptek; lalu siap untuk bekerja dengan modal iptek yang dimilikinya.
2. Kucing
Diam-diam makan di dalam. Sepertinya ia takut, sepertinya ia malu menyantap hidangan ketika hidangan itu tersaji di atas meja. Watak sekuritinya ialah buka mata, buka telinga, tutup mulut; tetapi selalu waspada dan siap menunggu peluang. Jadilah kucing yang pandai-pandai melihat dan mendengar, juga pandai-pandai menggunakan kesempatan.
3. Anjing
Anjing piaraan, tamu yang diundang atau yang tidak diundang, lawan atau tuannya pun digonggongnya. Sifat jago kandang; di kandangnya ia berani, tetapi di tempat lain ketika sendiri, ia penakut. Namun kesetiaannya tidak diragukan. Anjing piaraan yang terlatih disenangi oleh tuannya, disegani oleh tamu, dan ditakuti oleh lawan.
4. Burung Merpati
Melayang terbang tinggi berpasangan, mendarat dan makan. Jinak-jinak merpati, antara mendekat dan menghindar. Simbol fleksibel. Disenangi orang, menyenangkan tetapi tidak mudah diperalat.
5. Sapi Gembalaan
Sapi gembalaan dicocok hidungnya, berserah diri kepada sang gembala. Hidup antara ketergantungan dan kebebasan yang diatur. Bawahan yang baik kelak menjadi atasan yang baik.
6. Ayam
Ayam potong, ayam broiler; menunggu makan di tempat. Rentan akan penyakit dan kematian. Simbol kemanjaan, hidup malas dan pasrah. Ayam hutan adalah simbol kemandirian dan kebebasan penuh.
Sifat pengembara, petualang, tiada arah, tiada tujuan; semata-mata menikmati kebebasan. Ayam kampung: bebas dan terusik. Berani menyerempet-nyerempet bahaya. Ayam jinak-piaraan berani makan umpan di telapak tangan tuannya; tak sadar akan adanya ancaman.
7. Sungai
Airnya selalu mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Air sungai terkadang mengalir tenang, atau cepat, dan sekali-sekali harus terjun, menikung dan menabrak batu-batu besar. Air sungai mengalir terus siang malam menuju samudera bebas. Komitmennya hanya satu, menuju laut bebas. Jadilah air sungai yang merendah, mengalir tiada henti, menuju tujuan yang pasti yaitu samudera kebebasan yang dinamis.
8. Laut
Simbol kedinamisan. Simbol watak teguh yang fleksibel menghadapi perubahan cuaca. Di saat tertentu laut itu tenang, di banyak waktu laut berombak kecil sampai sedang, sekali-sekali bergelombang besar.
Gelombang besar dapat menenggelamkan kapal, tsunami menghancurkan kota dan desa-desa pantai. Gelombang laut tak akan berhenti memukul batuan cadas membangun kecuraman tebing, atau mengangkut pasir membangun pantai berpasir (beach), indah.
”Siapa yang pandai meniti ombak, dialah yang selamat sampai ke pantai”. “Pelaut-pelaut ulung tidak lahir di danau yang tenang; pelaut ulung selalu lahir di laut yang penuh gelombang”. Jadilah pelaut ulung, yang mampu merubah tantangan menjadi peluang.
“Elang Laut Geografi”
Elang Laut adalah amsal, yang adalah mahasiswa-mahasiswa geografi – sesuai obyek studinya – bentang alam dan bentang budaya – yang ibarat elang laut dengan kekuatan sayap dan paruh serta kaki bercakar kokoh, mampu terbang tinggi melayang atau merendah, menukik, menyerbu dan menangkap mangsa.
Tidak cengeng tidak pula gegabah. Matanya jeli, pendengaran dan penciumannya tajam. Tanggap dan waspada, artinya selalu siap-siaga menghadapi tantangan untuk memanfaatkan setiap peluang dan perubahan.
Ia adalah “burung-burung elang” yang kelaparan data, kelaparan informasi ilmu pengetahuan dan keterampilan teknologi. Ia adalah amsal manusia yang di periode usia kemahasiswaannya dimanfaatkan membangun dirinya, membentuk sikap kokoh berwatak cerdas, yang mencari untuk menemukan identitas diri, untuk berharga dan dihargai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasainya.
Seorang perempuan pengungsi peperangan berkata, “Kalian telah membunuh suamiku, membunuh putra-putraku, mengambil hartaku, dan mengambil negaraku; tetapi kalian tak akan pernah bisa mengambil apa yang telah saya pelajari”.
II. EVALUASI DIRI
Idealnya mahasiswa, sejak dini berusaha menyadari diri, tau diri – mengenal diri – adalah memahami diri; yaitu memahami segenap potensi kemampuan, kekuatan atau kapasitas dan serta dengan memahami kelemahan diri yang dimilikinya.
Tujuannya ialah, sebagai bahan (data base) untuk analisis kapasitas kekuatan dan kerentanan (kelemahan) sebagai data base dalam usaha mengakses segenap potensi kapasitas (input) dan meminimalisasi potensi kerentanan dan hambatan; yaitu:
Kapasitas apa saja yang dimiliki yang harus ditingkatkan atau diberdayakan?
Unsur-unsur kerentanan apa saja yang harus dikurangi atau ditinggalkan?
Dengan strategi (langkah/cara/metode/teknik) apa dan bagai-mana kapasitas diri ditingkatkan?
Dengan strategi apa dan bagaimana unsur-unsur kerentanan diri diminimalkan, ditiadakan atau ditinggalkan?
Pemberdayaan diri mahasiswa dapat diartikan sebagai proses di mana mahasiswa sendiri secara pribadi berusaha mengubah keadaan dari situasi kerentanan tinggi/kapasitas rendah ke arah keadaan di mana kerentanan dikurangi dan kapasitas ditingkatkan. Pemberdayaan diri sendiri itu berwujud rumusan program-program kerja dengan perlakuan-perlakuan yang realistis disengaja. Hal ini dapat terealisir dengan dukungan semangat dan motivasi diri yang tinggi dan lestari.
1. EVALUASI KERENTANAN
Syarat evaluasi yang benar adalah obyektif, sistematis dan cermat. Kerentanan mahasiswa dapat dipahami dari tiga kategori, yaitu: Fisik/Material, Sosial/Kelem-bagaan dan Sikap/Motivasi. Catatan: Ancaman + Kerentanan = Bencana.
a. Kerentanan Fisik / Material
Sebagai contoh, mahasiswa yang tidak memiliki banyak sumberdaya fisik/ material biasanya lebih banyak menderita kegagalan jika ada hambatan yang dihadapi dibandingkan mahasiswa dari keluarga kaya.
Mahasiswa miskin seringkali tinggal di pondokan yang marginal (tidak layak huni), tidak mempunyai sumber dana/biaya yang tetap, sementara kesehatannya kurang baik, gizi dan menu makanan tidak teratur.
Faktor ini membuatnya lebih rentan terhadap hambatan dan tantangan sehingga lebih sulit untuk bertahan dan pulih kembali dari suatu musibah apabila dibandingkan dengan mahasiswa yang sumberdaya ekonomi orang tuanya lebih baik. Sebaliknya, tidak kurang pula mahasiswa yang justru gagal oleh karena memperoleh kelimpahan harta dan material dari orang tuanya.
b. Kerentanan Sosial / Kelembagaan
Pengalaman juga menunjukkan bahwa mahasiswa yang terpinggirkan secara sosial atau kelompok belajar akan lebih rentan terhadap tantangan apabila dibandingkan dengan mahasiswa yang terorganisir dan memiliki komitmen tinggi satu sama lain, sehingga lebih bisa menghadapi tantangan atau hambatan.
Kelemahan sosial dan/atau kelembagaan juga dapat menyebabkan hambatan dalam proses belajarnya. Sebagai contoh, pemisahan sosial dari kelompok kemahasiswaannya dapat menimbulkan konflik atau perang dalam kampus; yang akhirnya dikena sanksi schorsing atau di DO (drop out).
c. Kerentanan Sikap / Motivasi
Akhirnya, pengalaman menunjukkan bahwa orang yang percaya dirinya rendah terhadap kemampuan untuk melakukan perubahan atau merasa dikalahkan oleh kejadian-kejadian yang berada di luar batas kemampuannya untuk mempengaruhi atau mengontrol akan mengalami dampak buruk yang lebih berat apabila dibanding dengan orang yang memiliki kesadaran atas kemampuannya untuk mengadakan perubahan-perubahan yang diinginkan.
2. EVALUASI KAPASITAS
Kapasitas mahasiswa juga dapat dipahami dari ketiga sisi ini: Fisik/Material, Sosial/ Kelembagaan dan Sikap/Motivasi. Catatan: ancaman tidak akan menjadi bencana bila terdapat kapasitas yang memadai.
a. Kapasitas Fisik / Material
Sekalipun orang tua miskin dan terkena “badai” yang menghancurkan sumber-sumber daya ekonomi atau sumber biaya hidup dan biaya sekolah, tetap saja ada yang dapat diselamatkan. Misalkan, stok pangan, tanaman atau ternak yang masih dapat dimanfaatkan, alat-alat pertanian yang masih dapat digunakan, dll.
Selain itu, mahasiswa sebagai tenaga kerja yang dapat dimanfaatkan untuk mencari nafkah untuk sementara waktu. Mahasiswa sendiri masih punya alat-alat perlengkapan belajar, termasuk fasilitas dan infrastruktur yang disediakan oleh kampus.
b. Kapasitas Sosial / Kelembagaan
Dalam kebanyakan musibah atau bencana, kerugian besar ada pada lingkup fisik/material. Akan tetapi, sekalipun sumber kekayaan fisik telah hancur, mahasiswa masih memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan, dan masih punya teman/sahabat, keluarga dan organisasi-organisasi kemahasiswaan.
Mereka memiliki “pemimpin” (tokoh) dan sistem untuk mengambil keputusan. Mereka juga memiliki ikatan suku atau adat, atau ikatan dengan organisasi agama seperti mesjid atau gereja.
c. Kapasitas Sikap / Motivasi
Mahasiswa juga tetap memiliki sikap percaya diri yang positif dan motivasi yang kuat untuk tetap bertahan serta keberanian dan keinginan untuk saling memberi, melindungi dan menolong dalam berbagai situasi, kritis sekalipun. Faktor-faktor ini juga merupakan kapasitas yang menjadi basis untuk pemberdayaan diri mahasiswa itu sendiri, sama dengan sumberdaya fisik, ekonomi dan lain-lain.
Contoh tabel di bawah ini menunjukkan cara untuk mengelola potensi-potensi diri mengenai kapasitas dan kerentanan. Kondisi di mana tingkat kerentanannya tinggi dan kapasitasnya rendah, maka mahasiswa akan lebih mudah terkena musibah kegagalan. Ketika kapasitas tinggi dan kerentanan rendah, maka mahasiswa memiliki unsur “kekebalan” terhadap hambatan dan tantangan.
Standar penilaian untuk disebut lemah (rentan) adalah segala jenis potensi yang ada pada diri yang dapat diprediksi akan menghambat proses tercapainya tujuan; seperti tingkat pengetahuan, sikap, kebiasaan, dan materil. Jujur pada diri sendiri, maka kekurangan-kekurangan apa saja yang dimiliki yang dinilai sebagai kelemahan potensial disadari dan diterima, untuk kemudian dirubah melalui motivasi, sugesti diri dan jiwa besar.
Sebaiknya, untuk membatasi bencana kegagalan beserta dampaknya dilakukan dengan mendukung pengembangan kapasitas dan mengurangi kerentanan; maka semua upaya pemberdayaan seharusnya memiliki unsur pencegahan dan kesiap-siagaan.
Mengamankan program (security) adalah upaya efisiensi dan mengefektifkan segala kegiatan serta dengan mencegah, menghindar dan/atau sekali mendobrak hambatan yang mungkin bisa terjadi. Katakan “YA” bila seharusnya “YA”; atau katakan “TIDAK” bila seharusnya “TIDAK”. Standarnya ialah, efisiensi dan efektivitas segenap sumberdaya (input material, kerja dan waktu) sepanjang jalur proses menuju sasaran/target/tujuan (goal).
Framework ini kiranya berguna sebagai alat untuk perencanaan strategis atau untuk menilai dampak perlakuan-perlakuan sebagai upaya pemberdayaan diri pribadi mahasiswa sendiri.
3. Strategi
Menyusun rancangan pemberdayaan; mengefektifkan kekuatan, mengatasi atau meminimisasi kerentanan/kelemahan dengan merumuskan strategi, yaitu rumusan rancangan untuk tindakan realis; merubah kelemahan menjadi kekuatan, dengan urutan-urutan langkah prioritas yang jelas-tegas.
Memanipulasi tantangan menjadi kekuatan diri dan siap merebut peluang – karena “peluang yang sama tak akan pernah hadir dua kali” – adalah hakekat kecerdasan yang harus dilatih (dibiasakan) dan dimiliki oleh mahasiswa secara pribadi. Matriks berikut (Tabel 2 dan 3), kiranya dapat membantu merumuskan hal tersebut.
Realistis artinya, langkah-langkah peng-ubah-an itu dimulai dari yang sederhana, dari yang kecil-kecil; sederhana tetapi nyata; dimulai dari apa yang bisa dilakukan; “sekarang!” dalam kekinian detik ini, jam ini, hari ini. Mengatur langkah yang sistematis (strategis) artinya, kejelian melihat dan memilih variabel (faktor peubah) untuk di-input ke dalam pola-pola tindakan dan perlakuan yang bernilai produktif.
Jika tujuan telah ditetapkan dan strategi telah dirumuskan, maka langkah selanjutnya adalah membangun semangat dengan cara memotivasi diri untuk melaksanakan program-program strategis ke arah tujuan. Sikap percaya diri dibangun dengan senantiasa mensugesti diri.
Salah satu contoh sugesti diri; setiap kali teringat akan tujuan, maka nafas diatur, perasaan ditenangkan lalu kedua tangan dikepal dan digoyangkan/digetarkan sambil mengucapkan: “Aku yang terbaik !”; “Aku mampu !”; “Aku bisa – Aku bisa !”, berkali-kali, minimal dua kali dalam seminggu. Dan bobot sugesti tertinggi adalah keteguhan agama.
Jadwal yang telah disusun seharusnya diikuti (disiplin pribadi), dilaksanakan dengan tepat, efektif dan efisien. Program-program yang telah dirumuskan
diamankan dalam pelaksanaan. Segala kemungkinan yang bisa menghambat program dihindari, atau dikurangi, ditinggalkan atau sekali didobrak. Kebiasaan-kebiasaan buruk yang dapat mengganggu pelaksanaan program di tinggalkan atau dikurangi seminimal mungkin.
Lingkungan sosial atau lingkungan pergaulan yang berpotensi merusak program ditinggalkan. Sikap tahu batas dan ambang batas harus dicermati. Sementara kebiasaan-kebiasaan baik, dan lingkungan pergaulan yang berpotensi mendukung dipelihara dan ditingkatkan. Jadilah “pemimpin” yang dinamis serta mampu merubah sesuatu kondisi ke arah yang terbaik.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan program akan menjadi bagian yang tidak boleh diabaikan; karena amat sangat penting. Pentingnya untuk “waspada” sebagai alat kontrol mengenai tingkat keberhasilan dan hambatan.
Evaluasi dini (monitoring) berfungsi bagaikan rambu-rambu peringatan untuk mengambil keputusan-keputusan secara berkelanjutan. Item-item variabel “target” atau sasaran obyek tentu harus telah disusun. Sejauh mana item-item program telah terlaksana dan apa lagi yang belum dilaksanakan. Hambatan apa yang terjadi dan bagaimana mengatasinya.
Mahasiswa harus peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, baik di lingkungan berskala kecil (kelas, kelompok belajar, tempat kos, dll.) maupun di lingkungan dengan skala besar (kampus, regional, nasional, global).
Kemampuan-kemampuan menyesuaikan diri – termasuk program-program yang telah dirumuskan – secara positif akan menjadi modal yang besar. “Siapa yang mampu meniti gelombang, maka dialah yang akan selamat sampai ke pantai”. Kata kuncinya adalah kelestarian dan keseimbangan sikap, fisik dan mental; dalam konteks ini disebut kesinambungan proses produksi yang adalah “perilaku belajar” itu sendiri; konsisten dan berkelanjutan.
IV. MEMBANGUN SIKAP DENGAN MENYUSUN STRATEGI
Akan selalu ada banyak masalah yang dirasakan sebagai faktor hambatan; tetapi juga akan ada banyak kemungkinan-kemungkinan (potensi) sumberdaya yang bisa diakses ke dalam langkah-langkah penyelesaian strategis.
Antara kelangkaan sumberdaya dan pilihan-pilihan memerlukan ketenangan berpikir untuk menentukan pengambilan keputusan. Inilah nilai kecerdasan seseorang; yaitu kemampuan memilih (tanggapan, sikap dan perilaku) yang terbaik dalam mengatasi setiap problem yang dihadapi. Sikap seperti ini disebut juga dengan sikap positif praktis (realistis).
Makna sikap dalam konteks ini adalah merumuskan “niat” setelah memahami atau menyadari keberadaan (realitas) problem yang sedang dihadapi. Membangun sikap positif bermakna “bangkit” menyusun (rekonstruksi) rumusan niat dan langkah-langkah strategis penyelesaian masalah secara prediktif ke arah tujuan melalui target-target yang dipilih menurut skala prioritas yang diprediksikan akan sanggup dilaksanakan lebih dahulu secara berkesinambungan/berkelanjutan.
Kemampuan memilih adalah kecerdasan; yaitu kemampuan mengakses unsur-unsur sumberdaya yang langka, sekecil apapun adanya. Mengakses di sini, dalam konteks ini, diartikan sebagai usaha memasukkan faktor-faktor (input) sumberdaya – sumberdaya materil dan/atau sumberdaya energi – yang terpilih ke dalam pola-pola proses dan sistem produksi “perilaku belajar” secara efisien dan efektif (berdayaguna dan berhasilguna). Skema berikut ini kiranya dapat membantu memahami secara utuh langkah-langkah dalam proses dan sistem yang telah dijelaskan di atas.
Rumusan niat dan langkah-langkah strategis merupakan urutan-urutan langkah yang dipilih sebagai keputusan untuk dilaksanakan secara sederhana dan sistematis.
Ibarat membangun sebuah rumah, dimulai dengan “niat” (= gambar rencana konstruksi); maka pekerjaan akan dimulai dari membuat fondasi, membuat rangka besi beton untuk slop, lalu menyusun dinding dan seterusnya sampai tahapan finisingnya, Sebuah rumah yang ideal telah tergambar dalam benak; inilah tujuan akhir (goal).
Untuk tiba pada tahapan akhir pekerjaan membangun, tentu ada bagian-bagian dari pekerjaan besar tersebut. Membuat fondasi adalah target awal (pertama), lalu memasang dinding sebagai target kedua, memasang koseng pintu dan jendela merupakan target ketiga, mema-
sang rangka kap dan mengatapinya adalah target keempat, target terakhir adalah finising, yaitu memasang daun pintu, daun jendela, tegel lantai dan pengecatan serta pagar. Demikian langkah-langkah strategis itu dirumuskan dan disusun secara berurut; dari mana dimulai dan sampai di mana akan diakhiri.
Rumusan langkah-langkah strategis itu harus dapat terukur (tidak ngambang), yaitu tentang apa dan bagaimana rumusan kerja yang akan dilakukan; tentunya adalah hal kerja yang diprediksi (diramalkan, diprakirakan) dapat dilakukan menurut kesanggupan, waktu dan situasinya.
Di sini langkah-langkah yang akan ditempuh itu dibuat dalam bentuk kalimat-kalimat pendek, kalimat-kalimat efektif; mudah dibaca – mudah dimengerti. Tiap kalimat memuat hanya satu subyek dan satu obyek kalimat, sehingga pengertiannya tidak “mendua” atau tidak bermakna lain.
Contoh. Katakanlah tujuan akhir mahasiswa adalah (gelar) kesarjanaan. Untuk mencapai tujuan akhir (gelar) itu ditempuh melalui rumusan-rumusan dan pelaksanaan target (giat kuliah, dsb.) yaitu dengan mengumpul atau menyelesaikan sejumlah SKS (Satuan Kredit Semester).
Kredit adalah sejumlah utang yang harus dibayar (diselesaikan) dengan jalan mengikuti kegiatan perkuliahan sampai dinyatakan lulus. Rumusan target di sini dinyatakan dengan jumlah SKS (kuantitatif) yang akan dikerjakan/diselesaikan dalam setiap semester (target semester). Secara kualitatif dapat diukur (terukur} dengan nilai/angka kelulusan dan bobot yang disebut IPK (indeks prestasi kumulatif).
Tujuan akhir (goal) diukur dengan lunasnya seluruh SKS dalam semua semester dan bobotnya dnyatakan dengan satuan ukuran PK (prestasi kumulatif). Atas dasar itu, mahasiswa diberi “kwitansi lunas” berupa keputusan yudisium lulus dan menerima ijazah. Jadi, semua langkah-langkah strategis yang akan ditempuh harus dapat diukur atau terukur, jelas sentuhannya (interkoneksi, interelasi fungsi) terhadap tujuan akhir (goal).
Untuk mencapai tiap target – yang disebut semester – itu, maka rangkaian kurikulum dipenggal-penggal dan diterjemahkan ke dalam KRS (Kartu Rencana Studi) per semester; adalah rumusan target dalam bentuk urutan-urutan mata kuliah yang harus/akan dikerjakan sampai dilulusi.
Angka atau nilai kelulusan tiap mata kuliah, itulah hasil kerja monitoring dan evaluasi dan diinformasikan kepada mahasiswa; yang dalam hal ini dilakukan oleh masing-masing dosen yang bersangkutan; karena dosen adalah “manajer” perkuliahan.
Adapun yang dimaksud dengan proses pengelolaan input-input material, energi, waktu dan sekuritas dalam skema di atas (Gbr. 1) akan diterjemahkan sebagai segala rangkaian kegiatan belajar, belajar sendiri, kuliah di kampus, praktek laboratorium, praktek lapangan, diskusi, seminar, ujian, dan lain-lain sebagainya.
Semua itu dilakukan dengan prinsip efisien (berdayaguna) dan efektif (berhasilguna). Di sini, mahasiswa dalam periode usia belajarnya dituntut harus mampu melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan caranya sendiri, sesuai kapasitas yang dimilikinya, yaitu dengan mengakses segala sumberdaya yang dimilikinya ke dalam proses belajar (“perilaku belajar”).
Input sumberdaya material dan sumberdaya energi dalam diagram tergambar di atas merupakan terjemahan dari matriks analisis kapasitas dan kerentanan serta strategi perlakuan sebagaimana tabel-tabel yang telah dikemukakan di depan (Tabel 1; 2; dan 3).
Semua unsur sumberdaya material dan sumberdaya energi (input) diramu sebagai modal kekuatan dan diproses dalam suatu sistem rangkaian kerja nyata yang cerdas (efektif dan efisien).
Namun tidak sesederhana itu, kemungkinan-kemungkinan adanya hambatan tentu akan muncul dalam perjalanan waktu dan situasi. Garis demarkasi dengan garis batas dan ambang batas merupakan garis kewaspadaan dan pengamanan program (strategi securty) sebagai tindakan-tindakan nyata dari realisasi monitoring dan evaluasi program; khususnya dalam meminimalkan atau menghilangkan “kerentanan”.
Wujudnya adalah usaha mengurangi, mencegah, menghindari, meninggalkan atau sekalian melabrak realitas hambatan yang akan/sedang dihadapi.
Bila target telah dirumuskan, maka sejak dini kemungkinan-kemungkinan hambatan itu sudah dapat diprediksi (diramalkan, prakiraan) dan dirumuskan. Jika suatu wujud hambatan dimaksud benar-benar muncul, lalu tindakan apa yang direncanakan untuk mengatasinya? Di sini, sejak dini sudah disiapkan atau dirumuskan pula kemungkinan-kemungkinan teknik-teknik strategi penyelesaiannya.
Jika kelak “itu” yang terjadi (prediksi hambatan), maka “ini” cara mengatasinya (rancangan tindakan strategis)”.
V. MEMBANGUN KELOMPOK DAN KONDISI LINGKUNGAN BELAJAR
Mahasiswa tidak dapat selamanya sanggup menyelesaikan sendiri tugas-tugas dan hambatan-hambatan belajarnya. Tiap-tiap pribadi mahasiswa mempunyai unsur kelebihan (kapasitas) juga unsur kelemahan (kerentanan).
Perbedaan-perbedaan ini tidak harus membawa mahasiswa berjalan sendiri-sendiri dengan programnya sendiri-sendiri pula. Mahasiswa, apalagi yang berada dalam satu bidang studi (program, jurusan, fakultas, universitas) memiliki satu kesamaan nilai-nilai sosial yang mengikat dalam kelompok sosial kampusnya.
Atas dasar itu, maka perbedaan-perbedaan berupa kelebihan dan kekurangan di antara mahasiswa dapat memungkinkan untuk dibangun kelompok-kelompok belajar untuk saling membantu, mendukung, dan saling memotivasi. Membangun kelompok belajar yang harmonis dan dinamis dari kebedaan-kebedaan tersebut bagaikan konfigurasi suatu tatanan bunga (kembang) dalam satu pot dengan warna-warni bunga yang membentuknya menjadi indah, berbobot dan bernilai.
Di dalam kelompok belajar dirumuskan tujuan-tujuan dan strategi-strategi kelompok sebagaimana telah diuraikan di atas. Pembagian tugas, “siapa kerja apa”, “mengapa harus kerja bagaimana”, dirumuskan dalam kelompoknya untuk disepakati dan ditaati dalam pelaksanaan. Komunikasi dan informasi dijalin bagaikan satu sistem tubuh (“organ”-isasi).
Kebersamaan adalah kekuatan yang akan menjadi modal bagi tercapainya tujuan (visi dan misi) yang sama, sesuai dengan kehadiran dan keberadaan mahasiswa di kampusnya; untuk apa dan apa yang “kau” cari di kampus. Kerja sama untuk tujuan masing-masing adalah saling memanfaatkan juga saling dimanfaatkan, saling memberi dan saling menerima (take and give).
Akan tetapi melaksanakan tugas kelompok juga bermakna untuk tercapainya tujuan masing-masing; meskipun pelaksanaannya dikerjakan rame-rame. Artinya, ada kepentingan masing-masing, tetapi kepentingan itu hanya akan dapat terwujud jika dilakukan bersama.
Di kampus ada badan organisasi BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) universitas, fakultas atau jurusan, yang lebih kepada penyaluran minat kepe-mimpinan struktural; yang karena itu relatif terbatas dan terikat dengan struktur lembaga universitas atau di bawahnya.
Keanggotaannya pun terbatas hanya kepada utusan-utusan yang terpilih untuk jadi pengurus. Ada UKM-UKM (Unit Kegiatan ke-Mahasiswa-an), yang keanggotaannya tidak terbatas. Siapapun mahasiswa dalam lingkungan universitas dapat diterima sebagai anggota.
Kegiatan ekstra kurikuler UKM lebih kepada penyaluran minat/hobi daripada mendukung kegiatan kurikuler atau kuliah-kuliah formal. Akan tetapi dalam kegiatan UKM itu sendiri, secara tidak langsung, terdapat hal-hal yang bisa mendukung kemampuan belajar formal. Karena itu, mahasiswa dapat memilih, mana diantara UKM-UKM yang bisa mendukung kemampuan belajar formalnya, sesuai jurusan (bidang studi) dan minat/hobinya.
Ada pula UKM-UKM non formal yang lebih kecil yang dibentuk atas dasar minat/hobi dalam lingkungan bidang studi yang sama. Kelompok belajar seperti ini dipandang lebih efektif mendukung kegiatan belajar formalnya; karena kegiatan-kegiatan ekstra kurikulernya dirancang untuk lebih mendekati dan mendukung kegiatan kurikuler formal.
Selain sisi-sisi positif dari ikut aktif dalam organisasi mahasiswa kampus, seperti melatih diri dalam praktek manajemen dan kepemimpinan, meluaskan wawasan berpikir dan pengalaman berorganisasi; namun ada juga hal-hal dari sisi negatifnya.
Hal sisi negatif yang dimaksud adalah, tidak kurang di antara aktivis kampus ini yang semakin jauh dari kegiatan belajar menurut kurikulum formal jurusannya. Tidak kurang pula para aktivis ini larut/hanyut dalam dalam keasyikan aktivitas organisasi kampusnya untuk kemudian terancam DO (drop-out).
Selain itu, adalah kesalahan besar jika memilih masuk kelompok-kelompok tertentu dalam pergaulan kampus yang akan membawa mahasiswa larut dalam perbuatan negatif (menyimpang) seperti, misalnya, kelompok peminum minuman keras, kelompok pengacau kampus (perkelahian antar mahasiswa), pemakai/pengedar ekstasi, pelecehan seksual dan lain-lain semacam-nya.
Ikut bergabung dalam organisasi mahasiswa kampus lebih banyak memiliki sisi positif daripada sisi negatifnya, sepanjang ia cerdas. Mahasiswa yang “cerdas” akan memainkan perannya, mengendalikan dirinya untuk tidak larut ke dalam sisi-sisi negatif, sisi-sisi yang bernilai akan menambah “kerentanan” dirinya.
Mahasiswa cerdas adalah mahasiswa yang percaya diri dalam berorganisasi, justru sisi positif itulah yang dikedepankan, digalang, diakses kapasitasnya untuk membangun lingkungan pergaulan organisasi kampus yang kondusif. Di sini mahasiswa yang cerdas akan membangun dirinya dengan motivasi dan komitmen; kesiapan untuk kelak menjadi orang-orang “elitnya” masyarakat luar kampus, orang yang “bermakna” ketika dia kelak telah “alumni”.
Mahasiswa yang cerdas akan senantiasa mengakses dan meningkatkan kapasitas-kapasitasnya dan meminimalkan kerentanannya melalui kegiatan organisasi kampus yang dipilihnya. Prinsip sekuriti (pengamanan) pada program-program perilaku belajarnya dalam mencapai tujuan, akan ditegakkan.
Sebagaimana seorang “pelaut” tidak perlu takut kepada gelombang karena gelombang adalah bagian dari perjalanan hidupnya, “gelombang” sebagai tantangan adalah bagian dari perjuangan belajarnya; gelombang adalah seninya hidup; maka belajar menikmati gelombang adalah bagian dari kecerdasan. ”Siapa yang pandai meniti gelombang, dialah yang selamat sampai ke pantai”.
VI. PENUTUP DAN HARAPAN
Mahasiswa adalah komponen dalam investasi sumberdaya manusia. Untuk itu, mahasiswa dituntut kemandirian dalam belajarnya, tegasnya berusaha meningkatkan kemampuan memenej perilaku belajarnya. Mahasiswa dituntut mengefisienkan dan mengefektifkan kegiatan belajarnya.
Di tengah-tengah perjuangan mengisi periode usia sebagai mahasiswa, yang adalah usia peluang belajar sepenuhnya, ada terdapat sejumlah potensi kapasitas dan potensi kerentanan yang dimilikinya. Kecerdasan perilaku belajar adalah kemampuan manajerial mengakses potensi-potensi yang dimiliki dengan cara meminimalkan kerentanan dan mengoptimalkan kapasitas yang dimiliki.
Sementara itu, program-program yang telah dirumuskan tidak cukup dengan hanya melaksanakannya; akan tetapi juga perlu diamankan (sekuriti program) dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian secara dinamis terhadap segala kemungkinan perubahan situasi dan tantangan.
Pengamanan program juga bermakna komitmen yang konsisten dengan tujuan akhir, yang berarti giat berusaha dalam alur belajar yang sistematis secara efisien dan efektif. Selaku pelaksana program, mahasiswa dituntut berusaha menghindarkan diri dari hal-hal lingkungan dan situasi yang memungkinkan dapat menghambat tercapainya tujuan akhir (goal).
Makna kata “maha” dan “siswa” bermuatan kemampuan total merancang dan merealisasikan (implentasi) program-program kerja belajarnya secara mandiri dan bertanggung-jawab.
Mandiri berarti pada dirinya melekat fungsi dan peranan managerial (kepemimpinan) sekaligus pekerja (bawahan/pelaksana); dan bertanggungjawab kepada dirinya sendiri, bertanggungjawab kepada masyarakat dari mana ia memperoleh kesempatan dan dana belajar, dari mana ia memperoleh ilmu pengetahuan; dan kepada siapa kelak ilmunya itu diamalkan, dan bertanggungjawab kepada nilai-nilai kebenaran ilmu itu sendiri.
Belajar geografi tidak cukup dengan hanya belajar di ruang tertutup (in-door), seperti kelas, perpustakaan, laboratorium atau pun belajar sendiri di rumah. Bentang alam nyata dan bentang budaya juga adalah tempat belajar (out-door) secara langsung di dunia empiris..
Kemajuan teknologi informasi juga telah menawarkan peluang belajar geografi di dunia maya; misalnya di internet. Untuk itu semua, dibutuhkan semangat dan motivasi yang tinggi. Kebutuhan belajar adalah kelaparan ilmu pengetahuan dan keterampilan teknologi.
Lembaga-lembaga kemahasiswaan (HMJ, BEMJ, IMAHAGI, KONTUR dan kelompok minat lainnya) “WAJIB” berperan aktif menggalang anggota-anggotanya dalam bentuk pelatihan-pelatihan manajemen kerja kegeografian dengan membangun sikap/motivasi ke arah pembentukan mahasiswa Geografi yang aktif-kreatif. Itulah “Elang-elang Laut Geografi” yang lapar data – lapar Iptek – menjelajah di bentang alam nyata dan di bentang alam maya.
Mahasiswa geografi yang ideal adalah mahasiswa yang bagaikan burung elang laut dengan kekuatan sayap dan paruh serta kaki bercakar kokoh, mampu terbang tinggi melayang (cita-cita) atau merendah, menukik, menyerbu dan menangkap mangsa (realita belajar yang konsisten pada tujuan akhir/goal). Tidak cengeng seperti ayam broiler (bermotivasi/semangat tinggi).
Tidak pula gegabah (prinsip waspada/sekuritas). Matanya jeli, pendengaran dan penci-umannya tajam (jelas target dan prioritas; evaluasi/monitoring). Tanggap dan waspada, artinya selalu siap-siaga mengha-dapi tantangan untuk memanfaat-kan setiap peluang dan perubahan. Ia adalah “burung-burung elang Rajawali” yang kelaparan data, kelaparan informasi ilmu pengetahuan dan keterampilan teknologi.
“Sesungguhnya kehadiran di panggung dunia ini periodenya singkat; yang prinsip adalah membangun “kebermaknaan hidup” yang dinikmati, sudah itu mati”. Maka, tanyalah kalbumu; untuk apa kau hadir “di sini”?
Makassar, Januari 2005.
Abd. Hallaf Hanafie Prasad.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H