Dengan kata lain, sistem demokrasi yang salah satunya diwujudkan dalam pemilu berkala sebenarnya dimaksudkan untuk membuat masyarakat lebih berdaulat dalam menentukan figur yang mereka anggap kompeten untuk memperbaiki situasi nasional.
Pada tataran elit, sistem demokrasi juga membuka peluang hadirnya elit-elit politik baru di berbagai level kekuasaan. Distribusi kekuasaan tersebar ke spektrum yang lebih luas, tidak hanya terpusat pada satu orang sebagai patron utamanya.
Sayangnya, demokrasi elektoral Indonesia juga menghasilkan kondisi paradoks. Pemilu yang membawa semangat kompetisi, keterbukaan, kejujuran, transparansi, dan akuntabilitas belum sepenuhnya berdampak pada tata kelola pemerintahan berbasis meritokrasi (berdasarkan prestasi dan kompetensi).
Praktik politik kekerabatan yang kemudian membentuk dinasti justru tumbuh dengan subur. Politik uang sebagai benih korupsi juga menjadi intens dalam setiap perhelatan pemilu.
Hal yang lebih disayangkan, partai politik yang seharusnya menjadi institusi penggerak demokrasi kini justru turut berkontribusi pada anomali tersebut. Partai terjebak dalam budaya politik feodalisme, termasuk dalam dinasti politik, sehingga gagal menumbuhkan semangat egalitarian dalam tata kelola organisasinya.
- Pemilih sebagai penentu masa depan demokrasi
Terlepas dari segala kekurangannya, demokrasi Indonesia tentunya masih lebih baik dibandingkan negara-negara demokrasi baru yang mengalami pembalikan ke rezim otoriter. Konsolidasi demokrasi merupakan proses panjang. Memperkuat kesepakatan bersama terkait demokrasi sebagai aturan main politik kita menjadi hal mendesak.
Mengingat demokrasi menempatkan rakyat sebagai kerangka utama konseptualnya, kesadaran pemilih menjadi titik awal untuk mendorong penguatan demokrasi kita.
Mengharapkan elit politik tentunya lebih sulit karena persilangan kepentingan di antara mereka telah berakibat pada stagnasi dan penurunan kualitas demokrasi.
Sementara itu, partai politik memang memiliki posisi krusial dalam demokrasi Indonesia. Namun tanpa dukungan pemilih, jalan parpol menuju kekuasaan juga akan menghadapi hambatan serius berupa rendahnya legitimasi.
Pemilu 2024 menghadirkan komposisi pemilih muda yang jauh lebih besar dibandingkan pemilih usia tua.
Pergeseran generasi pemilih ini akan berdampak pada perubahan pola perilaku pemilih. Pemilih muda tentunya lebih rasional dalam memutuskan pilihan politik mengingat mereka menikmati pendidikan lebih tinggi, kecakapan memanfaatkan teknologi, akses informasi lebih beragam, serta berpartisipasi dalam perdebatan publik seputar wacana politik dan kebijakan di media sosial.