Mohon tunggu...
Zuni Sukandar
Zuni Sukandar Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru SLB

Lahir di Magelang, 20 Mei 1971, SD-SMP di kota yang sama, S-1 di Jogjakarta, saat ini mengajar di SLB Maarif Muntilan sebagai guru tunanetra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Hati yang Luka

12 April 2021   08:44 Diperbarui: 13 April 2021   22:30 1425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi hati yang terluka. (sumber: pixabay.com/TAMHSCPhotos)

Untuk yang kesekian kali Marno harus menanggung sakit hati. Lukanya makin menganga setelah beberapa kali sempat tertipu oleh kecantikan, kemolekan dan bujuk rayu,  kata indah,  gemulai perempuan yang didekatinya. Sebut saja, Sri, Arum, Sanah, Romlah, dan terakhir Mirna.

Mereka, rupanya dekat dengan Marno hanya ingin memiliki hartanya. Memang belum sampai ke taraf hubungan yang serius. Ketika Marno mengetahui bahwa perempuan-perempuan itu hanya memanfaatkan kelebihan hartanya, ia tersadar. Beberapa kali kencan, Marno harus berpikir ulang. Dia dipelorotin.

Marno lelaki tiga puluh tahun, berprofesi sebagai pedagang yang cukup sukses. Rumah, mobil, serta materi sudah ada di tangannya.

Pantas saja jika banyak perempuan mencoba mengambil hatinya. Matre? Saya kira hampir semua perempuan senang dengan harta, meski tidak semuanya begitu. Ada yang benar-benar suka pada Marno tanpa embel-embel matre di belakangnya.

Mirna perempuan berkulit putih, tinggi semampai, rambut lurus panjang, hidung mancung. Tampaknya Mirna lebih cocok jika menjadi bintang film. Tanpa make up saja sudah cantik, apalagi jika berdandan. Wuih, Marno menjadi klepek-klepek. Tak jemu mata memandangnya.

"Wahai bidadari, cantik nian dikau. Pasti sangat beruntung orang yang mendapatkanmu," rayu Marno selangit.

Terakhir Mirna diketahui telah menjalin hubungan asmara dengan lelaki lain selain Marno. Padahal Marno ingin sekali segera melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan.

Kecewa. Jelas, di depan mata Mirna berdua dengan lelaki tampan kedapatan sedang makan di sebuah restoran.

Mata Marno terlihat jalang ketika mendapatkan kenyataan ternyata kekasihnya mendua. Sakit hatinya. Tangannya dikepalkan kuat. Giginya gemeretak. Dadanya serasa terbelah. Denyut nadinya makin memburu. Marno merasa dilecehkan.

Sebagai lelaki dirinya merasa rendah di mata Mirna. Harga dirinya merasa terinjak-injak.

Dua hari yang lalu Mirna merayunya, akhirnya Marno menggelontorkan sejumlah dana. Tak tahunya hanya menipu.

"Mirna ... Mirna! Kau memang gila! Dasar perempuan, maunya harta terus."

Tak mau selalu tersakiti, Marno mencoba memupus harapan-harapannya untuk memiliki Mirna.

Biarlah kali ini hatinya dilepaskan. Setiap kali hatinya terluka, membesar dan makin membesar. Seperti ada nanah di dalamnya. Daripada menjangkiti organ yang lain, hatinya diambil.

Keesokan hari, Marno mencari kardus besar untuk membungkus hatinya yang menganga terluka. Dia akan ke kantor pos mengirimkan lewat paket bungkusan rapi hatinya. Biar Mirna tahu bahwa Marno begitu menyayanginya, sampai hatinya pun telah dibungkus dipaketkan untuknya.

"Mirna, seandainya kau tahu, begitu besar rasa cintaku padamu, hingga aku pun rela memberikan hatiku padamu."

"Kau tak pernah menyadari. Biarlah sebentar lagi paketku datang ke rumahmu."

Anehnya di kantor pos banyak pengunjung antrean yang membawa paketan mirip dengan milik Marno.

Iseng Marno bertanya pada salah satu pengunjung yang membawa kardus paketan cukup besar. Mungkin berupa TV 24 inch.

"Mbak, membawa paketan juga ya. TV ya Mbak?"

"Bukan, ini hati saya yang telah terluka sehingga menjadi sebesar TV. Saya akan paketkan pada calon suami yang tiba-tiba meninggalkan saya tanpa kabar berita. Saya akan paketkan ke rumahnya," jawab wanita itu panjang lebar.

"Wah sama dong Mbak. Saya juga akan memaketkan hati saya," jelas Marno ramah.

Antrean paket hari itu cukup mengular.

Tiga hari berlalu. Mirna di rumah sedang bersolek. Tiba-tiba ada seorang kurir menyampaikan paket.

"Selamat siang, Mbak?"

"Maaf, ini ada paket dari Pak Marno, tolong ditanda tangani," pinta petugas.

"Ya pak sebentar."

Mirna segera menemui petugas. Dububuhkannya tanda tangan. Petugas pun berlalu sambil mengucapkan salam.

Mirna merasa kaget karena tidak pernah pesan secara online atau membeli barang dengan system paket.

"Aduh apa ya ini kok besar sekali. Jangan-jangan bom."

"Lebih baik biar Mbok Nah yang membukanya."

"Mbok, tolong dibukakan paket ini," panggil Mirna pada pembantunya."

"Ya, Den sini saya bukakan."

"Hati-hati ya Mbok."

"Ya. Apa ya isinya kok bungkusnya bagus sekali."

Paket pun terbuka. Ada dua buah bungkusan plastic di dalamnya.

Kedua telinga Mirna ditutupi, takut seandainya isi paket sebuah bom.

Mbok Nah bertanya-tanya dalam hati.

Ini paket apa? Kok ada bau-baunya ya.

Sepucuk surat ada di dalam kerdus.

Mirna, sakit rasa hati saya ketika kulihat kau berdua dengan lelaki lain. Daripada hatiku lebih parah sakitnya, maka terimalah ini hatiku yang telah terluka. Aku siapkan makanan kesukaanmu di dalam paket ini. Gulai hati Marno!

Gulai paketan tadi setelah tiga hari mengeluarkan aroma busuk dan muncul hewan kecil dari dalam daging. Baunya ... huk, membuat kepala langsung pusing.

Mirna menjerit-jerit ketakutan. Mbok Nah segera membuang paket tadi.

"Gila banget kau Mas Marno. Teganya kau memberiku barang busuk."

Sumpah serapah Mirna pun makin menjadi. Dia merasa telah dilecehkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun