Pemungutan suara yang berulang tiga kali tersebut disebabkan karena Konstituante selalu menolak atas diberlakukannya UUD 1945. Sementara itu, peran pemerintah masih terbatas pada meresmikan dan mengumumkan UUD yang dirancang dan ditetapkan oleh Konstituante. Selain alasan Prosedural yang tidak Konstitusional, sejumlah alasan fundamental yang menyebabkan para anggota Konstituante menolak di berlakunya kembali UUD 1945 sebagai pengganti UUDS 1950. Ketiga, begitu banyak loopholes yang terdapat pada rumusan pasal-pasal UUD 1945.
Di sisi lain, dalam Dekrit Presiden ditegaskan yakni membubarkan Konstituante, Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia, dan akan segera dibentuk MPR yang anggotanya terdiri atas anggota DPR, utusan daerah dan golongan serta dibentuknya DPA Sementara. Saat Konstituante memasuki reses pada Juni 1959, tindakan partai-partai politik yang mempunyai alasan pragmatis dinilai kurang mempertimbangkan kejadian mendatang. Sebenarnya, sistem otoriter yang dilanggengkan melalui UUD 1945 bertentangan dengan partai politik sehingga merubuhkan demokrasi dan sistem pemerintahan konstitusional. Dengan demikian, mereka telah berkhianat terhadap sumpah sebagai anggota Konstituante yang seharusnya menyuarakan pemerintahan konstitusional.
Merujuk pandangan Buyung, Konstituante secara hukum kewarganegaraan tidak sah karena anggotanya terpilih tanpa pemilihan langsung oleh rakyat melalui pemilu yang demokratis. Hal ini dinilai sebagai kesalahan besar yang menjauhkan bangsa ini dari cita-cita terwujudnya negara konstitusional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H