"Kenapa tidak menulis tentang mistis saja, bukannya cerita seram asal Kalimantan selalu menjual?" ucapmu suatu ketika. Dan ia pun terlihat kesal dengan pertanyaan bodohmu tersebut.Â
"Pernyataanmu ini persis seperti bagaimana anggapan para kolonial--pihak barat itu memandang kita warga Indonesia dulu. Bangsa Timur yang terbelakang, barbar, tersesat, dan perlu diselamatkan. Oleh karena itu, mereka membenarkan penjajahan atas negeri kita."
"Dan warisan para penjajah itu tertanam di otak mereka warga Jakarta dan sekitarnya itu. Mereka selalu menganggap Kalimantan terbelakang, isinya cuma hutan, warganya tidak terdidik, dan cuma ngerti hal-hal gaib. Oleh karena itu mereka membenarkan tindakan mereka menguras sumber daya kita, dan menyisakan sangat sedikit untuk kita,"
"Novel yang akan kutulis ini adalah novel yang menggugat pandangan orang-orang luar Kalimantan yang sungguh Jakartaisme itu," ucap Kartika. Dan semenjak itu kau tidak berani lagi menyinggung hal tersebut.
Di antara kalian tidak ada yang berkata-kata, kesunyian di antara kalian berdua hanya diisi suara balian yang bemamang dan hentakan kakinya yang sedang menari. Kau sudah mengisahkan apa yang kau alami saat di perjalanan menuju ke aruh adat, persitiwa longsor dan juga sosok hitam itu.
Kartika terdiam, matanya seakan mengawang, ia berpikir. Lalu ia memegang tanganmu, "Ayo kita pulang ke basecamp!"
Meski kau sudah mengatakan bahwa jalanan sudah tertutup longsor, serta sebentar lagi pasti kawan-kawan kalian yang naik sepeda motor dan meninggalkan kalian akan kembali ke balai adat. Namun, Kartika tetap bersikeras ingin pulang ke basecamp.
Mau tak mau kau mengikuti keinginannya. Meski kau masih merasa takut dengan sosok hitam itu.
Jalan yang sama, tapi dengan nuansa yang berbeda. Bulan serta bintang di langit sana, yang semula tertutup mendung saat kau melintasinya tadi, kini bekerlipan. Cahaya bulan seakan tatapan mata kekasih, redup dan haru. Di bawahnya kalian berdua berjalan bersisian.
Semburat cahaya sentermu menembusi jalan yang gelap, sesekali kau arahkan cahayanya ke sisi jalan, kepada barisan pohon, sekadar memastikan bahwa sosok bayangan hitan itu tidak lagi mengikutimu.
Hingga sampailah kalian di jalan yang awalnya tertutup longsor, tempat kau terakhir kali melihat sosok hitam itu. Jalannya sudah bisa dijalani lagi, nampaknya sepeninggalmu jalan longsor itu sudah diperbaiki, dan bangkai sepeda motormu pun sudah diamankan.
Jalan yang sedikit menurun disertai tanah yang basah karena hujan, membuat kalian berdua berjalan dengan hati-hati. Sesekali kau harus memegangi tangan Kartika agar ia tidak terjatuh, saat itulah kau sadari tangannya terasa dingin.Â
Di bawah sinar rembulan yang memucat, wajah Kartika terlihat pias. Dengan erat ia memegangi tanganmu, ia terus saja memandangi wajahmu lekat-lekat. Dipandangi seperti itu membuat kau merona.
"Ini seperti bukan kau," ucapmu memecah sunyi. Sosok Kartika yang selalu ceria dan terkadang judes itu seakan tidak pernah ada, selain dalam ingatan. Dia yang berjalan bersisian denganmu seakan sosok lain yang beralih rupa.