Kau merasa dadamu seakan tertusuk oleh sebuah bilah dingin tak kasat mata yang menembusi jantung. Gigil dan ngilu yang mendesak. Kau terengah dan udara dingin, serta malam di Pegunungan Meratus itu memberangus dan membuatmu tersedak. Di malam berkabut selepas hujan itu kau terus saja berlari menuju desa di Pegunungan Meratus.
Kau tak ingin terlambat pastinya. Ada janji yang harus ditunaikan. Dan sebagai laki-laki, kau tahu bahwa harga dirimu terletak pada kemampuanmu menepati janji.Â
Perempuan itu ada di sana, menantimu.
Berlari menanjaki bukit di malam hari, selepas hujan pula, tentu tidak mudah. Udara yang semakin tipis, dingin menusuk dan menekan-nekan dada, serta langkah kaki yang tertahan lumpur, membuat jalanmu terasa berat menuju Balai Adat tempat Aruh Ganal diadakan alias Pesta Adat diadakan.
Satu-satunya sumber cahaya yang menemanimu menembus malam berkabut ini hanyalah sebuah senter. Yang ajaibnya tidak ikut hilang seperti handphone-mu, saat tiba-tiba saja tanah longsor menerjangmu yang sedang mengendarai sepeda motor ketika hujan turun malam itu.
Kau selamat meski terkubur lumpur dan patahan pohon yang luruh, handphone yang kau genggam sembari mengendarai sepeda motor pun terlempar entah ke mana?
Kau terbangun dengan dada yang sesak karena hantaman lumpur, serta tersadar bahwa sepeda motormu sudah tidak bisa terselamatkan lagi. Dan satu-satunya cara untuk mendapat pertolongan adalah pergi ke Balai Adat di desa atas bukit, tempat semua orang sedang merayakan pesta adat--pula Kartika yang sedang menunggumu di sana.
Setelah memastikan kau tidak mengalami luka yang mengkhawatirkan kecuali beberapa lecet di tangan dan kaki. Kau bergegas menuju ke desa yang berjarak sekitar satu kilometer lagi itu.
Tergesa--berjalan dengan langkah yang dipercepat sembari jalan semakin menanjak,membuat dadamu semakin terasa berat. Meski kau--kalian sudah dua minggu tinggal di pelataran pegunungan Meratus sebagai mahasiswa KKN, dan harusnya sudah beradaptasi dengan udara yang tipis serta dingin. Namun, tetap saja dadamu terasa berat.
Selain ngilu yang menggigit di dadamu dan coba kau tak acuhkan, ada hal lain yang berusaha kau abaikan kehadirannya. Ada sosok yang terus berkelebat di belakangmu, bayangan hitam yang entah bagaimana tiba-tiba mengikutimu.
Ketika kau berjalan, maka ia akan berjalan juga. Bunyi tapak kakimu yang menjejak dan tenggelam di lumpur sehabis hujan, akan berbalas bunyi tapak kakinya yang menjejak tanah di belakangmu.
Lalu ketika kau mulai berlari, ia juga mulai berlari. Suara derap kakimu berbalas langkah kakinya yang terus mengikutimu--ia seakan predator yang tengah memainkan mangsa, ia tidak pernah terlalu dekat, ia ada di dalam bayang-bayang kegelapan, kau tahu ia ada di sana, tapi kau tak tahu ia ada di mana.
Angin dingin menyentuh tengukmu, dan itu meyakinkanmu untuk berlari sekuat yang kau bisa, meski hanya cahaya senter di tangan, dan kegelapan malam serta hutan membungkusmu lekat-lekat, kau bergegas berusaha meninggalkan sosok tak kasat mata yang mengikutimu.
Berlari menanjaki bukit sehabis kecelakaan sepeda motor, membuat dadamu semakin sesak, kau mulai terengah-engah, larimu semakin lambat, dan akhirnya harus berjalan, hingga kemudian terhenti untuk istirahat sejenak. Sembari membenahi napasmu yang ngos-ngosan, kau mengumpulkan keberanianmu.
Lalu, dengan tiba-tiba kau menengok ke belakang, mencoba mendapati ia yang sedari tadi mengikutimu, sosok samar berupa bayang dan suara. Namun, nihil. Hanya ada kegelapan di belakangmu, kau arahkan sentermu ke semua sudut, tapi yang tertangkap cahayanya hanya pepohonan yang saling menjalin rapat.
"Tolong siapapun itu, saya minta maaf apabila kami melakukan kesalahan dan membuat para datu-datu tidak berkenan, jadi saya mohon untuk berhenti mengganggu saya!" teriakmu kepada kegelapan, tanah berlumpur, pepohonan, dan segala yang tak tertangkap mata di Pegunungan Meratus.
Semuanya terasa hening, sesekali suara hewan malam terdengar, yang terkadang seperti jeritan. Lalu belai tiupan angin dingin itu lagi-lagi menyentuh bagian belakang lehermu. Dan mau tidak mau, tengukmu merinding.
Kau dengan lirih meminta maaf, meski tidak ada siapapun di hadapanmu atau kau tahu apa kesalahanmu.
Ketika kau ngebut dengan sepeda motormu menuju Aruh Adat di kaki pegunungan Meratus, kau sudah merasa diikuti oleh sosok tak kasat mata itu, meski hanya berupa kelebatan-kelebatan di kaca spion. Kau tahu kau tidak sendiri di jalan yang sunyi dan gelap itu. Lalu, puncaknya adalah suara menggelegar seakan guntur, tapi tak ada kilatan petir itu. Tahu-tahu saja sisi bukit itu runtuh menerjangmu.
Mungkin saja kau atau kalian memang berbuat salah pikirmu, sehingga para datu atau leluhur dan roh-roh yang mendiami Pegunungan Meratus menjadi murka. Dan kelebatan bayangan serta longsor itu untuk menegur kalian.
Bisa saja kalian dianggap tidak sopan atau ada adat yang tak sengaja kalian langgar. Saat dikirim pihak kampus ke Meratus sini, kalian sebenarnya sudah diwanti-wanti untuk berhati-hati, dan harus menjaga sopan santun.
Ada sepuluh orang mahasiswa KKN yang ditugaskan di desa seputaran Meratus ini termasuk dirimu. Lima laki-laki dan lima perempuan. Dan barangkali memang ada salah satu dari kalian yang melanggar adat, mungkin si Rudi yang suka bicara kasar, atau Ferdi yang sering menggoda para gadis Dayak di Meratus pikirmu.
Yap, ini pasti gara-gara si Ferdi, ia memang agak keterlaluan, bahkan ia sudah diingatkan oleh pambakal alias kepala desa agar tidak macam-macam.
Kemudian kesadaran itu datang, atau sebenarnya ini adalah kesalahanmu? Toh ... bukankah hanya kau yang terkena teror.
Kau merinding, angin dingin dari puncak Meratus itu memagutmu, pegunungan yang berbaris memanjang dari Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, hingga Kalimantan Timur itu.
Barangkali ini memang salahmu, dua minggu ini kau selalu berusaha untuk selalu dekat dengan Kartika, perempuan yang diam-diam kau sukai itu. Puncaknya kemarin di air terjun Haratai, ketika kalian hanya berdua saja, dan kau ingin menyatakan perasaanmu tapi gagal, karena akhirnya ditegur warga lokal di sana untuk segera pulang.
Jangan-jangan memang ini salahmu? Jangan-jangan Kartika juga akan mendapat teror.
Setelah lelahmu memudar, setelah beristirahat sejenak, serta tak mendapati sosok yang mengikutimu. Kau bergegas menuju ke Aruh Adat, bukan hanya sekadar untuk menepati janjimu dengan Kartika, tapi memperingatkannya.
Kau berlari sekuat tenaga menaiki bukit, meski ngilu di dadamu terasa ditusuk bilah es batu.
Lalu di bawah malam berkabut sehabis hujan, serta bulan yang terlambat muncul di atas sana. Di hadapanmu berdiri sosok itu, bayangan dengan sepasang mata merah saga.
**
Awalnya adalah janji--tentu saja. Kedua adalah kau ingin memanfaatkan momen Aruh alias pesta panen Suku Dayak di Meratus itu untuk menyatakan perasaan cintamu kepada Kartika, ketiga kau harus memperingatkannya.
Kau berlari lurus, mengabaikan ngilu di dada, serta menembusi bayangan hitam bermata merah saga yang seolah siap menerkammu.
Terus, kau terus berlari, dadamu semakin terasa ditekan-tekan. Sesak. Udara yang kau hirup seolah memampat dan tak sampai ke paru-paru.
Hanya selemparan batu lagi. Cahaya di kejauhan itu meski samar, memupuk lagi harapanmu. Seperti secangkir teh di sore hari, semarak dan riuh balai adat yang berupa rumah panjang itu kini menenangkan sarafmu.
Hening Meratus kini berganti dengan musik dan kidung. Langit malam dan rembulan yang terlambat datang karena hujan, kini menjadi syahdu karena Balian alias para saman suku Dayak tengah Bamamang alias mengucap mantra-mantra.
Di halaman balai adat kau berjalan menuju pintu, berniat untuk masuk, sebelum akhirnya enam orang yang kau kenal bergegas melewati pintu. Mereka begitu tergesa hingga kau tidak diacuhkan, meski kalian berpapasan.
"Hei," ucapmu setengah berteriak ketika si Ferdi tak sengaja menubruk bahumu di depan pintu. Ia hanya melirikmu sekilas.
"Woi, ada apa?" tanyamu kepada kawan KKN-mu. Namun, tanyamu hanya berjawab, "cepat, cepat, ayo cepat." Dan mereka pun bergegas naik sepeda motor yang terparkir di halaman.
"Jalan sedang longsor eh!" teriakmu. Namun, semua temanmu sudah memacu kendaraannya menjauh.
Mana Kartika? Kau tersadar dari keenam orang tadi tidak terlihat Kartika. Jangan-jangan sesuatu yang buruk sedang terjadi. Mendadak kau merasa cemas dan ingin mengejar teman-temanmu tadi.
Tapi kau mengurungkan niatmu, bukankah Kartika janji menunggumu di balai adat untuk menyaksikan Aruh? Dengan gontai kau melewati pintu balai adat dengan cemas, suara hentakan kaki para balian yang tengah menari mengiringi kegelisahanmu.
Lalu matamu menatap sosoknya, di antara kerumunan orang, diam menatap layar hp, remang cahaya dari pelita menaunginya. Kartika, perempuan yang ingin kau temui ada di sana.
"Hei," ucapmu sembari menyentuh tangannya yang sedang memegang hp. Ia terkejut dan hampir saja hp-nya jatuh.
Matamu masuk ke matanya. Dalam. Dalam sekali.
Kau tersenyum, ia terpaku. Sosoknya yang berkulit putih kian memucat ketika terkena temaram cahaya pelita, sensasi dingin terasa di kulitnya yang kau sentuh.
"H-hei ...," balasnya kaku. Ia seakan tak percaya bahwa kau sedang memandangnya.
"Kenapa kawan-kawan yang lain terlihat buru-buru?" tanyamu.
"E-entahlah ..., se-sepertinya ada ada hal urgent di basecamp kita," ucap Kartika tergagap. Ia memandangimu lekat-lekat, seakan ingin memastikan bahwa orang yang tengah berbicara dengannya adalah kau.
"Tidak ada yang aneh di basecamp kita, kawan-kawan yang tidak berangkat ke aruh adat lagi bikin acara masak-masak," ucapmu.
"Dan jalan yang menghubungkan desa dan jalan menuju basecamp kita terkena longsor, motorku terkubur, dan hp-ku hilang," balasmu.
"Tika, ada yang ingin aku bicarakan," ucapmu. Dan lagi-lagi ia hanya memandangmu.
**
Tidak banyak yang tahu bahwa Kartika, perempuan yang kau diam-diam kau cintai itu memiliki semacam anugerah. Ia memiliki mata batin yang peka--dan menurut pengakuannya kepadamu, ia tak menyukainya. Namun, seiring berjalanya waktu, ia mulai berdamai.
Ia memiliki cita-cita untuk menjadi penulis. Dan momen saat KKN inilah yang benar-benar ia nantikan. Ia ingin menulis novel dengan latar belakang kehidupan suku Dayak yang mendiami pegunungan Meratus. Oleh karena itu selama di sekitaran Meratus kau selalu membersamainya saat mengumpulkan bahan untuk tulisan.
Ia ingin menulis tentang warga Dayak Meratus yang berjuang untuk lingkungan, pergulatan warganya terhadap modernitas, dan ancaman perusahaan tambang terhadap tanah adat milik mereka.
"Kenapa tidak menulis tentang mistis saja, bukannya cerita seram asal Kalimantan selalu menjual?" ucapmu suatu ketika. Dan ia pun terlihat kesal dengan pertanyaan bodohmu tersebut.Â
"Pernyataanmu ini persis seperti bagaimana anggapan para kolonial--pihak barat itu memandang kita warga Indonesia dulu. Bangsa Timur yang terbelakang, barbar, tersesat, dan perlu diselamatkan. Oleh karena itu, mereka membenarkan penjajahan atas negeri kita."
"Dan warisan para penjajah itu tertanam di otak mereka warga Jakarta dan sekitarnya itu. Mereka selalu menganggap Kalimantan terbelakang, isinya cuma hutan, warganya tidak terdidik, dan cuma ngerti hal-hal gaib. Oleh karena itu mereka membenarkan tindakan mereka menguras sumber daya kita, dan menyisakan sangat sedikit untuk kita,"
"Novel yang akan kutulis ini adalah novel yang menggugat pandangan orang-orang luar Kalimantan yang sungguh Jakartaisme itu," ucap Kartika. Dan semenjak itu kau tidak berani lagi menyinggung hal tersebut.
Di antara kalian tidak ada yang berkata-kata, kesunyian di antara kalian berdua hanya diisi suara balian yang bemamang dan hentakan kakinya yang sedang menari. Kau sudah mengisahkan apa yang kau alami saat di perjalanan menuju ke aruh adat, persitiwa longsor dan juga sosok hitam itu.
Kartika terdiam, matanya seakan mengawang, ia berpikir. Lalu ia memegang tanganmu, "Ayo kita pulang ke basecamp!"
Meski kau sudah mengatakan bahwa jalanan sudah tertutup longsor, serta sebentar lagi pasti kawan-kawan kalian yang naik sepeda motor dan meninggalkan kalian akan kembali ke balai adat. Namun, Kartika tetap bersikeras ingin pulang ke basecamp.
Mau tak mau kau mengikuti keinginannya. Meski kau masih merasa takut dengan sosok hitam itu.
Jalan yang sama, tapi dengan nuansa yang berbeda. Bulan serta bintang di langit sana, yang semula tertutup mendung saat kau melintasinya tadi, kini bekerlipan. Cahaya bulan seakan tatapan mata kekasih, redup dan haru. Di bawahnya kalian berdua berjalan bersisian.
Semburat cahaya sentermu menembusi jalan yang gelap, sesekali kau arahkan cahayanya ke sisi jalan, kepada barisan pohon, sekadar memastikan bahwa sosok bayangan hitan itu tidak lagi mengikutimu.
Hingga sampailah kalian di jalan yang awalnya tertutup longsor, tempat kau terakhir kali melihat sosok hitam itu. Jalannya sudah bisa dijalani lagi, nampaknya sepeninggalmu jalan longsor itu sudah diperbaiki, dan bangkai sepeda motormu pun sudah diamankan.
Jalan yang sedikit menurun disertai tanah yang basah karena hujan, membuat kalian berdua berjalan dengan hati-hati. Sesekali kau harus memegangi tangan Kartika agar ia tidak terjatuh, saat itulah kau sadari tangannya terasa dingin.Â
Di bawah sinar rembulan yang memucat, wajah Kartika terlihat pias. Dengan erat ia memegangi tanganmu, ia terus saja memandangi wajahmu lekat-lekat. Dipandangi seperti itu membuat kau merona.
"Ini seperti bukan kau," ucapmu memecah sunyi. Sosok Kartika yang selalu ceria dan terkadang judes itu seakan tidak pernah ada, selain dalam ingatan. Dia yang berjalan bersisian denganmu seakan sosok lain yang beralih rupa.
Saat ditanya seperti itu, genggaman tangannya jadi semakin erat. Dingin di tangannya merayapi lenganmu, menjalari bahu, mendirikan tenguk, serta perlahan merembes ke dada, ke jantung. Dan lagi udara seperti dimampatkan hingga tak bisa masuk ke dadamu, kau tersedak hingga hampir terjatuh, sebelum akhirnya Kartika menahanmu hingga wajah kalian bertatapan dengan dekat.
"Tak sukakah kau ku pandangi?" Kartika tersenyum. Seperti dulu, ia kini menggodamu. Kau segera memalingkan muka.
"Aku hanya ingin menikmati momen ini saja, sedikit kata, hanya kita berjalan bersisian, maka izinkan aku untuk mengabadikan ini," ucap Kartika setengah lirih.
Lalu kalian pun berjalan bersisian, saling menggenggam di bawah pias cahaya rembulan. Perjalanan yang harusnya terasa panjang itu begitu singkat, seakan waktu adalah kain yang dapat dilipat.
"Bagaimana kau akan mengingatku jika kelak aku sudah tidak ada?" tiba-tiba Kartika bertanya. Kau terhenyak, bingung harus menjawab apa.
"Kalau aku, kau akan kuabadikan dalam tulisan, kau menjadi tokoh utamanya, begitulah caraku akan mengenangmu" ucap Kartika dengan senyum yang ia paksakan.
"Lah, memangnya kita tidak akan bertemu lagi?" tanyamu kepada Kartika dengan bingung.
"Kan siapa tahu," balas Kartika.
Dan perjalanan panjang itu pun semakin menuju akhir, basecamp tempat kalian tinggal dari jauh sudah terlihat. Di kejauhan kau melihat basecamp kalian diselubungi banyak cahaya lampu, ada beberapa orang yang terlihat berkumpul di sana.
Kau mempercepat langkahmu, sekadar hendak memastikan apa yang sedang terjadi di basecamp. Sementara itu Kartika menggenggam tanganmu semakin erat, ia seakan menahanmu agar tidak pergi ke basecamp.
Kau berjalan dengan sedikit tertahan, karena Kartika benar-benar enggan kembali ke basecamp, genggaman tangannya terasa makin erat ketika kalian akhirnya tiba di halaman basecamp. Semua orang di sana memandang kalian, tapi tidak ada satupun dari mereka yang bersuara. Semuanya membisu.
"Masuklah terlebih dahulu, aku ingin mencuci kaki yang kotor karena terkena lumpur tadi," ucap Kartika sembari melepaskan genggaman tangannya dengan tak rela.Â
"Oh, oke," jawabmu. Kau merasa ada yang aneh dengan Kartika.
Ketika kau memasuki ruang depan basecamp KKN kalian, terlihat kawan-kawan KKN kalian sedang berkumpul di sana. Mereka berdiri memandangi sesuatu yang membujur dan berselimut kain.Â
Kau terpaku. Kau tak tahu harus bagaimana? Kau sangat mengenal sosok yang terbaring tak bernyawa di hadapanmu itu. Kau pandangi wajah semua temanmu itu satu-satu, meminta kepastian. Namun, semuanya membisu. Kau mendekat, jauh lebih dekat lagi, berharap ini hanya prank semata.
Kau terpaku. Kau tak tahu harus bagaimana? Sosok yang terbaring tak bernyawa dengan luka di dada itu adalah dirimu sendiri. Tak percaya, kau tak ingin percaya, bergegas kau segera keluar rumah hendak mencari Kartika.
Dan ia ada di sana, sesungukan dalam pelukan kawan KKN kalian yang perempuan.Â
"Nggak apa-apa, Tik. Relakan saja, biarkan Bayu pergi dengan tenang," ucap perempuan itu mencoba menenangkan Kartika.
Lalu sebuah kilatan cahaya jatuh di halaman basecamp kalian, sosok hitam bermata merah saga berbayang kabut ada di sana. Ia memandangimu lekat-lekat, "sudah saatnya," ucap sosok itu.
Kau terpaku.
"Aku si penjemput, dan ini sudah saatnya kau ikut," sambung sosok bermata merah saga itu.
Kau terpaku. Kau tak tahu harus bagaimana. Sosok itu membuka mulutnya lebar-lebar, dan secara perlahan kau terisap, tanpa suara, partikel demi partikel, lalu menjadi tiada.
Gambut, 11 Juni 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H