Mohon tunggu...
Zulfan Elba
Zulfan Elba Mohon Tunggu... Buruh - Last Hope for Last Love

Penulis amatir yang masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Last Hope for Last Love Jilid 3: Yang Terbaik

30 Juni 2022   09:08 Diperbarui: 30 Juni 2022   09:20 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Segala puji penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya lah saya sebagai penulis dapat menyelesaikan penyusunan cerpen " Last Hope for Last Love Jilid 3 : Yang Terbaik ". Namun sebagai manusia biasa, saya tak luput dari kesalahan ataupun kekhilafan baik pada teknik penulisan maupun pemilihan kata.

Saya menyadari bahwa tanpa arahan dan masukan-masukan dari berbagai pihak yang telah membantu, mungkin saya tidak bisa menyelesaikan cerpen ini tepat waktu. 

Cerpen ini dibuat sedemikian rupa hanya sebagai inspirasi kepada anak muda Indonesia untuk selalu memanfaatkan kesempatan berkarya dan berinovasi selagi muda, terlebih khusus karya tulis.

Maka dengan kerendahan hati, saya mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian cerpen.

Semoga karya tulis ini dapat menghibur dan mudah dipahami bagi para pembaca, terlebih khusus untuk pengikut setia cerita ini.

Pontianak, 22 Mei 2021

Penulis

Intro

Pasang surut kisah asmara yang selalu menjadi tanda tanya besar pada diri ini. Lima bulan terakhir di tahun kemarin, tak sedikitpun aku berkutik dengan tinta pena maupun papan ketik telepon pintar ku. Hampa, itulah yang dirasakan setelah hatiku remuk dihantam kenyataan pahit.

Berlumur dengan kekecewaan dan berlapis dengan rasa bersalah, cukup membuatku terbalut dengan keraguan untuk kembali berkarya. Tersadar bahwa diri ini perlu ditempa dengan rasa sabar & tegar. Membuka kembali mata yang telah lama terpejam, seperti bangun dari mati suri. Kembali bangkit, menari dengan goresan pena yang tak pernah lelah untuk mengukir. Diatas batu sejarah suka & duka nya perjalanan hidup ini. 

Kenyataan berhasil mencuri senyuman, perlahan pudar dan hilang tanpa bekas. Awal yang berat untuk melepaskan. Hati menjerit-jerit, merintih sakit untuk melepas duri yang telah lama menancap. Telah lepas dan menyisakan tetes demi tetes kesedihan. Hingga akhirnya iman yang menambal bekas duri yang menancap itu. Untuk mengurangi perih, menghilangkan sakit dan menyadarkan diriku bahwa semua ini adalah....

Yang Terbaik

Yang Terbaik, Harus Bisa Mengikhlaskan

" Lagi, lagi & lagi. Kenapa ini harus terjadi dan menimpa ku ? " tersulut amarah yang masih berkecamuk dalam jiwa. Terbangun dari mimpi buruk kemarin, aku pun bangkit dari peristirahatan sementara. Membasuh wajah dan kepala dengan air yang mengalir, berharap setiap tetesnya dapat melepas gelisah ini. Ku hidupkan mesin kuda besi, lalu pergi tanpa basa-basi. Tak gentar meskipun sunyi senyap menerkam dan membawa angin dingin menusuk tulang. 

Aku pun bersimpuh di hadapan-Nya. Mengadu, meskipun telah banyak membuat-Nya kecewa, murka dan marah melalui dosa. Berharap ini bukan akhir dari segala mimpi, tapi awal menuju kenyataan. Selesai sudah kewajiban, aku keluar dari tabir keterangan dan seketika tersenyum. Pandangan ku tertuju pada mentari yang malu - malu untuk bersinar dan bulan yang diam - diam tenggelam. Burung - burung mulai bernyanyi menyambut fajar nya, membuatku bersajak dalam hati, " Ini hariku, ini saatnya... ". 

Mengikhlaskan sesuatu yang sudah datang lalu pergi begitu saja bukanlah hal mudah, mengajarkanku untuk bisa melepas hal yang sifatnya sementara. Ujung cerita terkadang menyajikan sesuatu yang tidak diinginkan. Inilah hidup, ada menang dan kalah. Tak ada takdir yang salah, mungkin diriku yang terlalu lemah. Menerima kenyataan dengan amarah yang semakin menambah masalah. 

Namun, inilah yang terbaik menurut-Nya. Memberikanku lebih banyak waktu untuk berbenah, mengoreksi dan memantaskan diri sebelum bertemu dengan makhluk bernama jodoh. Hikmah yang perlahan bisa kupetik dan ku nikmati hasilnya sekarang. Tak bisa dilukiskan kebaikan Tuhan yang telah memberi jalan hidup ini. Menjadi tanda rasa kasih dan sayang-Nya kepada hamba yang telah tenggelam dalam lautan dosa. Ucapan syukur dan terimakasih mengiringi setiap kebaikan yang telah Dia berikan.

Yang Terbaik, Keluarga & Sahabat

Pulang kerumah, membawa hati yang tenang untuk menjalani hari. Hari yang sangat spesial untukku, bertepatan dengan bertambahnya usia sekaligus berkurangnya umurku yaitu 20 tahun. Selain itu juga aku berhasil menyelesaikan dan merilis cerita pendek " Last Hope for Last Love Jilid 2 : Analis BenCi ". 

Kebahagiaan yang tak tertakar dapat berkumpul dengan keluarga dan sahabat hari itu. Ucapan datang silih berganti, membuatku bersyukur tiada henti. Masih banyak orang baik yang peduli terhadap diriku, hingga mungkin tak cukup hanya dengan balas budi semata. 

Begitu juga dengan ketiga sahabatku Wawan, Ari dan Fathur. Meskipun Fathur tak bisa hadir karena dipisahkan oleh pulau, namun kehadiran Wawan dan Ari cukup melunasi bahagiaku. Sayangnya mereka tidak datang bersamaan, padahal mereka berdua lama tidak bertemu. 

Diawali dengan kedatangan sahabat terbaikku, Ari. Seperti biasa kita berbicara tentang berita terbaru yang pastinya bukan gosip, hehehe....

Saat giliranku bercerita, hal yang sangat pasti adalah bagaimana penilaiannya dengan cerpen jilid 2. Dan Alhamdulillah, dia melayangkan pujian yang cukup baik. Meskipun bahasanya sedikit sulit untuk dimengerti untuk kaum awam karena menyisipkan bahasa kimia, namun keseluruhan isi benar - benar mendukung judulnya.

Santap siang pun dimulai dengan doa bersama, berharap dengan bertambahnya umurku semakin membawa dalam keberkahan dan manfaat untuk orang-orang. Satu sesi yang sangat kuingat, ketika Ari memimpin doa dan berkata " semoga segera dipertemukan dengan jodohnya, Aamiin ", sontak orang tuaku membalas " Aamiin, masih jauh Ri ". Aku pun hanya tersenyum kecil, dalam hati aku berdoa semoga sosok bernama jodoh itu datang dengan rasa dan waktu yang tepat. 

Tak terasa sudah menjelang waktu shalat Zuhur, aku pun mengintip beranda ponsel ku sebentar. Hal yang cukup mengejutkan terjadi, ketika Pita memberiku ucapan lewat pesan singkat. Aku pun terdiam dan memilih untuk tidak membalasnya terlebih dahulu. Setelah selesai menunaikan shalat, aku pun membalasnya dengan ucapan terimakasih beserta emoticon salam Namaste. Tak ada respon lebih lanjut darinya, aku pun tak berusaha untuk menambah topik pembicaraan. Mencukupkan tanpa basa - basi, karena sudah ditutup dengan rasa kecewa dalam hati. 

Dilanjutkan dengan sesi foto bersama Ari, tak ragu kami berbagi momen ini lewat cerita media sosial masing-masing. Tak terasa pertemuan hari ini cukup singkat, tapi banyak hal yang akan dikenang sangat lekat. Pertemuan yang dirasa menjadi pertemuan terakhir sebelum dia pulang kembali ke tanah Sriwijaya. Saling mendoakan dan saling menjaga tali silaturahmi menjadi cara kami menguatkan satu sama lain. Dia sahabat terbaik, terimakasih atas inspirasi dan motivasi untuk menjadikanku lebih baik.

Tak sampai disitu, hari ini terasa lengkap diakhiri dengan kedatangan sahabat pertama, sahabat masa kecilku Wawan. Tak disangka dia datang membawa bingkisan kecil untukku. Lagi lagi aku harus mengucapkan terimakasih atas gambaran kecil dari sekian banyak lukisan nikmat Tuhan, menghadirkannya dalam sosok kedua sahabatku ini.

Jamuan pun dimulai. Sama seperti obrolan siang tadi bersama Ari, kami membahas mengenai hal - hal teraktual dan menyelipkan sedikit hal tentang masa kecil dan masa lalu. Setelah menjamu nya makan malam, tak lupa aku pun menyuruh nya untuk membaca sekilas cerpen baruku. Aku pun mencoba membantunya memahami isi cerita. Ya wajar saja dia tak paham, anak IPS. Setelah dia selesai membaca dan mengerti maksud dari cerpenku, dia pun berpesan, " Sabar jak Bro, semoge pengorbanan kau selame ini ndak sie-sie dan bise kau ambil hikmahnye ". 

Bahagia itu sederhana, memang benar. Bukan hanya soal banyaknya harta, tingginya tahta maupun gandengan tangan wanita, tapi kehangatan keluarga dan kekonyolan sahabat setia pun juga bisa membuat bahagia. Yang terbaik adalah membahagiakan mereka, keluarga & sahabat.

Yang Terbaik, Memantaskan Diri

" Terkadang Tuhan hanya mempertemukan, tapi tidak mempersatukan ". Ya, sebuah kalimat yang singkat namun menusuk tajam bagaikan pedang. Kalimat ini juga yang mendorong semangatku untuk terus belajar memantaskan diri. Melakukan semua ini agar yang datang tidak akan pernah pergi ( masa depan ) dan yang pergi takkan pernah kembali datang ( masa lalu ).

Hari demi hari dilewati, bulan demi bulan terus berubah bentuknya, tahun demi tahun terus berubah musimnya. Aku masih terjebak dalam hingar-bingar dunia kerja. Aku lupakan semua tentang rasa manja, hingga jarang melihat matahari dikala senja. Aku lupakan sejenak impian demi sebuah kebutuhan. Bumi belum pulih, aku pun belum bisa beralih. Bersabar menghadapi nasib, tetap yakin bahwa rezeki dari-Nya takkan pernah raib.

Soal pasangan, aku belum ingin membahasnya. Karena masih menjadi sesuatu yang membuatku trauma. Pernah terperangkap oleh rasa percaya dan berharap kepada wanita, sehingga lupa dengan Sang Maha Pencipta. Memaksakan kehendak untuk sebuah misteri, sedangkan Tuhan telah memberikan jalan yang pasti. Bekas jahitan dari luka kemarin masih belum kering, tanda bahwa aku harus benar-benar berpaling.

Sampai pada titik jenuh sesungguhnya, ketika aku lirik wajahnya hampa tanpa rasa. Biasa saja, tak ada lagi keinginan untuk memiliki. Inilah pelajaran yang sesungguhnya tentang hati. Bukannya aku mudah bosan, mungkin rasa kecewa yang sangat mendalam menjadi penyebabnya. 

Selama lima bulan terakhir mengarungi derasnya arus kehidupan, banyak hal yang menjadi catatan akhir tahun. Salah satunya tentang semesta yang masih menunda untuk sebuah pertemuan yang akan menyatukan. Mungkin dia tahu tentang rencana besar yang masih ku pendam, untuk mengobati rasa sakit yang mendalam. Yaitu sebuah pertemuan yang akan membuatku menjadi rekan atau membuka jalan menuju pelaminan. 

Yang terbaik sekarang adalah bagaimana cara agar aku benar-benar siap menanti momen itu. Memantaskan dan memantapkan diri, bukan hanya sekedar kata tanpa arah. Revolusi diri yang telah lama menjadi pribadi tertutup untuk menjadi pribadi dengan semangat tanpa redup. Melapangkan hati dan dada, mengajarkan untuk tetap tabah menjalani semua ini.

Yang Terbaik, Kembali Belajar untuk Berkarya

Awal Januari tahun ini, aku disambut dengan sebuah hal baru untuk menguji daya magis ku untuk bermain dalam kata dan makna. Melalui sebuah gerakan bercerita di media sosial, aku pun mengikuti nya dengan semangat di awal tahun. Sangat senang bisa berinteraksi dengan para pencerita dari berbagai kalangan. Berbagi cerita mereka selama sebulan penuh dan setiap harinya cerita terbaik akan di posting ulang dengan admin gerakan bercerita itu. Ya sayangnya dengan berbagai kesibukan khususnya dunia kerja, membuatku tidak konsisten dalam bercerita didalamnya. 

Semuanya berawal dari keisengan diriku melihat status harian, mataku terperangkap dan tertuju kepada sesuatu yang tak kuduga sebelumnya. Aku mengatakan demikian bukannya tanpa sebab, namun ini benar - benar sangat tak terduga. Yap, Namanya Lina. Temanku semasa kuliah singkat di kota hujan yang membuatku termotivasi untuk mengikuti gerakan ini. 

Aku penasaran, seberapa hebat dia dalam mengolah dan menari dalam kata. Karena sepengetahuan diriku dia hanya punya kemampuan menggambar, melukis dan mendesain sesuatu. Namun tak kusangka, dia sangat handal dalam mengendalikan elemen kata dan kalimat dalam membuat cerita. Kata-kata yang cukup estetik, tertata rapi dan sopan membuatku geleng-geleng kepala. Namun hal itu tak membuatku beralih dari konsep menulisku. Karena aku yakin setiap penulis punya versi masing-masing dalam memberi warna dalam ceritanya.

Setelah sebulan penuh, gerakan pun berakhir. Cukup menjadi cambuk semangat awal tahun kemarin untukku kembali berkarya. Dengan segenap tekad yang membulat, busur panah pun meluncur tepat ke sasaran utama. Target kembali nyata, setelah remuk dihancurkan realita. Aku harus kembali bercerita, meskipun tanpa ada sosok yang dicinta. Lega rasanya bisa kembali menulis walaupun awalnya penuh dengan rasa pesimis. 

Yang terbaik, kembali belajar untuk berkarya. Terimakasih wahai Dzat Yang Maha Kaya, kau telah membuatku kembali berdaya. Menulis cerita di dunia maya, meskipun belum tentu memberi jalan untuk kaya. 

Yang Terbaik, Menghabiskan Waktu untuk Hobi

Tiga bulan pertama di awal tahun ini sungguh berat cobaan dengan rasa bosan. Sosok pribadi yang masih cenderung tertutup menjadikanku kuper alias kurang pergaulan. Ya alasanku karena tidak mau terlalu banyak waktu yang terbuang sia-sia. Karena banyak hal yang harus dipenuhi kebutuhannya. Bukan hanya untuk diri sendiri, tapi keluarga ku. Memperjuangkan hak-hak mereka didalam gemelut pandemi yang belum usai.

Namun pada awal Februari kemarin, aku mencoba kembali menghubungi sahabat pertamaku Wawan. Menanyakan kesibukannya dikala situasi yang belum bersahabat, mungkin bisa mengobati rasa bosan yang kumat. Aku pun mengajak dia untuk bertemu setelah kurang lebih 6 bulan lamanya. Aku pun melontarkan pertanyaan yang sempat ku pendam tadi, berharap mendapatkan timbal balik yang terbaik. 

Jawabannya sangat membuat mataku seketika berseri - seri, jantung mulai berdetak kencang dan senyum yang lepas. Hobi yang sudah sangat lama tidak dicicip, kurang lebih 4 tahun. Bulutangkis, olahraga yang terakhir digeluti saat SMK dan penuh dengan kenangan manis. Ya bagaimana tidak, olahraga itu menemani masa - masa persahabatan ku dengan Ari setiap akhir pekan. Benar-benar menjadi saat yang kutunggu, kembali membuat panas mesin yang telah lama terbelenggu. 

Memang, aku adalah sosok yang tak pernah serius dalam mempelajari sebuah permainan ataupun olahraga. Sejak kecil, sudah beberapa olahraga ku rasakan seperti sepakbola, bulutangkis dan catur. Namun dari semua jenis olahraga itu bulutangkis lah yang paling sering kulakukan. Namun dari semua itu, olahraga yang sampai hari ini membuatku betah adalah sepakbola.

Bercerita sedikit tentang sepakbola, aku mulai mengenalnya tahun 2010. Tepatnya saat piala dunia, ketika pemain favoritku hingga saat ini, Cristiano Ronaldo melakukan gerakan tipuan pada bek Brazil. Aku tidak terlalu peduli dan dalam hati kecil ku berkata " Buat apa sih nonton ini ? Masa bola satu buah direbutkan sampai 22 orang, kan aneh. "

Tapi pandanganku berubah dua tahun kemudian, saat tak sengaja menonton salah satu pertandingan liga Inggris. Ketika itu Paul Scholes mencetak gol indah dari luar kotak penalti yang berhasil membuatku tak berkedip. Semenjak itulah aku menyukai bahkan mencintai sepakbola lewat keindahan gol nya, Manchester United pun menjadi klub pertama yang membuatku penasaran dengan dunia sepakbola. 

Bahkan hampir setiap pertandingan Manchester United pada musim kompetisi selanjutnya, tak pernah ku lewatkan. Hingga tak ku sangka, bahwa pemain favoritku Cristiano Ronaldo ternyata pernah bermain untuknya. 

Sejak usia 12 tahun, aku pun mulai sering bermain bola di jalan gang maupun lapangan rumput bersama teman-teman sebayaku. Bahkan tak heran, kami sering lupa waktu hingga akhirnya pertandingan adalah kumandang Adzan Maghrib. Masa-masa yang indah dan sulit tergantikan, olahraga yang sangat membuatku mengerti apa artinya kerjasama maupun solidaritas. Hingga pada usia 14 tahun, aku bertekad untuk mengasah kemampuan sepakbola ku.

Namun semuanya buyar, ketika aku harus mewujudkannya di usia 15 tahun saat sibuknya jadwal mata pelajaran sekolahku. Aku sempat bergabung dengan salah satu sekolah sepakbola di kota ini. Tapi kematangan dan skill memerlukan porsi latihan yang banyak, sedangkan jadwal sekolah menyita kesempatan itu. Akhirnya aku putuskan untuk berhenti bermain sepakbola dan memilih fokus belajar di sekolah.

Meskipun berhenti bermain sepakbola, tak membuatku berhenti menyukai hal-hal yang berkaitan dengannya. Salah satunya game sepakbola, yang menjadi hobi sejak tahun 2015 lalu sampai sekarang. Tak sah rasanya jika tidak memiliki game itu dalam ponsel pintar, sudah menjadi bagian dalam keseharian ku. 

Kembali lagi kepada bulutangkis. Dua minggu setelah pertemuanku dengan Wawan, aku pun datang ke markas latihan bulutangkis langganannya. Dengan sangat bersemangat, aku tak peduli seberapa banyak tetes keringat. Ya dan ternyata itu sangat menyenangkan meskipun agak melelahkan. Empat tahun bulutangkis tak ku lirik, membuat kemampuanku tak berkutik. Pukulanku sangat lemah di atas lapangan, hanya mampu menangkis smash dari lawan. 

Mengingatkan ku pada sebuah kalimat penyemangat, " Keberhasilan itu bukanlah dari sebuah keberuntungan, tapi sebuah kerja keras ". Ya kesungguhan adalah sesuatu yang akan dibayar mahal pada waktunya. Terkadang, aku meratapi hal itu bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Konsistensi, inspirasi dan motivasi sangat diperlukan untuk meraih semua itu. Dukungan dari orang-orang terdekat juga merupakan suplemen penting untuk menjaga tiga hal tadi.

Sama seperti menulis buku atau karangan, ketiga hal diatas perlu digarisbawahi. Konsistensi dalam menciptakan karya, aroma dan citarasa cerita sehingga mempunyai ciri khas tersendiri. Inspirasi tentang hal-hal baru, menjadi bumbu rahasia yang harus selalu diperbaharui tanpa mengubah struktur karangan yang telah kita bangun. Berusaha membuat pembaca tidak bosan dengan alur cerita dan penasaran dengan setiap kelanjutannya, seperti sinetron. Motivasi merupakan bahan pelengkap, agar usaha kita tak mudah dirundung kejenuhan dan memberi warna dalam perjalanan menulis. Yang terbaik, menghabiskan waktu untuk hobi.  

Yang Terbaik, Sahabat Wanita Pertama

Sulit untuk menggambarkan bagaimana rasanya kembali memiliki sahabat. Setelah hampir 3 tahun lamanya aku tidak menjadikan seorangpun sebagai sahabat, akhirnya diriku kembali memilikinya. Dan yang paling membuatku takjub, dia adalah seorang wanita sekaligus menjadi yang pertama sepanjang hidupku. Karena 3 sahabatku sebelumnya adalah pria, tentunya wajar dan tidak mengherankan mempunyai sahabat sesama pria.

Namanya Farah, wanita cantik asal tanah Sriwijaya yang merupakan kekasih dari sahabatku Ari. Ya, kedekatan mereka sudah terjalin selama 2 tahun belakangan ini. Mereka adalah teman semasa bangku sekolah, bahkan sempat menjalin hubungan satu tahun lamanya. Setelah 7 tahun berpisah mereka pun dipertemukan, hingga tahun lalu resmi kembali menjadi sepasang kekasih.

Nada cemburu dengan hubungan mereka sempat berdering saat tahu kabar itu. Aku pun berusaha mengalihkan rasa cemburu dengan berbagai hal, salah satunya mencoba mendekati Pita. Semua cerita telah ditorehkan pada karya tulis pertamaku, yang menjadi saksi perjuanganku merebut hatinya.

Perlahan tapi pasti, sekeping amanah demi amanah Farah berikan untukku. Ya awalnya aku anggap itu hanyalah hal biasa, karena tolong menolong dalam kebaikan sudah menjadi kewajiban. Namun dari kepingan itulah yang membawaku merajut kolaborasi dan persahabatan dengannya. Sempat ragu dan sungkan untuk bisa berkomunikasi karena statusnya sebagai kekasih sahabatku, tapi perlahan kepercayaan diriku meningkat dengan tetap menjaga jarak. 

Setelah melalui berbagai pertimbangan hukum perasaan dari mahkamah pergaulan, akhirnya aku menjatuhkan vonis persahabatan mutlak kepada Farah. Dia mengaku sangat senang, meskipun tidak mengungkapkan nya secara langsung. Ucapan terimakasih khususnya untuk sahabatku Ari, memberiku kesempatan untuk bersahabat dengan Farah. Akan ku jaga amanah ini, berharap Farah bisa menjadi motivasi untukku menemukan " Last Hope for Last Love ".

Yang terbaik, sahabat wanita pertama. Sudah tak mungkin saling mencinta, namun sebagai pembuka jalan menuju cita-cita. Sangat langka bagaikan permata, membuka mata bahwa tak semua hal menyakitkan itu dari wanita. Aku berharap semoga Ari dan Farah selalu bersama, hingga tak ada yang bisa memisahkan kecuali takdir-Nya.  

 Yang Terbaik, Hanya Sekedar Teman Dekat

Bintang kehidupan datang setelah lama menanti. Kedatangan mereka seakan memberi warna baru dalam penantian panjang ini. Dikala keraguan masih menghinggapi, namun mereka datang untuk meyakini. Datang dengan senyap tanpa notifikasi, perlahan menghampiri tanpa basa-basi.

Saat pertama berjumpa dengan mereka, benar-benar hambar tak ada rasa. Dari jauh diriku memandang, terlihat sekelompok wanita mengenakan baju putih dan celana hitam. Seketika ku tatap mereka dengan wajah tertutup masker, menggarisbawahi pandanganku untuk beralih dari pekerjaan. Perintah terus menggiringku untuk fokus, aku pun mengalihkan perhatianku dari mereka sembari menyembunyikan luka yang sudah kering namun masih berbekas. Dengan langkah panjang, aku pun pergi meninggalkan mereka.

Seiring berjalannya waktu, aku terlilit dengan rasa penasaran ketika mereka telah dibagi tugasnya masing-masing. Tiga orang wanita berhasil membuatku lupa artinya cinta, mereka masing-masing bernama Tika, Risma dan Yati yang bertugas membantu pekerjaan membuat hidangan penutup maupun jajanan pasar. Dalam tiga bulan, mereka harus melakukan praktik kerja lapangan dari kampus demi memenuhi Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Jauh dari keluarga dan orang-orang tersayang bukanlah sebuah hal yang mudah tentunya buat mereka, sama seperti apa yang kurasakan beberapa tahun yang lalu ketika magang pada salah satu pabrik pengolahan susu di Jawa Barat. Rasa simpatik muncul melihat loyalitas mereka untuk perusahaan tempatku bekerja. Waktu, tenaga dan pikiran mereka tuangkan semuanya, berharap dapat menuai hasilnya dikemudian hari. Mengetahui bahwa usia mereka sama denganku, aku pun mulai menghilangkan sedikit urat malu untuk berbagi cerita. Mereka pun terlihat begitu antusias.

Aku pun penasaran untuk mengetahui siapa mereka bertiga sebenarnya. Dengan bantuan media sosial, akhirnya aku berhasil menemukan nama lengkap mereka. Tanpa basa-basi sebelumnya, aku pun bertanya benarkah nama lengkap mereka yang terlontar dari mulutku. Mereka menjawab, " kok kamu bisa tau sih ? " Aku pun menjawab, " Ada deh... " sambil merekahkan senyum lebar kepada mereka.

Diselimuti rasa penasaran, membuat mereka memeriksa akun media sosialnya. Akhirnya mereka pun mengetahui sebabnya dan menerima permintaanku untuk mengikuti. 

Salah satu dari mereka ternyata tertarik dengan karya picisan milikku, yaitu Tika. Bahkan dia mengaku telah membaca seluruhnya dari jilid 1 ke jilid 2. Aku pun sangat senang dia telah mengikuti perjalananku menjadi penulis, apalagi jika Risma dan Yati pun ikut tertarik. Tika pun memberiku saran agar aku bisa membuat cerita fiksi. Namun komitmen ku sangat kuat untuk menamatkan cerpen berjilid sampai menjadi sebuah novel. Ku hargai saran itu, akan kupendam dan suatu saat akan ku gali bersama sosok yang menutup kisah di " Last Hope for Last Love ".

Ada satu hal menarik lainnya. Ternyata, Tika dan Yati mengetahui siapa sosok Pita yang sebenarnya dalam cerpenku. Seketika aku terkejut dan bertanya, " Kenapa kalian bisa tau ? ". Mereka tak memberikanku jawaban pasti dan Yati hanya berkata " Kami tinggal di desa yang sama dengannya, yaitu kota Seburing. Lalu aku menunjukkan kepada Tika sebuah surat kecil yang isinya tentang ajakan bersemangat untuk pastry chef, Kak Wenny dan Pak Iwan. Surat yang sampai sekarang masih melekat di dinding pastry itu, menjadi salah satu kenangan tersendiri untukku.

Dari kejadian itu, aku pun mulai membuka keran perasaanku kepada Tika. Namun tak selebar apa yang telah kuberikan kepada Pita, aku lebih berhati-hati dengan setiap keputusan yang ku jalankan. 

Aku merasa senang, ketika departemen tempatku bekerja kedatangan lagi 3 wanita dari kampus yang sama. Namanya masing-masing Fatma, Melly dan Lesty. Ini menjadi kesempatan besar untukku lebih banyak berinteraksi dengan wanita, mengetahui karakter dan seluk beluk kehidupan mereka. Sosok mereka semua yang jauh dari kata angkuh dan dekat dengan kata ramah, sangat menunjukkan dedikasi mereka walaupun hanya sekedar praktik kerja lapangan. 

Hari berganti bulan, aku tetap berusaha bertahan. Perlahan tapi pasti, aku mulai menghidupkan keberanian yang telah lama mati. Untuk tetap terhubung dengan mereka, aku pun meminta salah satu dari kontak mereka bertiga, yaitu milik Risma. Bukan karena dia yang terbaik, tapi dia lah salah satu dari mereka bertiga yang enak diajak ngobrol. 

Namun perlahan waktu mengajarkan ku menerima kenyataan. Ternyata Tika, Risma dan Yati telah memiliki pasangan masing-masing. Aku tak menjaringkan diriku untuk tetap berhubungan dengan mereka meskipun tetap menjaga jarak sebagai bagian dari protokol pertemanan. Hanya saja aku perlu melakukannya, karena aku ingin menghindari masa laluku terulang lagi. Suara hati dan batinku saling menyatu. Yang terbaik, hanya sekedar teman dekat. Aku rela dan ikhlas menutup kembali keran perasaan yang sempat ku buka sesaat, demi silaturahmi yang tetap kuat.

Yang Terbaik, Tak Harus Dimiliki

Pengorbanan, mungkin telah menjadi sahabat yang sangat setia denganku. Menerima pesan bahwa tak selamanya hidup ini tentang apa yang diinginkan, terkadang Tuhan lebih tau apa yang kita butuhkan. Sekarang, mungkin bukan waktu yang tepat. Beralih dalam konsekuensi yang terus menghukum diriku, hingga penyesalan terhadap masa lalu sempat menjadi topik hangat yang berkicau di pikiranku.

Sulit memang menerima masa lalu. Menjadi keharusan meninggalkan pendidikan yang begitu luar biasa 2 tahun silam. Apa yang sekarang terjadi, mungkin inilah balasan atas perbuatanku. Semuanya terasa sirna, ketika keterpaksaan harus menjadi alasan. Padahal, mereka sudah memperlakukanku layaknya seperti sahabat sendiri. Aku merasa berdosa dengan keputusanku meninggalkan kota itu, yang mengajarkan banyak kedewasaan dalam bertindak.

Aku mengakui semuanya saat ini, ketika aku terpuruk dalam kesunyian, tersungkur dalam jurang kegelapan dan terkapar dalam dinginnya kehampaan. Semuanya kini memandangku sebelah mata, terbelenggu dengan cita-cita yang kini hanya menjadi angan semata. Harapan perlahan gugur bak nasi yang telah menjadi bubur. Bagaikan rata dengan tanah, karena diriku terlalu lemah dalam melangkah.

Tapi, semuanya kini telah aku sadari. Memang benar, hidayah ataupun petunjuk bisa datang dari siapa yang Dia kehendaki. Singkat cerita setelah menyelesaikan pekerjaan, aku mengambil secangkir air hangat untuk mengembalikan cairan tubuh yang hilang. Rekan kerja ku bernama Gery melihatku begitu kurang bersemangat. Dia pun menghampiri tempat dudukku dan bertanya " Ada apa Zul ? Lemah benar gak nampaknya kau ini ? Cerita lah, kita kan cs ". Dia menyuruhku terlebih dahulu untuk menikmati tetes demi tetes tegukan air hangat dan makan sebuah bantalan tepung manis sebelum bercerita.

Akhirnya aku ungkapkan apa yang terjadi sebenarnya, meskipun enggan menyebut inti sari ceritanya. Dengan singkat Gery menasehati, " Bro. Yang namanya jodoh, rezeki dan maut itu sudah diatur oleh Allah SWT. Tugas kita hanya mempersiapkan dan berikhtiar semaksimal mungkin sebelum tiba saatnya. Semangat Bro ! "

Ya, itu sangat singkat namun aku merasakan getaran yang tak biasanya. Sudah aku pastikan itu adalah hidayah. Tak ku sangka hal itu datang dari rekan kerja yang berbeda departemen. Sosok nya yang easy going, sedikit nakal dan bahkan seperti tak punya beban membuatku geleng-geleng kepala. 

Jadi, janganlah menilai seseorang dari satu sudut pandang. Masing-masing punya potensi yang terpendam dan akan keluar dari sarangnya ketika dibutuhkan. Aku pun bangkit dari tempat duduk dan kembali menuntaskan pekerjaan. Yang terbaik, tak harus dimiliki. Aku yakin, Tuhan akan mempersiapkan hadiah lebih indah di masa yang akan datang.

Yang Terbaik, Kembali Jalani Mimpi

Kota hujan mungkin akan menjadi destinasi kembali untukku, namun arah dan tujuan belum menentu. Kenangan, itulah yang membuat tekad ini semakin membulat. Bahkan, keluarga dan teman-temanku semasa perkuliahan singkat disana bertanya kapan aku kembali kesana. Pandemi, menjadi alasanku untuk membela diri atas kerinduan dengan tetesan air hujan kota itu. Memang benar terkadang kesempatan tidak datang dua kali, menjadi mimpi untuk diriku bisa kembali.  

Waktu, mungkin menjadi sesuatu yang sangat penting untuk disadari. Betapa berharganya dia, sesuatu yang takkan pernah kembali menyia-nyiakan nya. 

Sia-sia dalam satu detik, hilang satu hal baik. Sia-sia dalam satu menit, semakin menambah hal rumit. Sia-sia dalam satu jam, seakan dunia makin kejam. Sia-sia dalam satu hari, seakan gelap tanpa mentari. Sia-sia dalam satu minggu, makin membuat engkau terbelenggu. Sia-sia dalam satu bulan, terlambat sudah mencapai impian. Sia-sia dalam satu tahun, buat rayuan buruk terus menuntun. Jangan sia-siakan dia. Karena tak pernah bisa kembali meskipun dibayar oleh uang, ditukar dengan lautan emas atau dicicil dengan segunung mutiara. 

Tentang mimpi, aku tak bisa terlanjur percaya itu akan terjadi. Semuanya butuh proses, karena semuanya tidak langsung turun dari langit. Selain kerja keras, harapan juga diperlukan yang hanya kita tujukan kepada Sang Maha Segalanya. Sembari percaya bahwa...

Suatu saat nanti, akan menjadi nyata yang dahulu hanya didalam hati. Suatu saat nanti, setiap kerja keras akan menjadi bukti. Suatu saat nanti, yang dulu tak dihiraukan akan jadi berarti Suatu saat nanti, dahan yang patah akan berganti. Suatu saat nanti, duka dan lara akan terobati. Suatu saat nanti, cahaya akan menerangi setelah lama mati.

Ada harapan dibalik luka, menjadikan diri selalu dalam kekuatan. Menghilang untuk membangun ketegaran, untuk tidak takut meruntuhkan kemarahan. Sebuah kebaikan memang tak selalu dibalas kebaikan juga. Aku paham, karena dia telah lama bersemayam. Tapi aku percaya suatu saat nanti, akan hadir sosok yang kokoh berdiri yaitu cinta sejati.

Yang terbaik, kembali jalani mimpi. Meskipun hati dirundung sepi, namun semangat harus bagaikan kobaran api. Walaupun banyak harapan yang menepi, tapi tetap ada kesabaran yang membuat tegar dalam menghadapi.

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun