Mohon tunggu...
Zulfan Elba
Zulfan Elba Mohon Tunggu... Buruh - Last Hope for Last Love

Penulis amatir yang masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Last Hope for Last Love Jilid 3: Yang Terbaik

30 Juni 2022   09:08 Diperbarui: 30 Juni 2022   09:20 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tiga bulan pertama di awal tahun ini sungguh berat cobaan dengan rasa bosan. Sosok pribadi yang masih cenderung tertutup menjadikanku kuper alias kurang pergaulan. Ya alasanku karena tidak mau terlalu banyak waktu yang terbuang sia-sia. Karena banyak hal yang harus dipenuhi kebutuhannya. Bukan hanya untuk diri sendiri, tapi keluarga ku. Memperjuangkan hak-hak mereka didalam gemelut pandemi yang belum usai.

Namun pada awal Februari kemarin, aku mencoba kembali menghubungi sahabat pertamaku Wawan. Menanyakan kesibukannya dikala situasi yang belum bersahabat, mungkin bisa mengobati rasa bosan yang kumat. Aku pun mengajak dia untuk bertemu setelah kurang lebih 6 bulan lamanya. Aku pun melontarkan pertanyaan yang sempat ku pendam tadi, berharap mendapatkan timbal balik yang terbaik. 

Jawabannya sangat membuat mataku seketika berseri - seri, jantung mulai berdetak kencang dan senyum yang lepas. Hobi yang sudah sangat lama tidak dicicip, kurang lebih 4 tahun. Bulutangkis, olahraga yang terakhir digeluti saat SMK dan penuh dengan kenangan manis. Ya bagaimana tidak, olahraga itu menemani masa - masa persahabatan ku dengan Ari setiap akhir pekan. Benar-benar menjadi saat yang kutunggu, kembali membuat panas mesin yang telah lama terbelenggu. 

Memang, aku adalah sosok yang tak pernah serius dalam mempelajari sebuah permainan ataupun olahraga. Sejak kecil, sudah beberapa olahraga ku rasakan seperti sepakbola, bulutangkis dan catur. Namun dari semua jenis olahraga itu bulutangkis lah yang paling sering kulakukan. Namun dari semua itu, olahraga yang sampai hari ini membuatku betah adalah sepakbola.

Bercerita sedikit tentang sepakbola, aku mulai mengenalnya tahun 2010. Tepatnya saat piala dunia, ketika pemain favoritku hingga saat ini, Cristiano Ronaldo melakukan gerakan tipuan pada bek Brazil. Aku tidak terlalu peduli dan dalam hati kecil ku berkata " Buat apa sih nonton ini ? Masa bola satu buah direbutkan sampai 22 orang, kan aneh. "

Tapi pandanganku berubah dua tahun kemudian, saat tak sengaja menonton salah satu pertandingan liga Inggris. Ketika itu Paul Scholes mencetak gol indah dari luar kotak penalti yang berhasil membuatku tak berkedip. Semenjak itulah aku menyukai bahkan mencintai sepakbola lewat keindahan gol nya, Manchester United pun menjadi klub pertama yang membuatku penasaran dengan dunia sepakbola. 

Bahkan hampir setiap pertandingan Manchester United pada musim kompetisi selanjutnya, tak pernah ku lewatkan. Hingga tak ku sangka, bahwa pemain favoritku Cristiano Ronaldo ternyata pernah bermain untuknya. 

Sejak usia 12 tahun, aku pun mulai sering bermain bola di jalan gang maupun lapangan rumput bersama teman-teman sebayaku. Bahkan tak heran, kami sering lupa waktu hingga akhirnya pertandingan adalah kumandang Adzan Maghrib. Masa-masa yang indah dan sulit tergantikan, olahraga yang sangat membuatku mengerti apa artinya kerjasama maupun solidaritas. Hingga pada usia 14 tahun, aku bertekad untuk mengasah kemampuan sepakbola ku.

Namun semuanya buyar, ketika aku harus mewujudkannya di usia 15 tahun saat sibuknya jadwal mata pelajaran sekolahku. Aku sempat bergabung dengan salah satu sekolah sepakbola di kota ini. Tapi kematangan dan skill memerlukan porsi latihan yang banyak, sedangkan jadwal sekolah menyita kesempatan itu. Akhirnya aku putuskan untuk berhenti bermain sepakbola dan memilih fokus belajar di sekolah.

Meskipun berhenti bermain sepakbola, tak membuatku berhenti menyukai hal-hal yang berkaitan dengannya. Salah satunya game sepakbola, yang menjadi hobi sejak tahun 2015 lalu sampai sekarang. Tak sah rasanya jika tidak memiliki game itu dalam ponsel pintar, sudah menjadi bagian dalam keseharian ku. 

Kembali lagi kepada bulutangkis. Dua minggu setelah pertemuanku dengan Wawan, aku pun datang ke markas latihan bulutangkis langganannya. Dengan sangat bersemangat, aku tak peduli seberapa banyak tetes keringat. Ya dan ternyata itu sangat menyenangkan meskipun agak melelahkan. Empat tahun bulutangkis tak ku lirik, membuat kemampuanku tak berkutik. Pukulanku sangat lemah di atas lapangan, hanya mampu menangkis smash dari lawan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun