Terlahir 20 tahun silam dari keluarga yang sederhana, pahit dan manisnya kehidupan telah aku cicipi. Ya, karena perjuangan mereka tidak bisa aku gadaikan dengan apapun.
Teringat diriku pernah hampir meregang nyawa pada usia 2 tahun saat terjadi wabah luar biasa demam berdarah. Firasat buruk dari kedua belahan surga ku, menyelamatkan  ruh yang hanya satu ini untuk berpulang. Trombosit darah yang menunjukkan angka 35, membuat mereka tak kuat menahan air mata. Sepuluh tabung infus dengan perihnya harus mengalir lewat suntikan. Syukur pun terucap, nyawaku masih bisa tertolong. Hingga sekarang, bekas itu masih melekat pada tangan kidal ku.
Itulah yang menjadi pemacu diriku untuk selalu memberikan yang terbaik. Itulah yang menjadi suntikan tenaga untuk aku berjuang. Dan itulah yang menjadikan diriku rendah hati, karena tanpa manusia siapapun tidak bisa hidup. Sampai detik ini pun tidak ada siapapun yang bisa menguburkan jenazah nya sendiri.
Menjalani bangku sekolah dasar, prestasi ku mungkin tidak sementereng teman - teman ku. Menyentuh lima besar saja sudah ada rasa kebanggaan buat diri ini. Ditambah kehadiran seorang sahabat sebagai penyemangat dan hingga kini persahabatan kami sudah terjalin selama 13 tahun. Meskipun berbeda dalam segi status sosial, namun masa kecil kami merasakan hal yang sama. Terkenal dengan sifat cengeng buat teman-teman sering mengerjai kami, tapi masih dalam batas kewajaran. Memang dasar diri kami yang pecundang juga, hehehe...
Beda halnya di bangku sekolah menengah pertama, meskipun prestasi ku cukup meyakinkan tapi diriku bisa terbilang lebih sering untuk direndahkan. Lemah tanpa perlawanan, menjadikan diriku mudah untuk di bully. Hal ini yang membuatku jadi sosok yang penakut, mental ku menjadi lemah dan sering menutup diri.
Semua itu dilunasi pada saat diriku menginjak bangku SMK. Pencarian jati diri terus aku lakukan yang didukung juga oleh pihak sekolah. Ditambah dukungan sahabat dan teman-teman seperjuangan yang mengayomi diriku untuk sukses, menjadikan mental ku setajam pedang yang sudah diasah, ditempa dan dipanaskan pada suhu tinggi. Persaingan yang semakin ketat tidak membuatku mudah menyerah, karena diri ini tidak diciptakan untuk selalu kalah. Ambisi terbesarku akhirnya terwujud dengan berhasilnya diriku menginjakkan kaki untuk pertama kali di tanah Jawa.
Namun perjalanan hidupku tidak semulus dengan apa yang diinginkan. Untuk pertama kalinya diriku benar - benar telah merasa gagal memperjuangkan pendidikan ku. Bermodalkan ijazah SMK tidak menjamin diri ini terus berprestasi hingga bangku perkuliahan. Faktor finansial menghantui diriku dalam perantauan disana. Orangtuaku yang sedang dalam fase sulitnya ekonomi mendorong diriku untuk berhenti dan memilih untuk bekerja membantu orang tua. Pilihan yang benar-benar cukup sulit untukku saat itu. Pengalaman adalah guru terbaik. Aku yakin apa yang kita tanam, itulah yang kita tuai. Semoga semua ini ada hikmahnya.
Perjalanan Asmara Penuh dengan Luka
Readers, jujur diriku tidak pernah merasakan apa itu pacaran. Namun diri ini pernah merasakan apa itu cinta. Kalian tahu artinya apa ? Aku merasakan cinta yang bertepuk sebelah tangan. Sampai saat ini sudah aku rasakan hal itu tiga kali, namun hanya dua yang akan aku ungkapkan dalam karangan ini. Yaitu cinta monyet dan cinta bodoh.
Kisah pertama terjadi di bangku sekolah dasar. Gadis rantauan asal Jakarta berhasil membuatku terpukau dengan prestasinya. Sejak kelas 2 SD, dia dan diriku sering dicocokkan dengan teman-teman sekelasku, karena seringnya diriku dipasangkan duduk semeja dengannya.
Sampai akhirnya aku merasakan kehilangan dirinya saat dan harus berpisah karena orangtuanya berdinas di Bekasi selama satu tahun, membuatku pasrah dia takkan kembali. Namun akhirnya dia kembali membawa sosok yang berbeda. Aku pikir dirinya sudah tidak mengingatku lagi karena dia lebih dekat dengan teman-temannya.