Kalau ingat peristiwa tiga tahun lampau di Bandara Soetta, sungguh menyakitkan. Para TKI atau mantan TKI yang keluar menuju ruang pengambilan bagasi langsung dirazia petugas BP2TKI. Umumnya yang diperiksa, didamprat, dihardik adalah TKI perempuan. Berikut pengalamanku saat itu.
[caption id="attachment_169517" align="alignleft" width="300" caption="surat visum itu"][/caption] Akhirnya penerbangan dari Kuala Lumpur ke Jakarta usai sudah. Pesawat Air Asia yang kutumpangi mendarat dengan sempurna pukul 14.00 tanggal 25 April 2009. Begitu diperbolehkan turun, aku bergegas menuju ke bagian pemeriksaan imigrasi. Tak ada antrian panjang seperti saat aku pulang cuti tahun lalu. Segera kuisi lembaran imigrasi cepat-cepat lalu menuju petugas yang duduk di ujung. Aku harus segera mengambil bagasiku, sebuah travel bag ukuran sedang.
Ah, ternyata bagasi belum diturunkan. Aku harus menunggu beberapa menit. Jantungku berpacu kencang. Andai kutak membawa bagasi seperti pulang cuti tahun lalu, tentu aku bisa menuju pintu keluar dengan cepat, lolos dari mata curiga para agen BP2TKI. Hari menjelang sore. Dimana-mana kulihat pegawai berbaju abu-abu di bandara, para mata-mata BP2TKI yang hendak menghadang TKI yang pulang lewat jalur biasa. Dadaku semakin berdetak kencang. Mungkinkah kali ini aku bisa lolos?
Travel bag hitamku pun muncul. Aku segera meraihnya. Hendak kutinggalkan antrian bagasi segera, namun seorang petugas menghadangku.
"Mana tiket bagasinya?" tanyanya ramah. Kutunjukkan tiket dari Kuala Lumpur ke Jakarta.
"Bukan yang ini, tapi yang dari Penang ke Kuala Lumpur," katanya. Kucari tiket yang dimaksud, tapi tak ada di kedua saku celanaku, juga di ranselku. Entah dimana kuletakkan tiket itu. Petugas itu memaksaku menunjukkan tiket itu. Sementara banyak penumpang lain yang sedang mengambil bagasi melenggang lepas begitu saja tanpa pemeriksaan nomor bagasi.
"Lupa Mas, "kataku.
"Tak bisa, nanti saya dimarahi perusahaan kalau tiket itu tak ada." Aku panik. Tiba-tiba seorang perempuan cantik berbaju abu-abu datang. Dia menarik travel bagku.
"TKI ya," katanya," kamu harus lewat sana, tak boleh jalan sini."
"Bukan," kataku. Tapi seorang lelaki sudah menarik travel bagku dan membawanya pergi. Petugas bagasi pun tak berbuat apa-apa. Seolah itu sudah biasa.
"Mau dibawa kemana tas saya ?" tanyaku. Petugas yang seharusnya memeriksa nomor bagasi diam saja, malah menjauh.
"Kamu harus lewat sana. Kamu TKI kan. Mana paspormu."
"Tak ada paspor," kataku. Perempuan itu nampak panas, marah. Dia hendak mencekal lenganku. Kulawan.
"He..berani-beraninya kamu mendorong saya. Kamu saya laporkan polisi. Ingat di sini ada CCTV," katanya.
"Saya pun bisa melaporkan kamu. Ada kawan saya di sini menunggu, saya baru operasi, saya sakit, dan sekarang dokter menunggu di luar," kataku tak mau kalah.
Perempuan itu semakin kalap. Ditariknya aku. Aku hendak mengejar tasku.
"Mana tasku ?" tanyaku.
"Ikut ke sana, nanti tasmu saya kembalikan." Dia terus mencekalku. Kukunya yang tajam menembus lenganku.
"Saya sakit," kataku protes. Namun dia tak mau melepaskan cengkeramannya. Bahkan lengannya dengan segaja menyikut tepat di bagian jahitan perutku yang baru 3 minggu dioperasi.
"Kamu sakit kek, kamu mati di sini saya tak peduli. Pokoknya kamu ikut saya," katanya.
"Saya rekam kata-katamu. Ingat ya," aku tak mau digertak. Aku benar-benar marah diperlakukan macam binatang, seolah aku narapidana yang berbuat salah besar. Apa salahku kalau ingin pulang lewat pintu biasa, aku tahu rumahku, lagipula di sana ada kawan-kawanku yang menjemputku, yang mengkhawatirkan keadaanku setelah operasi itu. Namun perempuan ini tak peduli. Baginya aku hanyalah tahanan yang harus mengikuti kehendaknya. Sumpah serapah keluar dari mulutnya.
"Kamu arogan, tak mau ikut perintah saya. Memangnya kamu siapa ha?"
"Saya tidak bodoh," kulawan segala kata-katanya. Apakah semua TKI bodoh sehingga harus digelandang seperti kerbau. Kami menjadi tontonan banyak orang. Perempuan itu semakin buas menggelandangku.
Begitu sampai terminal TKI, dua lelaki segera menarikku, melemparkan tubuhku ke dalam bus tki yang sudah menunggu. Aku meronta. Ranselku terjatuh, laptopku pun jatuh. Semua dokumen dan berkas rumah sakit tercerai berai di lantai bus.
"Sudah nurut saja Mbak," kata seseorang di dalam bus.
"Dia gila..orang gila," kata yang lainnya. Aku hanya terdiam, tak ada tangis atau kata-kata. Aku benar-benar tertekan. Setelah perjuangan panjang di negeri orang karena sakit yang kuderita, ernyata perlakuan orang-orang di negaraku tak lebih bagus. Tak ada kata-kata lembut dan manusiawi.
"Taiiik semua," makiku dalam hati. Mereka menganggapku sebagai orang bodoh, yang tak tahu jalan, dan pantas diperlakukan seperti binatang. Masih kuingat wajah perempuan itu. Wajah cantik yang beringas, tanpa kasih sayang, yang kalap dengan teriakan 'arogan kamu ya..arogan kamu. Kalau ada masalah siapa yang urus kamu'.
Ah, ketika aku ada masalah tak satu pun petugas PJTKI atau BP2TKI muncul dan bertanggung jawab. Bahkan konsulat baru menangani kasusku setelah dimuat sebuah media. Tapi kalau berurusan dengan duit, potongan agen, merekalah yang nomor satu menampakkan wajahnya. Aku betul-betul muak. Sangat muak. Sebuah dendam menggumpal di dadaku.
Turun di bandara penampungan TKI jelang pukul lima petang, aku tak segera melapor atau mengurus travel bagku. Kulihat teman-teman TKI ditarik ongkos Rp 20.000 per barang yang diturunkan dari bus. Aku pura-pura tak melihat. Andai travel bag-ku hilang pun ku tak peduli. Aku ingin segera menghubungi kawan-kawan yang menjemputku. Segera kudekati penjual kartu telepon. Kupilih kartu XL perdana, dengan pulsa Rp5000.
"Berapa Bang?" tanyaku.
"Dua puluh lima ribu," jawabnya ringan.
"Kalau isi pulsa lagi?"
"Lima puluh ribu."
Kurogoh kantung bajuku, mencari uang Rp 75.000. (Kelak kutahu kalau harga kartu perdana itu seharusnya Rp 7.000, dan isi pulsa Rp 20.000 hanya Rp 22.000.) Waktu itu yang terpikir dalam otakku adalah menghubungi kawan yang menjemputku secepatnya.
Satu jam kemudian, dua kawanku berhasil masuk ke terminal khusus TKI itu. Yudha dan Bugie, tampak takjub memandang ratusan TKI, dan semuanya perempuan di sana. "Mana TKI lelakinya?" tanya Yudha. Aku juga baru sadar tak melihat TKI lelaki.
Kulihat para TKI diharuskan mendaftar tempat tujuan pulangnya, lalu dikelompokkan. Bila sudah mendapat sekitar 9-10 orang bertujuan sama, maka akan dipanggilkan mobil sewaan, mirip travel. Seorang teman TKI mengeluh karena ongkos pulang ke Jogjakarta dengan travel bandara ini Rp 700.000. Yang tujuan Jabotabek kena Rp 250.000. Seorang TKI yang mengata-ngatai aku gila tadi duduk terpekur. "Aku nggak bisa pulang, nggak punya uang. Sanguku cuma tinggal limapuluh," keluhnya. Petugas tak memedulikannya. Jadi dia duduk diam di lantai. Bingung.
Seorang petugas mendekatiku. "Kawan kamu itu siapa? Hebat benar bisa masuk terminal sini. Pasti orang berpangkat ya?" Aku diam saja. Soal lobi dan menelisik, keduanya pakarnya.
Entah apa yang mereka perbincangkan dengan petugas terminal khusus ini, tiba-tiba aku sudah disuruh ke ruang dokter. Katanya untuk memastikan bahwa aku memang sakit. Di ruang dokter, tampak seorang lelaki yang kebingungan mencari jas putihnya. Dia hanya menanyaiku sejenak, memeriksa surat pengantar dari rumah sakit di Penang. Tak sedikit pun memeriksa tubuhku. Dia hanya bilang, "Nanti kamu harus visum di RS Polri."
Rupanya Yudha dan Bugie tak boleh langsung membawaku ke RS Polri dengan mobil mereka. Aku harus naik ambulans. Sedang ambulans baru berjalan jika ada beberapa TKI yang sakit dan harus divisum. Terpaksa kami menunggu hingga pukul sembilan, saat dua pasien baru masuk.
Di ambulans, aku bersama dua kawan yang sakit. Seorang perutnya sakit, mirip penyakit dalam. Yang satunya lagi tangan dan tulang rusuknya patah, karena meloncat dari rumah tuannya di Arab sana. Tak jelas bicara perempuan yang patah tulang itu. Dia tampak kesakitan dan ketakutan.
"Ayo telpon saudaramu segera, suruh dia menjemput kamu," hardik sopir ambulans itu kepada perempuan yang patah tulang.
"Saya tak punya HP Pak," katanya takut.
"Pinjam yang punya itu," teriaknya kepada kawan yang sakit perut. Pada saat itu HP-ku low bat, sebentar-sebentar mati, sehingga tak bisa menolong perempuan itu.
Satu jam kemudian, kami sampai di RS Polri. Menunggu dokter yang sibuk, kami disuruh duduk di luar. Lima kawanku -yang tiga menyusul belakangan dengan mobil lain- sudah menungguku di luar. Tampang mereka sangar, karena lelaki semua, membuat sopir ambulans sedikit gentar.
"Kamu siapa sih kok punya teman-teman orang penting begitu?" tanyanya.
"Kan saya TKI yang nyambi sekolah, lalu sakit dan mau pulang," jawabku sekenanya.
Melihat fisikku yang kelelahan, kelima kawanku mengajak makan di sebuah warung di depan RS Polri. Tak berapa lama, aku dipanggil petugas. Disuruh visum, katanya. Ternyata dokter hanya memberiku sebuah surat hasil visum paska melihat surat pengantar rumah sakit di Penang. Setelah itu aku disuruh membayar Rp 40.000. Urusan pun selesai. Aku boleh pulang.
Ketika hendak pulang, masih kulihat dua kawan TKI menunggu keluarganya datang dengan wajah ketakutan. Aku beruntung punya kawan-kawan yang peduli kepadaku dan siap menolongku kapan saja. Sedang mereka? Namun tetap saja aku merasa ngeri dan trauma jika mengingatnya sampai detik ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H