"Kamu harus lewat sana. Kamu TKI kan. Mana paspormu."
"Tak ada paspor," kataku. Perempuan itu nampak panas, marah. Dia hendak mencekal lenganku. Kulawan.
"He..berani-beraninya kamu mendorong saya. Kamu saya laporkan polisi. Ingat di sini ada CCTV," katanya.
"Saya pun bisa melaporkan kamu. Ada kawan saya di sini menunggu, saya baru operasi, saya sakit, dan sekarang dokter menunggu di luar," kataku tak mau kalah.
Perempuan itu semakin kalap. Ditariknya aku. Aku hendak mengejar tasku.
"Mana tasku ?" tanyaku.
"Ikut ke sana, nanti tasmu saya kembalikan." Dia terus mencekalku. Kukunya yang tajam menembus lenganku.
"Saya sakit," kataku protes. Namun dia tak mau melepaskan cengkeramannya. Bahkan lengannya dengan segaja menyikut tepat di bagian jahitan perutku yang baru 3 minggu dioperasi.
"Kamu sakit kek, kamu mati di sini saya tak peduli. Pokoknya kamu ikut saya," katanya.
"Saya rekam kata-katamu. Ingat ya," aku tak mau digertak. Aku benar-benar marah diperlakukan macam binatang, seolah aku narapidana yang berbuat salah besar. Apa salahku kalau ingin pulang lewat pintu biasa, aku tahu rumahku, lagipula di sana ada kawan-kawanku yang menjemputku, yang mengkhawatirkan keadaanku setelah operasi itu. Namun perempuan ini tak peduli. Baginya aku hanyalah tahanan yang harus mengikuti kehendaknya. Sumpah serapah keluar dari mulutnya.
"Kamu arogan, tak mau ikut perintah saya. Memangnya kamu siapa ha?"