"Saya tidak bodoh," kulawan segala kata-katanya. Apakah semua TKI bodoh sehingga harus digelandang seperti kerbau. Kami menjadi tontonan banyak orang. Perempuan itu semakin buas menggelandangku.
Begitu sampai terminal TKI, dua lelaki segera menarikku, melemparkan tubuhku ke dalam bus tki yang sudah menunggu. Aku meronta. Ranselku terjatuh, laptopku pun jatuh. Semua dokumen dan berkas rumah sakit tercerai berai di lantai bus.
"Sudah nurut saja Mbak," kata seseorang di dalam bus.
"Dia gila..orang gila," kata yang lainnya. Aku hanya terdiam, tak ada tangis atau kata-kata. Aku benar-benar tertekan. Setelah perjuangan panjang di negeri orang karena sakit yang kuderita, ernyata perlakuan orang-orang di negaraku tak lebih bagus. Tak ada kata-kata lembut dan manusiawi.
"Taiiik semua," makiku dalam hati. Mereka menganggapku sebagai orang bodoh, yang tak tahu jalan, dan pantas diperlakukan seperti binatang. Masih kuingat wajah perempuan itu. Wajah cantik yang beringas, tanpa kasih sayang, yang kalap dengan teriakan 'arogan kamu ya..arogan kamu. Kalau ada masalah siapa yang urus kamu'.
Ah, ketika aku ada masalah tak satu pun petugas PJTKI atau BP2TKI muncul dan bertanggung jawab. Bahkan konsulat baru menangani kasusku setelah dimuat sebuah media. Tapi kalau berurusan dengan duit, potongan agen, merekalah yang nomor satu menampakkan wajahnya. Aku betul-betul muak. Sangat muak. Sebuah dendam menggumpal di dadaku.
Turun di bandara penampungan TKI jelang pukul lima petang, aku tak segera melapor atau mengurus travel bagku. Kulihat teman-teman TKI ditarik ongkos Rp 20.000 per barang yang diturunkan dari bus. Aku pura-pura tak melihat. Andai travel bag-ku hilang pun ku tak peduli. Aku ingin segera menghubungi kawan-kawan yang menjemputku. Segera kudekati penjual kartu telepon. Kupilih kartu XL perdana, dengan pulsa Rp5000.
"Berapa Bang?" tanyaku.
"Dua puluh lima ribu," jawabnya ringan.
"Kalau isi pulsa lagi?"
"Lima puluh ribu."