Mohon tunggu...
Ary-23 H
Ary-23 H Mohon Tunggu... karyawan swasta -

manusia 50mm

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Trauma di Bandara TKI

18 Maret 2012   19:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:51 779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13320996041430965815

Kurogoh kantung bajuku, mencari uang Rp 75.000. (Kelak kutahu kalau harga kartu perdana itu seharusnya Rp 7.000, dan isi pulsa Rp 20.000 hanya Rp 22.000.) Waktu itu yang terpikir dalam otakku adalah menghubungi kawan yang menjemputku secepatnya.

Satu jam kemudian, dua kawanku berhasil masuk ke terminal khusus TKI itu. Yudha dan Bugie, tampak takjub memandang ratusan TKI, dan semuanya perempuan di sana. "Mana TKI lelakinya?" tanya Yudha. Aku juga baru sadar tak melihat TKI lelaki.

Kulihat para TKI diharuskan mendaftar tempat tujuan pulangnya, lalu dikelompokkan. Bila sudah mendapat sekitar 9-10 orang bertujuan sama, maka akan dipanggilkan mobil sewaan, mirip travel. Seorang teman TKI mengeluh karena ongkos pulang ke Jogjakarta dengan travel bandara ini Rp 700.000. Yang tujuan Jabotabek kena Rp 250.000.  Seorang TKI yang mengata-ngatai aku gila tadi duduk terpekur. "Aku nggak bisa pulang, nggak punya uang. Sanguku cuma tinggal limapuluh," keluhnya. Petugas tak memedulikannya. Jadi dia duduk diam di lantai. Bingung.

Seorang petugas mendekatiku. "Kawan kamu itu siapa? Hebat benar bisa masuk terminal sini. Pasti orang berpangkat ya?" Aku diam saja. Soal lobi dan menelisik, keduanya pakarnya.

Entah apa yang mereka perbincangkan dengan petugas terminal khusus ini, tiba-tiba aku sudah disuruh ke ruang dokter. Katanya untuk memastikan bahwa aku memang sakit. Di ruang dokter, tampak seorang lelaki yang kebingungan mencari jas putihnya. Dia hanya menanyaiku sejenak, memeriksa surat pengantar dari rumah sakit di Penang. Tak sedikit pun memeriksa tubuhku. Dia hanya bilang, "Nanti kamu harus visum di RS Polri."

Rupanya Yudha dan Bugie tak boleh langsung membawaku ke RS Polri dengan mobil mereka. Aku harus naik ambulans. Sedang ambulans baru berjalan jika ada beberapa TKI yang sakit dan harus divisum. Terpaksa kami menunggu hingga pukul sembilan, saat dua pasien baru masuk.

Di ambulans, aku bersama dua kawan yang sakit. Seorang perutnya sakit, mirip penyakit dalam. Yang satunya lagi tangan dan tulang rusuknya patah, karena meloncat dari rumah tuannya di Arab sana. Tak jelas bicara perempuan yang patah tulang itu. Dia tampak kesakitan dan ketakutan.

"Ayo telpon saudaramu segera, suruh dia menjemput kamu," hardik sopir ambulans itu kepada perempuan yang patah tulang.

"Saya tak punya HP Pak," katanya takut.

"Pinjam yang punya itu," teriaknya kepada kawan yang sakit perut. Pada saat itu HP-ku low bat, sebentar-sebentar mati, sehingga tak bisa menolong perempuan itu.

Satu jam kemudian, kami sampai di RS Polri. Menunggu dokter yang sibuk, kami disuruh duduk di luar. Lima kawanku -yang tiga menyusul belakangan dengan mobil lain- sudah menungguku di luar. Tampang mereka sangar, karena lelaki semua, membuat sopir ambulans sedikit gentar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun