***
Sebulan berlalu pasca Mirza sakit. Senyumnya kembali menghias hari-hariku. Bunga-bunga indah kian tumbuh subur memenuhi penjuru hati yang bergelora. Walaupun kami tak pernah berikrar menjadi sepasang kekasih seperti umumnya. Namun, kebersamaan di kelas seolah menyatukan kami dalam satu ikatan tak terpisahkan.
Suatu hari Mirza sempat bercerita kepada Rena--sahabatku--jika dia menyimpan rasa. Namun, dia malu untuk mengatakan cinta, karena aku adalah rival terberatnya di kelas.
***
Di ujung aula sekolah langkah ini terhenti. Ada dua sosok yang sangat kukenal, perlahan tetesan hangat meluruh di pipiku diiringi gemuruh yang makin kuat menghantam dada.
"Mirza, kenapa kamu lakukan semua ini? Lalu, selama ini ... Arhh! Aku benci kamu, Za!" jeritku tertahan.
Perlahan aku memundurkan langkah, menyeka air mata yang terlanjur menetes, tak layak rasanya jika harus menangisi seorang penipu seperti dia.
***
Sebulan kemudian ....
"Ghaida ... pinjem kamusnya, dong!" pinta Mirza. Kebetulan kala itu ada tugas bahasa Inggris yang belum dia kerjakan.
Aku hanya diam, sepertinya hati ini sudah mati rasa melihat sosok penipu itu.
"Ambil, aja!" sambutku hambar.
"Please! Da, kamu kenapa, sih. Akhir-akhir ini menghindari aku."
"Menghindar? Gak salah! Kan, kamu yang selama ini sibuk di luar sana."