Angin pagi berembus lembut, menebar semerbak wangi khas bunga akasia yang berhamburan di halaman aula sekolah bercat putih-cream. Deretan siswa-siswi yang berjejal di hari penutupan masa orientasi sekolah tampak masih antusias bersorak-sorai menyambut ketua OSIS yang baru saja memasuki aula.
Setelah beberapa pengumuman dari pengurus OSIS untuk perekrutan anggota baru. Akhirnya para siswa mulai memasuki kelas masing-masing untuk menerima jadwal pelajaran. Ya, pelajaran baru di dunia putih-abu.
Kelasku adalah kelas terfavorit karena siswa yang masuk di sini merupakan hasil seleksi nilai UN dan tes akademik yang cukup ketat.
"Hai, assalamualaikum," sapa sebuah suara di belakangku. Suara siswa yang begitu merdu mengentak gendang telinga.
"Hai ... waalaikumsalam," jawabku pelan. Dia adalah Mirza Fahrezi Althaf, ketua kelas yang baru terpilih kemarin.
Entah mengapa, sorot mata berbulu lebat kecokelatan itu begitu membuatku kikuk, senyum manisnya selalu terukir ketika menyapa siapa pun.
"Hai, Mirza! Boleh, aku duduk di dekat kamu." Suara cempreng datang mengempas kebisuan kami. Entah mengapa dalam hatiku seketika ada percikan hangat yang makin memanas melihat Sherly--siswi yang terkenal paling centil di kelas 1.1--sebenarnya gadis itu tak punya sedikit pun modal merayu laki-laki, selain tubuhnya yang termasuk jumbo alias overweight. Sikap childish-nya juga sering membuat siswa lain muak.
Mirza masih tetap mengukir senyum, walaupun dia terlihat sedikit dongkol.Entahlah, Nenek Gembrong ini selalu saja mengejar-ngejarnya sejak hari pertama masa orientasi siswa baru.
Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan membuka novel Asma Nadia favoritku. Namun, semua konsentrasi ini buyar dengan suara cempreng ala Sherly.
***
Suara seseorang mengetuk pintu kelas, ternyata wali kelasku baru saja datang.
"Selamat pagi!" sapanya dengan senyum semringah.
"Pagiiii ... Bu." Suara koor siswa-siswi menyambut dengan antusias.
Perkenalan dengan Bu Wuri guru fisika yang juga ditunjuk sebagai wali kelas sangat menarik. Berbagai pengalaman berharga yang beliau ceritakan cukup memotivasi semangat belajar kami.
***
Kegiatan belajar belum aktif sepenuhnya. Setelah jam istirahat tiba, aku memilih membenamkan diri di ruang favorit--perpustakaan. Setelah mengambil buku Ensiklopedia Islam, kuputuskan untuk membacanya di teras perpustakaan.
Di seberang ruang perpustakaan terdapat musala yang dikelilingi pohon mahagoni. Bunganya berguguran menerpa teras bangunan berkubah bundar itu. Tak sengaja kulihat sesosok siswa yang baru keluar dan duduk memakai peci hitam, tangannya sibuk menepis bunga yang menerpa pecinya.
"Mirza ...," gumamku. Ada rasa kagum yang terselip di lubuk hati ini.
Wajahnya begitu bercahaya dengan pantulan air wudu, seketika wajah ini tersipu, saat tatapannya berserobok.Walau jarak yang memisahkan lumayan jauh, tapi tetap saja malu jika ketahuan pipiku merah merona. akhirnya, aku berpura-pura membuka lembaran ensiklopedia.
***
"Hai, rajin banget, pagi-pagi udah nongkrong di perpus. "Suaranya mengagetkanku, dan kini dia sudah berdiri tepat di bawah tangga perpustakaan.
"Ehm ... suntuk di kelas terus. Gak ada gurunya," jawabku bergetar. Entah mengapa, rasanya selalu salah tingkah berada di dekat orang ini.
"Kamu hobi baca buku, ya?"
"Ah, biasa, aja, sih! Cuma ngusir badmood," kilahku.
"Suka ngeles, deh. Liat buku yang kamu baca ini, super tebal, tau!" godanya membuatku tersipu.
"Eh, by the way. Selamat, ya. Kamu lulus tes seleksi masuk sekolah ini dengan nilai terbaik."
"Kamu juga, kamu terbaik kedua." Kami berjabat tangan erat, ada getaran hangat yang mengalir dari tangannya.
"Tapi, jangan nganggap aku saingan, ya?"
"Ya ampun, saingan! Itu cuma hoki, aja, kali, Za."
Kami tertawa, perlahan suasana mencair. Kekakuan yang selama ini selalu menghinggapi seakan sirna, getar-getar bahagia pun selalu ter
rasa bila berada di dekatnya.
***
Sebulan sudah, Mirza tak tampak di sekolah. Padahal aku selalu menantikannya tiap pagi di gerbang sekolah sambil bernaung di bawah pohon beringin mengharap sosok periang itu muncul.
Kabar yang kudengar Mirza sakit, kami satu kelas akhirnya berangkat menjenguk dia. Rumahnya cukup sederhana, dia tinggal dengan ibunya karena Mirza sudah yatim sejak SMP. Ibunya terharu melihat perhatian kami kepada anaknya. Beliau mengatakan jika Mirza akan berhenti sekolah karena terkendala biaya.
Hatiku terenyuh, Mirza anak yang cerdas, tapi sayang, kondisi ekonomi keluarganya sangat mempriharinkan.Mirza harus bekerja paruh waktu sepulang sekolah di sebuah toko buku, demi membantu biaya bulanan sekolah.
Setelah kami pulang, aku menemui wali kelas dan menceritakan kondisi Mirza. Bu Wuri berjanji akan memberikan beasiswa prestasi kepada Mirza. Hatiku sangat bahagia mendengar keputusannya.
***
Sebulan berlalu pasca Mirza sakit. Senyumnya kembali menghias hari-hariku. Bunga-bunga indah kian tumbuh subur memenuhi penjuru hati yang bergelora. Walaupun kami tak pernah berikrar menjadi sepasang kekasih seperti umumnya. Namun, kebersamaan di kelas seolah menyatukan kami dalam satu ikatan tak terpisahkan.
Suatu hari Mirza sempat bercerita kepada Rena--sahabatku--jika dia menyimpan rasa. Namun, dia malu untuk mengatakan cinta, karena aku adalah rival terberatnya di kelas.
***
Di ujung aula sekolah langkah ini terhenti. Ada dua sosok yang sangat kukenal, perlahan tetesan hangat meluruh di pipiku diiringi gemuruh yang makin kuat menghantam dada.
"Mirza, kenapa kamu lakukan semua ini? Lalu, selama ini ... Arhh! Aku benci kamu, Za!" jeritku tertahan.
Perlahan aku memundurkan langkah, menyeka air mata yang terlanjur menetes, tak layak rasanya jika harus menangisi seorang penipu seperti dia.
***
Sebulan kemudian ....
"Ghaida ... pinjem kamusnya, dong!" pinta Mirza. Kebetulan kala itu ada tugas bahasa Inggris yang belum dia kerjakan.
Aku hanya diam, sepertinya hati ini sudah mati rasa melihat sosok penipu itu.
"Ambil, aja!" sambutku hambar.
"Please! Da, kamu kenapa, sih. Akhir-akhir ini menghindari aku."
"Menghindar? Gak salah! Kan, kamu yang selama ini sibuk di luar sana."
"Udah lama kita gak diskusi bareng, gak kerja kelompok, gak pernah ke perpus bareng lagi," rengeknya dengan tatapan memelas.
"Udah, Za! Jangan pura-pura, deh. Bukannya kamu udah dapet partner baru, ngapain juga ngurusin aku? Kabarnya kamu lagi kasmaran, tuh, sama si Tania itu, kan?" Pertanyaanku cukup membuat Mirza terperangah. Raut wajahnya berubah seketika.
"Kamu cemburu?"
"Cemburu? Pede banget, huh!" Mulutku mencebik, "beritamu itu udah fenomenal se-sekolah, tau!" pungkasku sambil melangkah meninggalkannya yang masih terbengong melihat kepergianku.
Sejak kejadian itu, Mirza sering melamun dan memandangi penuh sendu dari ujung kelas, atau dari teras musala, jika aku memilih buku di perpustakaan.
***
Ayah dimutasikan dari pekerjaannya ke Bandung, otomatis aku dan keluarga mengikuti kepindahannya walau berat rasanya meninggalkan sekolah yang sudah memberi berbagai kenangan dalam hidupku.
Saat-saat berpamitan dengan derai air mata sahabat-sahabat dan juga guru pun tiba. Aku keluar kelas dengan keadaan yang tak keruan. Di sudut taman sekolah, tepatnya di sebuah bangku yang dinaungi akasia tua, Mirza duduk. Wajah itu tampak begitu sedih. Walaupun terpaksa kaki ini akhirnya melangkah, menghampirinya untuk mengucapkan selamat tinggal.
"Ghaida ... kamu beneran mau ninggalin aku?" ucapnya dengan tatapan penuh penyesalan.
"Aku pergi mengikuti orang tuaku, Za. Bukan karena keinginan sendiri." Mataku mulai memanas. Entah mengapa, rasanya begitu berat melihat wajah yang pernah mengisi ruang terdalam jiwa ini.
"Please! Da ... tengok aku sebentar saja." Mirza mulai berlutut dan menatapku tajam.
"Maksudmu, Za? Maafin aku, jika selama ini aku banyak salah sama kamu. Aku tetap harus pergi," lirihku tanpa berani menatapnya. Luruhan cairan bening mulai menetesi jemari Mirza.
Mirza meraih jemariku, tangannya bergetar, kurasakan tautan jemarinya begitu kuat seakan enggan melepasku.
"Mungkin aku telat, Ghaida. Aku memang pengecut, penipu! Tapi sungguh di lubuk hatiku, kamulah wanita pertama yang aku kagumi dan ... cintai," ujarnya terbata-bata. Aku sungguh terkejut mendengar kejujurannya.
"Kamu itu terlalu pintar, jadi aku minder jika harus mengatakan ini kepada seorang rival terberatku," ungkapnya dengan suara serak.
"Mirza ...," bisikku tertahan. Tak terasa air mataku semakin deras mengalir. Telunjuk Mirza dengan sigap menahan tetesan itu dan menghapusnya.
"Please! Jangan katakan apa pun Ghaida, walaupun mungkin ini terlambat. Setidaknya hatiku bisa lega, beban di jiwaku kini hilang."
"Aku tetap harus pergi, Za." Aku berdiri dengan berat.
"Iya, aku tahu itu, tapi aku janji. Suatu hari nanti, aku akan menjemputmu dan membahagiakan kamu. Satu lagi, kenyataan yang harus kamu tahu, Tania bukanlah pacarku. Dia kerabat jauhku dari pihak Ibu. Kamulah wanita pertama yang mengisi mimpi-mimpiku, Ghaida Tsaniatur Rahma," pungkasnya membuat jantungku seakan berhenti berdetak untuk sesaat.
'Duhai Penguasa Alam, inikah rahasia terindah yang harus terungkap di saat perpisahan menyapa?'
Aku menatapnya tanpa henti. Lidahku kelu untuk membalas kejujurannya. Ungkapan cinta Mirza telah meruntuhkan dinding kebencian yang sempat menguasai hati ini beberapa bulan ke belakang.
***
Tanganku melambai tepat di depan pintu gerbang sekolah. "Aku akan selalu nungguin kamuuu! Mirza Fahrezi Althaf!" seruku disambut angin yang bertiup lembut, menjatuhkan bunga-bunga akasia yang menaungi Mirza.
Tamat
Cianjur, 13-1-2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H