"Ah, biasa, aja, sih! Cuma ngusir badmood," kilahku.
"Suka ngeles, deh. Liat buku yang kamu baca ini, super tebal, tau!" godanya membuatku tersipu.
"Eh, by the way. Selamat, ya. Kamu lulus tes seleksi masuk sekolah ini dengan nilai terbaik."
"Kamu juga, kamu terbaik kedua." Kami berjabat tangan erat, ada getaran hangat yang mengalir dari tangannya.
"Tapi, jangan nganggap aku saingan, ya?"
"Ya ampun, saingan! Itu cuma hoki, aja, kali, Za."
Kami tertawa, perlahan suasana mencair. Kekakuan yang selama ini selalu menghinggapi seakan sirna, getar-getar bahagia pun selalu ter
rasa bila berada di dekatnya.
***
Sebulan sudah, Mirza tak tampak di sekolah. Padahal aku selalu menantikannya tiap pagi di gerbang sekolah sambil bernaung di bawah pohon beringin mengharap sosok periang itu muncul.
Kabar yang kudengar Mirza sakit, kami satu kelas akhirnya berangkat menjenguk dia. Rumahnya cukup sederhana, dia tinggal dengan ibunya karena Mirza sudah yatim sejak SMP. Ibunya terharu melihat perhatian kami kepada anaknya. Beliau mengatakan jika Mirza akan berhenti sekolah karena terkendala biaya.
Hatiku terenyuh, Mirza anak yang cerdas, tapi sayang, kondisi ekonomi keluarganya sangat mempriharinkan.Mirza harus bekerja paruh waktu sepulang sekolah di sebuah toko buku, demi membantu biaya bulanan sekolah.
Setelah kami pulang, aku menemui wali kelas dan menceritakan kondisi Mirza. Bu Wuri berjanji akan memberikan beasiswa prestasi kepada Mirza. Hatiku sangat bahagia mendengar keputusannya.