Mirza meraih jemariku, tangannya bergetar, kurasakan tautan jemarinya begitu kuat seakan enggan melepasku.
"Mungkin aku telat, Ghaida. Aku memang pengecut, penipu! Tapi sungguh di lubuk hatiku, kamulah wanita pertama yang aku kagumi dan ... cintai," ujarnya terbata-bata. Aku sungguh terkejut mendengar kejujurannya.
"Kamu itu terlalu pintar, jadi aku minder jika harus mengatakan ini kepada seorang rival terberatku," ungkapnya dengan suara serak.
"Mirza ...," bisikku tertahan. Tak terasa air mataku semakin deras mengalir. Telunjuk Mirza dengan sigap menahan tetesan itu dan menghapusnya.
"Please! Jangan katakan apa pun Ghaida, walaupun mungkin ini terlambat. Setidaknya hatiku bisa lega, beban di jiwaku kini hilang."
"Aku tetap harus pergi, Za." Aku berdiri dengan berat.
"Iya, aku tahu itu, tapi aku janji. Suatu hari nanti, aku akan menjemputmu dan membahagiakan kamu. Satu lagi, kenyataan yang harus kamu tahu, Tania bukanlah pacarku. Dia kerabat jauhku dari pihak Ibu. Kamulah wanita pertama yang mengisi mimpi-mimpiku, Ghaida Tsaniatur Rahma," pungkasnya membuat jantungku seakan berhenti berdetak untuk sesaat.
'Duhai Penguasa Alam, inikah rahasia terindah yang harus terungkap di saat perpisahan menyapa?'
Aku menatapnya tanpa henti. Lidahku kelu untuk membalas kejujurannya. Ungkapan cinta Mirza telah meruntuhkan dinding kebencian yang sempat menguasai hati ini beberapa bulan ke belakang.
***
Tanganku melambai tepat di depan pintu gerbang sekolah. "Aku akan selalu nungguin kamuuu! Mirza Fahrezi Althaf!" seruku disambut angin yang bertiup lembut, menjatuhkan bunga-bunga akasia yang menaungi Mirza.
Tamat