“ah.. sudahlah nanti dibawah kakinya akan ku pijit, yang jelas sekarang ayo cepat, kita hampir sampai. Perhatikan jalan dan jangan lihat yang lain”, perintahku.
Di bawah sana aku melihat sebuah perkampungan, cukup elit untuk sebuah perkampungan ditengah hutan belantara, sejenak aku lega... akhirnya sebentar lagi sampai... namun otak jernihku dan nuraniku berontak, tidak mungkin ada kampung ditengah hutan seperti ini!
Perkampungan itu seperti memanggil-memanggilku untuk datang dan memasukinya. Namun nuraniku terus berontak, tidak mau!
Aku berhenti sesaat, menghirup nafas dalam-dalam sambil memejamkan mata. Lalu aku membuka kembali mata dan kampung yang tadi hilang dari tatapan berganti dengan kegelapan hutan.
“Hah... ternyata mataku semakin berulah”, batinku.
Kami terus menapaki jalan yang terasa semakin berat dan semakin lama, padahal menurut perhitunganku dari batas hutan pimpiang hingga menuju pos pendakian hanya membutuhkan waktu 1 jam. “Namun ini sudah berapa jam kami berjalan tapi tidak sampai-sampai juga”, batinku.
“Mungkinkah kami tersesat”, lanjut batinku.
“ah.. tidak mungkin..” Aku terus berjalan.
Aneh memang, terasa kami melewati jalan yang sama setelah berjalan selama 15 menit. Namun hatiku tidak mempedulikan itu.
Sejenak teman yang ada dibelakang memanggilku, “pak, kita berhenti dulu!”, ah memang sejak tadi kami tidak berhenti berjalan, aku menhentikan langkahku dan tim juga ikut beristirahat sejenak.
“bagaimana pak?”, tanya seorang dari anggota.