Lais, 2017.
"Kau tak lupa rasa singkong, kan?"
Kalimat pelan nyaris berbisik menyelinap hening di liang telingaku. Sepotong singkong dengan kepulan uap putih mendominasi pandanganku.
Kuraih singkong rebus itu dari genggaman lelaki tua, yang memilih duduk di hadapanku. Sekilas, segaris senyuman tampak menghiasi bibir Bapak.
Bibir yang menghitam. Tak lagi ada kumis tebal seperti saat terakhir aku bertemu. Lima tahun lalu. Kini bibir itu telah dihiasi rambut tipis berwarna putih. Di antara kedua lubang hidung Bapak, ada dua barisan yang berbentuk dua garis sejajar berwarna agak kecoklatan.
"Bapak masih merokok?"
Mataku menyelidik. Lelaki tua di hadapanku, perlahan merogoh saku celananya. Aku menahan tawa, saat melihat satu bungkusan plastik bening diletakkan di atas meja. Segulung daun nipah dan irisan daun tembakau kasar.
"Rokok pabrikan semakin mahal, Nak!"
"Syukurlah! Sudah waktunya Bapak mengurangi rokok."
"Sejak dulu sudah berkurang, kan? Bapak merokok cuma sebatang-sebatang!"
Aku hanya bisa tertawa. Bapak adalah lawan yang tak mudah untuk dikalahkan, jika pembicaraan berujung perdebatan.
Tangan tua itu dengan cekatan meraih dua gulungan daun nipah, kemudian mencubit sedikit tembakau. Mataku menjadi saksi, ketika jemari Bapak menari, menggulung daun nipah dan irisan tembakau itu menjadi sebatang rokok linting.