"Itu lampu buatanmu?"
Ibu tertawa, sambil menata hidangan di lantai papan. Usai maghrib, adalah waktunya santap malam. Kulihat tangan Ayah meraih lampu minyak dari tanganku.
"Selain membawa bibit sayuran, Anakmu sengaja membeli kemasan ikan sarden yang besar. Kalengnya langsung dijadikan lampu!"
"Kita disuruh hemat, Bu!"
"Hemat? Sekarang, harga minyak tanah semakin mahal! Selain itu, sukar didapat, Yah!"
"Kukira, cukup untuk menemani gelap malam para pensiunan, kan?"
Jawaban ayah yang lugas, memicu tawa Ibu semakin keras. Di antara temaram lampu, bergantian kutatap wajah ayah dan ibu.
"Bilang orang, pensiunan itu tinggal menikmati masa tua, serta jatah hidup yang tersisa! Ayah malah...."
Kalimat ibu terhenti saat menatapku. Ayah memilih membisu. Tangannya tampak sibuk menata ulang lampu minyak buatanku. Sesaat rumah dikuasai sunyi.
"Allahumma bariklanaa. Fii maa razaktanaa...."
Ayah tersenyum mendengar mulutku memecah keheningan dengan membaca doa mau makan. Sambil menahan tawa, cubitan dua jari dari tangan kiri ibu, singgah di paha kananku.
"Hayuk makan!"
Tanganku mengambil piring, dan menyerahkan pada ibu. Tangan ibu cekatan menyendok nasi, kemudian menyerahkan pada Ayah. Tangan kanan Ayah menyambut sepiring nasi dari ibu, tangan kirinya menyerahkan gelas berisi air ke tanganku.
Kukira, gelap malam yang mengintip dari jendela merasa gerah. Dipaksa menjadi saksi harmoni seisi rumah.