"Bilang ke Ibumu. Tolong bikinkan kopi!"
Bisikan ayah, meluncur deras di liang telingaku. Kurasakan suasana kaku di ruang tamu. Sekilas kutatap wajah para lelaki muda yang baru saja datang dan duduk di kursi kayu, sebelum bergerak ke arah pintu menemui ibu.
"Berapa orang yang datang?"
"Empat, Bu!"
"Nyalakan api!"
Aku bergegas ke arah tungku, saat melihat tangan ibu cekatan meraih empat gelas kosong yang tertungkup di rak bambu. Bagiku, lentik jemari ibu seperti penari Gending Sriwijaya, saat meracik gula dan bubuk kopi.
"Tak mau nyala, Bu!"
"Musim hujan. Kayunya basah! Coba cari yang kering, di kolong rumah!"
Aku berlari ke pintu, mengikuti perintah ibu. Kakiku tertatih menginjak lima anak tangga kayu, yang dibuat ayah dari potongan pohon kopi dan bambu.
"Basah juga, Bu! Â Jadi, Aku ambil yang paling bawah!"
Lima potong kayu kopi seukuran lengan orang dewasa, kuletakkan pada rak kayu bakar di atas tungku. Bilang ibu, itu cara gampang mengeringkan kayu, yang diajari nenekku dulu.
"Ambil satu, belah kecil-kecil! Lain kali, kalau menyalakan api, gunakan kayu kecil dulu! Makanya, sering-seringlah jenguk ibu. Biar tahu!"
Ibu tertawa. Kali ini, lentik jemarinya mengusap pelan kepalaku. Mataku menatap nyala api di tungku. Dan, malu segera menampakkan wujudnya di wajahku.
***
Tolong belikan bibit ini di toko pertanian.
Aku terkejut menerima dan membaca surat yang dititipkan ayah pada seorang teman untukku. Tulisan tangan rapi pensiunan guru SMK Pertanian itu, berisi satu permintaan tanpa penjelasan. Hanya daftar nama aneka sayuran sertan lima lembar uang kertas berwarna merah.
Dua tahun lalu. Usai pensiun sebagai guru. Ayah menyerah pasrah untuk mengikuti keinginan ibu. Kembali ke kampung ibu. Di rumah nenekku. Kemudian meminta aku dan istriku yang baru sebulan menikah untuk mendiami rumah.
Butuh lima jam dengan menggunakan sepeda motor, hari itu juga kutemui ayah dan ibu. Seperti bertahun-tahun lalu. Kampung ibuku, masih tanpa lampu. Termasuk rumah panggung tua peninggalan nenekku.
Saat menikmati segelas kopi buatan ibu, Ayah menceritakan situasi terkini anak-anak muda di kampung ibu usai wabah corona.
Anak-anak muda itu banyak yang harus putus sekolah. Menurut cerita ayah, mereka akan semakin kehilangan arah, jika dibiarkan hanya berdiam diri di rumah. Atau, mereka akan bikin ulah. Lagi, menurut ayah, sesungguh ada pilihan lain. Menjadi buruh upah, di kebun kopi atau di sawah. Tapi momen itu tak datang setiap waktu.
Karena itu, ayah berniat mengajak anak-anak muda yang putus sekolah, untuk memanfaatkan pekarangan rumah mereka dengan menanam aneka sayuran. Setidaknya itu bisa menambal kebutuhan harian.
"Uang untuk membeli bibit itu, uang mereka! Disisihkan dari uang upah yang mereka dapatkan."
"Oh. Yang tadi...."
"Iya. Baru empat orang yang mau."
"Tak masalah, kan?"
"Malah bagus! Mengubah perilaku itu, bisa dari kecil atau sedikit!"
Aku membisu. Ayah tersenyum, sambil meraih gelas berkopi. Jelang senja, suasana kampung ibu terlihat sepi.
***
"Lihat langit, Nak!"
Mataku mengikuti tatapan ayah. Menengadah. Â Bias jingga terlihat di balik punggung Bukit Barisan. Agaknya, benih-benih hujan masih terlelap di bilik persembunyian.
Mata ayah masih bertahan menikmati jejak matahari yang perlahan meredup di ufuk barat. Bilang ayah, senja pertama setelah nyaris satu minggu, hujan betah berlama-lama mengunjungi kampungku.
"Akhirnya, lampu langit padam!"
Tak seperti nyala bara di tungku. Saat perapian padam, yang bersisa abu pembakaran berwarna kelabu. Lampu langit padam meninggalkan gelap. Dan senyap.
Tanpa suara, sesaat Ayah beringsut dari bangku. Tangannya meraih gelas, tergesa menandaskan cairan pekat kopi hingga terlihat ampas. Tiba-tiba, Ayah berdiri di hadapku. Tangannya menunjuk lima gelas kosong di lantai.
"Hayuk masuk! Saatnya, menitip cerita ke langit!"
Tak berubah! Itu cara ayah memberitahu waktu maghrib telah tiba. Diam-diam, lengan kiri ayah singgah di bahuku, memaksa langkah kakiku ikut bergerak menuju pintu. Seakan memberi tanda, ayah selalu ada, jika dingin malam bertamu.
***
"Mantap!"
Dua jempol dan satu senyuman Ayah menyambutku, yang mengiringi langkah ibu. Â Aku tahu, tatapan ayah tertuju ke tanganku.
"Itu lampu buatanmu?"
Ibu tertawa, sambil menata hidangan di lantai papan. Usai maghrib, adalah waktunya santap malam. Kulihat tangan Ayah meraih lampu minyak dari tanganku.
"Selain membawa bibit sayuran, Anakmu sengaja membeli kemasan ikan sarden yang besar. Kalengnya langsung dijadikan lampu!"
"Kita disuruh hemat, Bu!"
"Hemat? Sekarang, harga minyak tanah semakin mahal! Selain itu, sukar didapat, Yah!"
"Kukira, cukup untuk menemani gelap malam para pensiunan, kan?"
Jawaban ayah yang lugas, memicu tawa Ibu semakin keras. Di antara temaram lampu, bergantian kutatap wajah ayah dan ibu.
"Bilang orang, pensiunan itu tinggal menikmati masa tua, serta jatah hidup yang tersisa! Ayah malah...."
Kalimat ibu terhenti saat menatapku. Ayah memilih membisu. Tangannya tampak sibuk menata ulang lampu minyak buatanku. Sesaat rumah dikuasai sunyi.
"Allahumma bariklanaa. Fii maa razaktanaa...."
Ayah tersenyum mendengar mulutku memecah keheningan dengan membaca doa mau makan. Sambil menahan tawa, cubitan dua jari dari tangan kiri ibu, singgah di paha kananku.
"Hayuk makan!"
Tanganku mengambil piring, dan menyerahkan pada ibu. Tangan ibu cekatan menyendok nasi, kemudian menyerahkan pada Ayah. Tangan kanan Ayah menyambut sepiring nasi dari ibu, tangan kirinya menyerahkan gelas berisi air ke tanganku.
Kukira, gelap malam yang mengintip dari jendela merasa gerah. Dipaksa menjadi saksi harmoni seisi rumah.
***
"Kau lihat? Nyaris di setiap rumah ada pohon pepaya, kan? Itu ulah ayahmu!"
Pagi-pagi sekali, aku diajak Ibu berjalan kaki keliling kampung. Tak hanya bercerita tentang kenangan di masa kecil ibu, tapi juga bercerita tentang apa saja yang telah dilakukan ayah, sejak dua tahun lalu.
"Ayahmu yang bagikan bibitnya ke setiap rumah. Alasannya, memanfaatkan lahan tidur!"
"Hahaha..."
"Tiga hari sekali, akan datang pembeli pepaya dengan membawa mobil. Orang kampung tak lagi harus menjual ke pasar!"
Aku menyimak cerita ibu yang penuh semangat. Akupun teringat kisah Ayah yang pernah bertengkar dengan kepala sekolah, gara-gara ayah menanam banyak pepaya di tanah kosong yang berada di belakang setiap kelas.
Sambil tertawa, Ayah menamakan gerakan itu: "Revolusi Pepaya". Namun, tawa ayah semakin keras saat harus menerima kenyataan, sekolah itu kemudian lebih dikenal sebagai "Sekolah Pepaya!".
Kini, revolusi pepaya itu, telah merambat ke kampung ibu. Bedanya, tak lagi di tanah belakang kelas yang kosong. Tapi di setiap pekarangan rumah orang kampung.
Ibu mengajakku pulang, setelah ingat ayah tinggal sendiri di rumah. Saat memasuki halaman, kulihat sedang bicara dengan empat anak muda yang datang bertamu.
"Ibu berharap, semoga tahun depan kampung ini sudah ada lampu. Biar anak mudanya maju! Tapi Ayahmu tak setuju. Malah mengajak anak-anak muda itu ke pertanian dengan menanam sayuran! Dasar orang aneh!"
Aku tertawa mendengar kalimat terakhir ibu. Ibu lupa, sudah ada lampu di kampung ibu. Ayahku.
Curup, 28.11.2022
Zaldy Chan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H